Kerangka Mencari Keadilan
Di dalam sepetak kubur diantara pepohonan jati. Tulang-tulang menggeliat. Sudah tiba waktunya mereka kembali menjadi satu terikat kuat oleh sendi-sendi yang baru. Dendam begitu pekat pada mereka yang mati tidak wajar. Amok yang terhisap keseluruh sum-sum dan urat saraf.
Malam itu bintang tak nampak, terlalu gelap bagi bulan untuk bersinar. Di batang pohon jati tonggeret berhenti bernyanyi. Matanya awas mengamati tulang-tulang berjalan gontai ke arah timur. Musang bersembunyi di bawah kayu tua, tak tahan mencium bau anyir menjijikan yang tiba-tiba tersebar diudara.
Nampak dari beberapa pakaian yang masih dikenakan sosok-sosok itu, sebagian besar dari mereka adalah petani. Juga terlihat beberapa kerangka yang mengenakan kain merah terikat di leher.
Tepat tengah malam rombongan kerangka itu bertemu dengan rombongan kerangka dari kuburan masal yang lain. Lalu bertemu kembali dengan rombongan-rombongan lain dan menjadi suatu rombongan besar kerangka manusia.
Orang-orang mematikan lampu rumah mereka, menyaksikan rombongan itu lewat dari sibakan korden balik jendela. Ibu-ibu memeluk anak mereka erat-erat, orang-orang berambut putih mulai komat-kamit. Entah berdoa atau mengutuk. Kebenaran yang berdiri didepan mata bisa membuat orang kehilangan bangunan nalar yang selama ini mereka pertahankan.
Sesosok kerangka berhenti lalu menoleh ke arah rumah. Bergeming, seolah hendak singgah. Tetapi kemudian kerangka lain yang berjalan dibelakang menubruk belikatnya, memaksanya terus berjalan.