Minggu, 28 Februari 2016

Pilar Pualam Menjulang

Dua pilar pualam putih sempurna benar
Dingin tanpa retakan, menjulang sendirian sendirian menjulang
Ingin jariku disana menjalar meraba samar
Pilarku menjulang nafsuku menjadi satu menjulang
Kulit pada pilar pualam, kuputih sempurna benar


Nikmati

Menarilah yayi menari sepatu kaca
Akupun dalam seragam penjaga ini
Tak akan berbunyi lonceng baja dalam pesta
Gigi tikus membuat waktu berhenti, gigiku sendiri
Ayolah yayi, pergilah menari
Nikmati saja dusta selagi bisa
Karena dusta tak pernah kita punya
Disana pangeran menanti
Tetapi tidak pada pagi



Sabtu, 27 Februari 2016

Tiga Kelambu

Tiga Kelambu

Garis garis kelabu silang menyilang manjaring tubuh kelambu
Tiga perempuan
Tiga penantian
Bayang-bayang perang dalam mimpi membeku
Menyusup dari sela sela kayu, jatuh turun di perabu
Sepucuk kertas sisa terbakar
Dia yang pertama sirna
Tertanda pengecut berpamit entah kemana
Di dinding dinding berurat merbau kolase menggantung hijau
Seseorang rupanya menunggu kedua rindu
Irama seruling pipa kawanan sapi dan cinta di bawah perdu
Menelusur hidup loyang ketiga sebuah pai selai entah untuk siapa
Menanti diatas meja berabad lampau
Garis garis kelabu mengasap pekat seolah semua kembali menjadi labu



Ginjal

Ginjal

Biarkan satu pergi
Untuk kamu
Hiduplah
Masih ada satu lagi
Untuk kamu
Tenanglah



Untuk Malam Untuk Pulang

Logam sejajar pelintasan tujuan, beberapa harus pergi dan sebagian harus pulang. Berjajar rapi di antrian, tidak seorangpun ingin tertinggal. Aku mengerti betapa teriknya mentari, karena mataku sakit. Aku mengerti betapa teriknya mentari, karena hatiku sakit. Hanya malam yang menyembunyikan kecacatan, melayakkan dalam kegelapan yang membutakan. Maka akupun turut dalam antrian, untuk malam untuk pulang.

Jumat, 26 Februari 2016

Ciptaan baru

Dalam suatu mimpi aku pernah melihatnya. Selintas frekuensi yang entah dalam sigma probabilitas macam apa terdistorsi di muka bumi. Pertama kupikir biru, lalu kupikir kuning. Dia tak tetap, bergelombang acak berbias seperti kaca-kaca. Kadang dia biru, kadang ungu, hanya sesekali merah.

Aneh sekali, di tempat seperti ini kehidupan diciptakan lagi padahal semua menginginkan ini mati. Pusarannya disana, diatas sebuah gerobak sampah penuh karat. Terparkir acuh diatas comberan bau tersumbat kondom dan pembalut. Bergetar bunyi-bunyi bising, tapi tak ada yang peduli bahkan aku seperti tak disini. Sampai semua berenti dan sunyi lagi.

Bumi dan langit yang baru turun dari peraduannya. Bukit-bukit yang tumbuh menghijau berkelindan sinaran lembut di seluruh lembah. Cantik benar, dan dia bukan rusuk siapapun. Melangkah tak peduli diantara akar-akar kota, dia pergi. Tak pernah dapat kutemui, dia tersembunyi.

Dalam Jengkalan

Hati kita sejengkalan, lupa pada lidah
Sampai mata yang hanya kamu
Hanya aku, buta padaku
Mendung yang kentara membawa hujan
                                 Hanya rasa
                                 Dan suara
                                 Tanpa rupa
Aku tahu kita akan basah, dan menggigil
Tetapi hujan akan datang mencipta genangan
Lagi dan lagi dan abadi
Rindu kembali dalam jengkalan, tanpa isyarat




Api Tak Pernah Mati

Api Tak Pernah Mati

Sudah pagi
Tidurlah lagi
Ini mimpi
Tidak seorangpun pergi
Aku disini
Kamu disini
Tanpa tapi
Hanya api
Tak pernah mati






Sejarah Patah

Sejarah Patah


Rantingku patah
Nyaris dahanku rebah
Tentang daun daun yang kau jarah
Biar menjadi sejarah




Gigit Lagi Api!

Gigit Lagi Api!

