Museum Masa Depan yang Tak Pernah Ada


(setelah Baudrillard dan sebelum lupa)

Anak-anak berjalan ke dalam hutan
yang disusun dari piksel dan janji manis algoritma.
Pohon-pohon terbuat dari cuplikan iklan,
dan burung-burung bersiul dalam suara notifikasi.

Seekor kelinci melompat keluar dari feed Instagram,
ia membawa jam,
tapi bukan untuk menunjukkan waktu—
melainkan tren terbaru.

Di hutan ini,
setiap daun adalah layar,
setiap ranting adalah antena.
Dan angin yang berhembus
membisikkan slogan,
bukan doa.

Anak-anak bermain petak umpet
dengan sesuatu yang disebut realitas.
Mereka mencari-cari kenyataan
di balik filter kecantikan
dan bingkai #nofilter.

Satu anak bertanya:
"Apakah sungguh ada dunia di luar kamera?"
Kawan-kawannya tertawa:
"Kenapa harus ada, kalau yang ini lebih bisa disukai?"

Seekor serigala muncul
dari balik billboard transparan.
Ia sudah tidak berbulu.
Hanya tinggal brand.

Ia tak menggigit,
ia hanya menawarkan kontrak kerjasama.

Anak paling kecil tersandung kata "autentik",
yang sudah lama dibekukan dalam museum konsep.
Ia menangis,
tapi air matanya otomatis berubah menjadi stiker emoji.
Ia mencoba berdoa,
tapi kata "Tuhan" dihapus oleh sistem
karena melanggar pedoman komunitas.

Seseorang berbisik:
“Dunia ini terlalu rapi untuk nyata.”
Dan anak-anak itu mengangguk
dengan kepala yang sudah dibentuk
oleh template.

Di akhir hari,
mereka pulang bukan ke rumah,
tapi ke beranda
yang selalu diperbarui,
tapi tak pernah dihuni.

"Apa gunanya kejujuran,"
kata salah satu anak,
"kalau kenyataan pun sekarang harus diedit dulu
sebelum dipahami?"

Postingan populer dari blog ini

A Servant's Letter

Ibadah Sepanjang Usia (Dorothea Rosa Herliany)