Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2016

Satu Cerita

Suatu waktu di jogja, satu cerita Untuk dikenang tiap simpang Bilangan berkurang, tujuh menjadi enam Satu, ya satu kawan Satu yang bernyali seribu Anak suku musang tak pernah takut Ditanganmu impian tiap lelaki Dikakimu takdir berlari Seringai yang membekas dalam ingatan Dan dia satu, ya satu darah kawan Lalu kematianpun satu

Dan Aku Untukmu

Dan aku menunggumu hingga larut, bercumbu di kala tahajud. Sesaat untuk terbang, sesaat untuk pagi datang. Dan aku terus merindumu dengan hati berparut. Bertinju dengan takut untuk duduk berlutut. Sesatan meminta lagi, sesatan tak mau henti. Dan aku mencintai sampai mati. Duduk menunggu diantara bangkai mereka yang mati. Siasat melawan peri, siasat melarung caci.

Semarang

Satu malam Dua roda berputar Tiga jasad yang dingin Disana cinta lagi bertempat Kucari dia diantara lampu lampu disimpang lima Tetapi dingin begitu kelam Tujuan perjalanan Tak kutemukan Pukul delapan seorang berjanji Rindu sunyi bulan september Dua telapak, jari bertautan Tetapi tak lagi satu Di lawang sewu kupanggil namamu Gema diantara dinding Rupanya hanya tengah malam menanti di situ Lalu kemana Lembaran dalam buku sejarah itu Didepan prasasti gang lombok Hio telah padam

Bayangku Sendiri

Ada bisik mencekam Bayang yang berbicara Dia yang tiba setelah gelap tentang arah yang hilang Karena memunggungi matahari Dia bukan dersik Katanya ia adalah aku Dan kami berkejaran Dunia yang bola Tak kemana-mana Gelagak di dada Tatkala keledai katanya Dengan seikat rumput dimulut tak bisa merenggut Tak mungkin bisa Kini peluh tlah berlipat Ia adalah aku Dan kami berkejaran Bayanganku sendiri Tak henti berlari

Layang-layang Putus

Dimana mimpimu jatuh sayang Biar kuurai Biar puisiku memudar Dimana aksara kita tersangkut di waktu yang kusut Untukmu sayang, Aku datang dengan galah di tangan Untuk hati yang rapuh, Layang-layang yang putus di tanganku

Ada Kamu

Ada detik Ada dengung Ada nafasmu Dan kikis malam di kaca jendela Lalu doaku sendiri Supaya embun tak perlu jatuh Dan kamu tetap lelap Dibalik tabir, dalam jarak Ada disana

Kota

Di kota ini, banyak orang Banyak sekali Tak kukenal, tak perlu kukenal Teka-teki kubistik, diantara garis aku terselip Ada banyak tiang Ada banyak sudut Aku tak mau sendiri Aku mau luka yang perih Aku mau luka basah merah Aku mau kamu di pelintasanku Sejenak ini adalah permainan Kau adalah garis yang kupotong, dan memotongku Hingga sebuah ruang kan tercipta diantara kita dan orang-orang Dan kota

Aku Ingin Berdenting

Aku ingin berdenting Gotri yang bising di atas piring Mencuri sesaat waktumu Yang bukan untuk aku

Mengapa Bersembunyi

Dik, gerbangnya terkunci Dengarlah aku mengetukngetuk jeruji Dik, mengapa sembunyi Padahal aku membawakan cinta untukmu

Monolog Rindu

Sayang, waktu terus berputar. Demikianlah katakata menjadi membosankan. Kerinduanku adalah ketelanjangan kanakkanak pada makna. Dan aku bertanya dengan lugunya: apakah artinya ini? Ah kekanakan, katamu. Malam yang berbeda,  dunia kitapun sama. Sementara hati yang lain, makin pudar dalam semarak cinta. Sayang, kau dan senyummu, dan gerakmu yang manja, dan kisah putri di menara kayu, dan lobster merah penjagamu, dan bibirmu, dan pinggulmu, dan ratapanku kala pagi tiba. Bolehkan aku menjadi sebutir batu diantara kakikaki lobster merah itu? Kutuklah aku, karena aku mulai mengutuki kelahiranku sendiri. Sumpah serapah dan caci maki, tetap hanya sunyi.

Cemburu

Aku adalah sebutir air hujan yang jatuh di tepian tabik, yang cemburu pada jeram, yang tak pernah tau hendak menuju kemana.

Genggam Derita

Katamu, semua sama Aku terluka Kataku, kau tersenyum Angin panas melantun di padang gersang Disana asaku ilalang terbakar aksaraku menjadi abu Semua sama Ketidakwarasan yang menjelma derita kugenggam

Cantik

Cantik Diatas jalanan waktu terpecah Aku dan aroma aspal di badanku Tak mungkin memilikimu Meskipun ingin,kulitmu wangi

Detik Yang Hilang Esok Malam

Ada detik yang hilang dari jam Jatuh bersama hujan esok malam Angka yang tak kutemukan Di lubang toilet     laci-laci kurcaci     saku-saku aku Benci  yang tak kau katakan dalam bilangan dalam  huruf-huruf yang jatuh pada detik sebelum hujan Entah yang mana Entah bagaimana Rindu harus kusiapkan sehabis hujan