Buah yang sudah digigit
Ingin kukatakan lagi
lagi
       dan lagi
                    dan lagi
       dan api
api
Ingin kumakan api
Gigi yang sudah menggigit





Tentang Jogja

Tentang Jogja

Tentang Jogja, kita bicara tentang jenuh yang mengendap diantara rindu. Jalanan telah tertulisi namamu, cat putih diatas memori yang begitu hijau. Karena pelukanmu, candamu, juga nafasmu di telingaku adalah aroma yang membuat lapar. Seringkali terlalu manis, tetapi lesehan adalah puisi yang merambat di meja-meja kayu yang lembab karena air mata. Kita muda dan bermimpi memenangkan semua berdua, dengan berpedang sebatang sate usus dan rempela - kadang kala sepotong paha.

Tentang Jogja, kita bicara tentang gunung tinggi menjulang lalu senja dipantai hitam. Ikan yang akhirnya kau makan dan aku bahagia membawamu berkencan. Pucat pasi tebing Parangdog menyaksikan senyumanmu, hingga tak kau lepas genggamanmu. Kita tak kan jatuh sayang, mungkin lupa. Tetapi kelak di Iromejan, seekor anjing betina berbulu cokelat akan memanggilmu kembali pada kenangan.



Kamis, 25 Februari 2016

Tunggu Aku di Jogja

Pagiku Terbatas

Cabai Rawit Belakang Mess

 

Ada sebatang pohon cabai rawit hijau tumbuh di halaman belakang messku. Dulu tetangga yang menanam sebelum dia pindah dari mess sebelah. Pohon ini terus berbuah, seolah ada buatku yang lebih suka makan cabai segar utuh daripada sambal tumbuk. Sama seperti yang menanamnya dulu, tetangga itu membuka warung makan dan selalu memberi cabai utuh sebelum kuminta.

Sabtu, 20 Februari 2016

Laba-laba Menjalin Jaring

Laba-laba Menjalin Jaring


Laba laba menjalin jaring
Keringat untuk perangkap
Waktu yang berpusar di meja judi
Menanti
Satu barangkali seribu lamunan yang melekat
Lengket
Sepanjang angan di langit-langit kamar
Garis garis tak sejajar di penggaris
Tetapi terus merangkap
Menanti tertangkap tak lari lagi
Kota ingin berhenti pada satu
Mati
Impian dalam perangkap terbuat dari keringat
Lekat
Waktu terus berpusar dan tak pernah menang
Dan laba laba terus menjalin jaring





Lika liku laki laki

Lika Liku Laki-Laki

Lika liku laki laki tak laku laku
Tak takut hati luka luka
Biar lika liku cinta meluka luka
Lelaki cinta
Meski tak laku laku
Meski luka luka
Meski lika liku kaki laki laki
Demikianlah liku laki laki meluka luka
Lelaki tak laku laku
Melika liku luka sampai kaku



Kamis, 18 Februari 2016

Diatas Aspal

Fajar diatas aspal
Pagi diatas aspal
Siang diatas aspal
Sore diatas aspal
Senja diatas aspal
Malam diatas aspal
Larut diatas aspal


Rabu, 17 Februari 2016

Negeri Terumbu Biru - Bagian Kedelapan

Negeri Terumbu Biru
Oleh: Meob
Bagian Kedelapan

***
Nyanyian dibawah rumbia
irama peluncur berdetak tuas sejajar
Pada sela kain-kain terajut
Dalam lirik tenun terikat
Terselip warna rindu yang pekat
Tentang dia,
Lelaki pantai dalam pukat
***

Radit datang, tak pernah kukira dia benar-benar datang. Sesuatu yang berbeda, karena kali ini untuk selamanya. Aku tertawa sendiri, itu berlebihan. Tapi aku benar-benar senang.

Di gerbang pintu kedatang domestik kutunggu dia keluar. Tidak kukatakan aku menunggu dimana. Dia pasti ingat, karena dia harus ingat. Disini, didepan kedai kopi bernama Kedai. Tempat dimana untuk pertama kali dia datang menemuiku di Bali tiga tahun lalu.

Aku masih ingat benar, dia benar-benar hitam. Meski aku maklum dia tidak memakai sunblock sebagaimana laki-laki umumnya menolak kosmetik, tapi dia benar-benar nampak jelek. Dia tahu aku tak suka melihatnya terbakar seperti itu. Tapi kemudian dia berhasil membuatku nyaman juga dengan kelakarnya.

