Ulat Bulumu
Kaca jendela itu bergetar. Kuperhatikan baik-baik, lalu telingaku menangkap suara gemuruh. Nadanya naik turun bergelegak seperti asam lambung seekor mahluk raksasa kelaparan. Aku tidak berbohong, suara itu benar-benar seperti keluar dari rongga perut.
Katamu aku hanya lapar. Aku memang lapar, tapi dari sorot matamu yang melecehkan membuatku lebih merasa muak daripada lapar.
Lalu aku berseru kepadamu, coba gunakan imajinasi sedikit. Aku sudah muak menghitung tiap tetes solar lalu berapa kubik tanah pada setiap detik dan setiap menit. Empat bukit di perbukitan Pangkajene sudah kuhitung tiap butirnya.
Kau malah tertawa. Ingin kupukul kepalamu dengan as roda. Tapi kurasa sia-sia menghabiskan napas berlari kebengkel lalu kembali ke kantor ini hanya untuk memukulmu. Belum terhitung kaloriku yang hilang saat menyeret as roda sepanjang jalan. Lalu kantor ini di lantai dua, berarti aku akan turun dan naik lagi.
Aku mendengus karena kesal, tapi sama sekali tidak mirip dengusan raksasa-raksasa berkaki sepuluh yang hilir mudik ditambang setiap hari. Lalu kau malah mengajukan tawaran yang paling tidak masuk akal.
Kau mau mengurus ulat bulu, begitu tawaranmu padaku. Mataku hampir copot mendengarnya. Segera aku mulai mencak-mencak di depanmu dengan gerakan mirip tari kecak. Kusebutkan satu-satu: Belum lagi kita bayar hutang sepatu si gendut Korea kau mau pelihara ulat bulu?, Kemarin baru saja pusing cari belalai untuk si kuning-hitam Jepang kau mau pelihara ulat bulu? Belum lagi...Kau malah tertawa keras-keras menutup ucapanku. Katamu aku tak mendengarkan baik-baik.
Bangsat!, kau sudah membeli ulat bulu sebelum aku setuju! Kuteriakkan di depanmu, tak lupa kugebrak meja kerjamu agar luapan ini sempurna. Kau mengangguk, mengambil rokok dan menjepitkannya dikuluman senyummu.
Korek, katamu sambil menjulurkan tangan padaku. Kuambil apa yang kau minta dari kantung kiri kemejaku. Kau membakar ujung rokok, menghisapnya dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Sempurna dengan pengunci senyuman gelimu padaku.
Aku keluar, kuucapkan pamit dan segera beranjak pergi dari ruangan. Kau memanggil-manggil namaku, jangan marah katamu. Tapi aku marah, kesal, dan muak.
Aku tak suka ulat bulu. Hanya satu alasanku: mahal.
Di sudut tembok parkiran motor ada sebuah warung kopi berdinding seng. Biasanya ramai disana, ada banyak supir dan operator yang bisa menceritakan segala macam hal yang terjadi di tambang. Tapi kali ini sepi, hanya nampak gundukan gorengan diatas meja kayu dan tidak ada punggung siapapun.
Kopi bos, tanya mbak Diyah pemilik warung. Aku mengangguk, lalu beberapa menit kemudian secangkir kopi hitam godokan saring tersaji di depanku. Kopi ini yang aku suka, tidak ada ampas dan larut sempurna. Tidak seperti kopi seduhan yang penuh butiran mengapung, walau sama-sama berasal dari bungkusan plastik siap saji.
Kopi ini harganya sama, tapi kalau dibikin berbeda jadinya akan beda. Demikian komentarku yang di dengarkan mbak Diyah baik-baik dari balik pembatas seng meja dapurnya. Pasti gara-gara Eksapator baru ya pak bos, sahutnya. Segera kujelaskan kalau harus pakai "ve" bukan "pe" mbak Diyah. Dia tertawa, aku menggigit tahu goreng isi kecambah dan kol.
Seekor mahluk berkaki sepuluh lewat di balik punggungku. Dia mendengus-dengus kesal seolah protes tentang muatannya yang berat. Aku menoleh, lalu mahluk itu berteriak nyaring dan seseorang melambai dari atasnya.
Marno mata keranjang sudah tua tidak tahu diri. Aku agak kaget mendengar ucapan mbak Diyah. Kenapa mbak, Marno main perempuan? tanyaku pada perempuan kantin yang tengah memasang bibir mencibir.
Mending main perempuan pak bos daripada beristri muda. Perutku isi tahu isi menggelagak minta penjelasan isi kata-kata mbak Diyah.
Jauh-jauh ditinggal merantau di Purwokerto malah ditinggal lagi kawin lagi di Sulawesi, terangnya. Aku tertawa dan menyeletuk, suruh siapa tidak ikut ya ditinggal. Mbak Diyah mendengus persis seperti mahluk-mahluk berkaki sepuluh pengangkut tanah begitu mendengarku.
Mbak Diyah, nggoreng mendoan?. Tiba-tiba kamu sudah berdiri di belakangku menyusul ke warung. Aku ikutan mendengus seperti mbak Diyah.
Oh ada yang ngambek soal eksapator baru ya, goda mbak Diyah melirikku sambil menyodorkan sepiring mendoan padamu. Kamu lekas membenarkan mbak Diyah, pakai "ve" mbak bukan "pe" jadi eksavator begitu. Aku pura-pura tidak mendengar.
Ada yang mau selingkuh sama ulat bulu Amerika, kataku nyinyir. Mbak Diyah beringsut menjauh dari meja kita. Suasana sedikit tegang kurasa, kamu pun terdiam. Kamu berusaha mencarikan suasana dengan tersenyum kecil, tapi tak mempan buatku.
Kalau kamu tidak mau urus proyek di Kebumen ya sudah. Aku lekas menengok mendengar ucapanmu. Kau tertawa lagi, aku makin penasaran. Ini soal ulat bulu? Kutegaskan rasa penasaranku itu. Lalu kamu mengangguk sambil menggigit mendoan yang ikut melambai naik turun di mulutmu.
Kenapa tidak beli ulat bulu disana? tanyaku lagi. Menghitung biaya kapal dan kendaraan penggangkut dari Sulawesi Selatan ke Jawa Tengah saja tentu sudah mahal. Tapi kau menggeleng, lebih murah ini katamu.
Aku menang taruhan pilkada, katamu ringkas. Mbak Diyah memandangku dengan heran dari sudut warungnya, aku pun juga heran. Seekor ulat bulu jadi taruhan, sinting.