Minggu, 27 Maret 2016

Kerangka Mencari Keadilan

Di dalam sepetak kubur diantara pepohonan jati. Tulang-tulang menggeliat. Sudah tiba waktunya mereka kembali menjadi satu terikat kuat oleh sendi-sendi yang baru. Dendam begitu pekat pada mereka yang mati tidak wajar. Amok yang terhisap keseluruh sum-sum dan urat saraf.

Malam itu bintang tak nampak, terlalu gelap bagi bulan untuk bersinar. Di batang pohon jati tonggeret berhenti bernyanyi. Matanya awas mengamati tulang-tulang berjalan gontai ke arah timur. Musang bersembunyi di bawah kayu tua, tak tahan mencium bau anyir menjijikan yang tiba-tiba tersebar diudara.

Nampak dari beberapa pakaian yang masih dikenakan sosok-sosok itu, sebagian besar dari mereka adalah petani. Juga terlihat beberapa kerangka yang mengenakan kain merah terikat di leher.

Tepat tengah malam rombongan kerangka itu bertemu dengan rombongan kerangka dari kuburan masal yang lain. Lalu bertemu kembali dengan rombongan-rombongan lain dan menjadi suatu rombongan besar kerangka manusia.

Orang-orang mematikan lampu rumah mereka, menyaksikan rombongan itu lewat dari sibakan korden balik jendela. Ibu-ibu memeluk anak mereka erat-erat, orang-orang berambut putih mulai komat-kamit. Entah berdoa atau mengutuk. Kebenaran yang berdiri didepan mata bisa membuat orang kehilangan bangunan nalar yang selama ini mereka pertahankan.

Sesosok kerangka berhenti lalu menoleh ke arah rumah. Bergeming, seolah hendak singgah. Tetapi kemudian kerangka lain yang berjalan dibelakang menubruk belikatnya, memaksanya terus berjalan.

Kucing Kecil

Kucing kecil itu masih lapar. Kucing kecil hanya mengeong. Kucing kecil dibelakang kerumuman. Kucing kecil yang kasihan. Semoga dia tidak mati karena perih keputusasaan di lambungnya.

Kucing Kecil

Kucing kecil kelaparan
Kucing kecil kesepian
Kucing kecil kedinginan
Kucing kecil berjalan jauh
Kucing kecil bercupang hitam
Bercinta setengah jalan
Lalu dibuang ke trotoar


Kamis, 10 Maret 2016

Lamunan Mengambang

Aku lamunan mengambang
Melayang tipis
Terantuk legam
Tertambat pada kantuk hitam
Pada suatu titik di dalam peta
Ujungku tersimpul kupu-kupu
Seutas tambang
Hanya jemari
Merambat sepanjang punggung malam
Menelurus, menciumi
Ingin kembali
asal si lubang jalang
Aku cemburu
Asyik bercumbu, hati belati tajam


Tidur Siang

Dibawah atap logam tipis yang lebih mirip oven menjelang lebaran, seorang laki-laki tertidur. Seperti adonan kue kering lidah kucing diatas loyang, laki-laki itu terlentang diatas hamparan tikar bertelanjang dada. Dia tidak nampak peduli dengan udara panas di bilik kayu beratap seng itu, meski keringat berkilap basah di badannya.

Renyah, gurih, dan manis. Bukankah demikian impian di siang bolong? Jadi siapa pula perlu peduli. Bahkan jika dia bermimpi buruk seperti harga gabah yang tiba-tiba jatuh lalu dengan terpaksa dia menghitung ulang penjualan hasil panen di kolong rumah, dia tidak mengatakan apa-apa dalam tidurnya.

Perlahan-lahan seorang perempuan menaiki tangga kayu di depan rumah kayu itu. Ia nampak berhati-hati melangkah, namun derik sambungan kayu lantai tidak bisa dia sembunyikan dibalik bungkusan plastik hitam yang ia bawa. Di teras rumah atas perempuan itu sedikit mengintip melalui jendela, sesaat nampak ingin mengetuk dan memanggil nama seseorang tapi diurungkannya. Akhrnya ia meletakkan bungkusan itu di atas meja kecil dekatnya, lalu beranjak pergi.

Ulat Bulumu

Kaca jendela itu bergetar. Kuperhatikan baik-baik, lalu telingaku menangkap suara gemuruh. Nadanya naik turun bergelegak seperti asam lambung seekor     mahluk raksasa kelaparan. Aku tidak berbohong, suara itu benar-benar seperti keluar dari rongga perut.

Katamu aku hanya lapar. Aku memang lapar, tapi dari sorot matamu yang melecehkan membuatku lebih merasa muak daripada lapar.

Lalu aku berseru kepadamu, coba gunakan imajinasi sedikit. Aku sudah muak menghitung tiap tetes solar lalu berapa kubik tanah pada setiap detik dan setiap menit. Empat bukit di perbukitan Pangkajene sudah kuhitung tiap butirnya.

Kau malah tertawa. Ingin kupukul kepalamu dengan as roda. Tapi kurasa sia-sia menghabiskan napas berlari kebengkel lalu kembali ke kantor ini hanya untuk memukulmu. Belum terhitung kaloriku yang hilang saat menyeret as roda sepanjang jalan. Lalu kantor ini di lantai dua, berarti aku akan turun dan naik lagi.

Aku mendengus karena kesal, tapi sama sekali tidak mirip dengusan raksasa-raksasa berkaki sepuluh yang hilir mudik ditambang setiap hari. Lalu kau malah mengajukan tawaran yang paling tidak masuk akal.

Kau mau mengurus ulat bulu, begitu tawaranmu padaku. Mataku hampir copot mendengarnya. Segera aku mulai mencak-mencak di depanmu dengan gerakan mirip tari kecak. Kusebutkan satu-satu: Belum lagi kita bayar hutang sepatu si gendut Korea kau mau pelihara ulat bulu?, Kemarin baru saja pusing cari belalai untuk si kuning-hitam Jepang kau mau pelihara ulat bulu? Belum lagi...Kau malah tertawa keras-keras menutup ucapanku. Katamu aku tak mendengarkan baik-baik.

Bangsat!, kau sudah membeli ulat bulu sebelum aku setuju! Kuteriakkan di depanmu, tak lupa kugebrak meja kerjamu agar luapan ini sempurna. Kau mengangguk, mengambil rokok dan menjepitkannya dikuluman senyummu.

Korek, katamu sambil menjulurkan tangan padaku. Kuambil apa yang kau minta dari kantung kiri kemejaku. Kau membakar ujung rokok, menghisapnya dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Sempurna dengan pengunci senyuman gelimu padaku.

Aku keluar, kuucapkan pamit dan segera beranjak pergi dari ruangan. Kau memanggil-manggil namaku, jangan marah katamu. Tapi aku marah, kesal, dan muak.

Aku tak suka ulat bulu. Hanya satu alasanku: mahal.

Di sudut tembok parkiran motor ada sebuah warung kopi berdinding seng. Biasanya ramai disana, ada banyak supir dan operator yang bisa menceritakan segala macam hal yang terjadi di tambang. Tapi kali ini sepi, hanya nampak gundukan gorengan diatas meja kayu dan tidak ada punggung siapapun.

Kopi bos, tanya mbak Diyah pemilik warung. Aku mengangguk, lalu beberapa menit kemudian secangkir kopi hitam godokan saring tersaji di depanku. Kopi ini yang aku suka, tidak ada ampas dan larut sempurna. Tidak seperti kopi seduhan yang penuh butiran mengapung, walau sama-sama berasal dari bungkusan plastik siap saji.

Kopi ini harganya sama, tapi kalau dibikin berbeda jadinya akan beda. Demikian komentarku yang di dengarkan mbak Diyah baik-baik dari balik pembatas seng meja dapurnya. Pasti gara-gara Eksapator baru ya pak bos, sahutnya. Segera kujelaskan kalau harus pakai "ve" bukan "pe" mbak Diyah. Dia tertawa, aku menggigit tahu goreng isi kecambah dan kol.

Seekor mahluk berkaki sepuluh lewat di balik punggungku. Dia mendengus-dengus kesal seolah protes tentang muatannya yang berat. Aku menoleh, lalu mahluk itu berteriak nyaring dan seseorang melambai dari atasnya.

Marno mata keranjang sudah tua tidak tahu diri. Aku agak kaget mendengar ucapan mbak Diyah. Kenapa mbak, Marno main perempuan? tanyaku pada perempuan kantin yang tengah memasang bibir mencibir.

Mending main perempuan pak bos daripada beristri muda. Perutku isi tahu isi menggelagak minta penjelasan isi kata-kata mbak Diyah.

Jauh-jauh ditinggal merantau di Purwokerto malah ditinggal lagi kawin lagi di Sulawesi, terangnya. Aku tertawa dan menyeletuk, suruh siapa tidak ikut ya ditinggal. Mbak Diyah mendengus persis seperti mahluk-mahluk berkaki sepuluh pengangkut tanah begitu mendengarku.

Mbak Diyah, nggoreng mendoan?. Tiba-tiba kamu sudah berdiri di belakangku menyusul ke warung. Aku ikutan mendengus seperti mbak Diyah.

Oh ada yang ngambek soal eksapator baru ya, goda mbak Diyah melirikku sambil menyodorkan sepiring mendoan padamu. Kamu lekas membenarkan mbak Diyah, pakai "ve" mbak bukan "pe" jadi eksavator begitu. Aku pura-pura tidak mendengar.

Ada yang mau selingkuh sama ulat bulu Amerika, kataku nyinyir. Mbak Diyah beringsut menjauh dari meja kita. Suasana sedikit tegang kurasa, kamu pun terdiam. Kamu berusaha mencarikan suasana dengan tersenyum kecil, tapi tak mempan buatku.

Kalau kamu tidak mau urus proyek di Kebumen ya sudah. Aku lekas menengok mendengar ucapanmu. Kau tertawa lagi, aku makin penasaran. Ini soal ulat bulu? Kutegaskan rasa penasaranku itu. Lalu kamu mengangguk sambil menggigit mendoan yang ikut melambai naik turun di mulutmu.

Kenapa tidak beli ulat bulu disana? tanyaku lagi. Menghitung biaya kapal dan kendaraan penggangkut dari Sulawesi Selatan ke Jawa Tengah saja tentu sudah mahal. Tapi kau menggeleng, lebih murah ini katamu.

Aku menang taruhan pilkada, katamu ringkas. Mbak Diyah memandangku dengan heran dari sudut warungnya, aku pun juga heran. Seekor ulat bulu jadi taruhan, sinting.

Rabu, 09 Maret 2016

Lara & araL Avianti Arman

Lara dibalik Aral, permainan nama yang aku kagumi dari Avianti Arman hingga kuingat-ingat terus dalam hal penamaan. Dua nama saling bercermin itu telah menceritakan isi, setidaknya memberikan gambaran bagaiaman penokohan akan berjalan. Dimana secara luar biasa hal-hal itu tersembunyi sampai akhir cerita.

Korelasi subjek dengan subjek cerminan imajiner tanpa dialog melainkan tindakan penjelasan visual, bagaimana "luka" menproyeksikan diri pada "masalah"-Hal seperti ini yang membuat otakku berhenti saat membacanya.

Belum lagi soal mimpi "sementara aku masih bermimpi berburu babi." Adakah komparasi lain yang lebih sempurna seperti ini?.

Saya kagum.

Perkara Mimpi Semalam

Mimpi macam apa semalam? aku tidak mengerti bagaimana objek-objek itu secara visual bisa muncul dalam scene dalam tidurku. Bahkan kurasa skalanya nyaris sempurna, seperti mimpi yang kemarin dulu. Kuakui ada keinginan yang kuat untuk berdamai dengan keduanya, setidaknya untuk diriku sendiri. Kuharap keduanya pun begitu, meski ini hanya mimpi.

Konyol sekali.


Minggu, 06 Maret 2016

Merantau

"Sesiapa pergi dari kampungnya untuk merantau. Dia sudah dianggap mati oleh sesiapa yang mengenalnya. Hanya kenangan dan harapan yang tertinggal disana, juga di dalam buntalan perbekalan yang dibawa. Sedikit demi sedikit itu semua akan habis."

Aku terdiam membaca ini, meski hatiku bertarung tak menerima. Menurutku ini sama sekali tidak benar, mereka dan aku masih hidup. Harapan dan kenangan akan tetap hidup selama kami hidup. Tetapi sebagian kecil mengatakan kalau itu benar, dan perlawanan ini hanyalah romantisme yang tak lama akan menguap bersama terik mentari.

Langit Menangis

Langit menangis
Aku dan mata
Menangkapi air mata
Tercurah
Seluruhnya

Mungkin lenganku gelas
Atau kakiku kertas

Langit masih menangis
Mata dan luka
Mengurai serat serat luka
Terbuka
Seutuhnya

Mungkin kepalamu cadas
Atau rambutmu klaras

Langit tetap menangis
Luka dan kata
Menjahit lembaran kemeja
Terkait
Sejadinya

Mungkin hati kita cemas
Atau rasa kemarau merangas




Museum Masa Depan yang Tak Pernah Ada

( setelah Baudrillard dan sebelum lupa ) Anak-anak berjalan ke dalam hutan yang disusun dari piksel dan janji manis algoritma. Pohon-pohon...