“Lastri, kita bukan Romeo dan Juliet. Mereka terlalu tragis, tetapi kita alami. Kamu tahu apa yang pas?” demikian dulu dia memulai dan aku menggelengkan kepala sekedar menunggu apa yang hendak Radit katakan. Lalu dengan berbisik di katakan begini,

“Aku ini kernet truk barang antar kota yang jatuh cinta pada mbak-mbak warung kopi di pinggir jalan.”

Saat itu aku tak mampu menahan senyumku geli, terlalu tepat analoginya itu. Aku tidak cantik, bahkan Luh yang sekarang membantuku untuk urusan kantor jauh lebih cantik. Tetapi kata Radit waku itu, bagaimanapun juga si kernet truk tetaplah jatuh cinta pada mbak-mbak warung kopi itu. Sayangnya sebagaimana biasa, aku pandai merusak suasana yang ia bangun.

“Tetapi setiap hari si mbak-mbak warung kopi harus menebak-nebak kapan si kernet truk datang.” Juga seperti biasa pula Radit menanggapinya dengan tawa kering.

Pukul sepuluh lebih, dia belum muncul. Aku menyesal kenapa tidak melihat lebih dulu papan pengumuman kedatangan penerbangan didalam. Tapi dia sudah mengirim pesan pukul delapan, katanya sudah duduk di pesawat. Aku takut dia lupa tempat ini, dia tidak boleh lupa karena ini bukan kelakar.

“Lastri!.” Radit tiba-tiba mengagetkanku, dia muncul dari arah belakang kedai.
“Sialan, aku nyasar. Tadi bagasinya lama sekali, ya ampun baunya bule-bule itu bikin pusing. Tahu tidak, mereka bawa-bawa papan selancar. Panjang sekali berputar-putar di roda berjalan. Hampir-hampir aku tergoda buat naik berselancar di putaran bagasi. Kamu tidak tunggu lama kan?, Maaf ya.”

Hanya dua hal yang terjadi kalau dia cerewet begini, pertama dia salah tingkah tidak tahu harus bagaimana, kedua dia sedang pusing dan hendak mengalihkan kepusingannya itu. Tapi aku hanya ingin menyajikan senyuman termanisku untuknya. Hadiah yang sempurna kurasa, pertama dia ingat tempat ini, dan alasan kedua dia datang padaku.

“Jadi, kita makan dimana?.” Ucapnya sambil menggarukan kepala, memandangku kemudian mengalihkan pandangan ke lain tempat kemudian memandangku lagi. Tetapi aku masih akan tetap tersenyum padanya.

“Hemhemhemhem.” Radit berdehem sambil tersenyum malu-malu. Lucu sekali melihatnya salah tingkah begini.

Tetapi senyumku sekejap kemudian hilang berganti kekagetanku yang tak terkira melihat bawaannya di troli. Seekor ikan bandeng besar sekali, nyaris sebesar bantal guling. Terbungkus dalam gulungan plastik dan isolasi seperti mumi.

“Buat apa Dit?.”

“Oleh-oleh.”

Aku nyaris naik darah mendengar jawabannya. Oleh-oleh macam apa seekor monster laut seperti ini.

“Buat teman kostmu.” Lanjutnya lagi dengan senyum penuh kebanggaan.

Sungguh Radit punya perhatian yang besar, tetapi ah sudahlah. Pasti dia juga sudah pesan jauh-jauh hari pada Herman teman kantornya itu untuk ini, aku tidak tega menghancurkan perjuangan mereka.

“Aku mau makan nasi babi Chandra, atau iga bakar yang seperti di fotomu kemarin sama Nana.”

“Mahal, memang kamu punya uang?.”

“Tidak, tapi aku punya pacar yang cantik dan baik hati.” Katanya dengan memasang senyum penuh makna. Aku hampir tertawa melihat wajahnya.

“Nanti, kita ke kostmu dulu taruh barang.” Jawabku saat taksi datang.

Entah apa yang terjadi diantara Radit dan supir taksi dibelakang. Samar kudengar ada yang tidak cukup dibagasikan. Agak berteriak kukatakan supaya tas laptop dan tas punggungnya di bawa masuk ke taksi saja. Radit mendengar, tas laptopnya kemudian diberikan padaku. Tetapi masalah di belakang masih belum selesai. Aku melongokkan kepala ke belakang, astaga rupanya Radit bersikeras untuk tidak memasukan ikan bandeng raksasanya ke bagasi.
Beberapa saat kemudian supir taksi akhirnya mengalah. Satu syaratnya adalah ikan itu harus dipangku Radit sampai tujuan, Raditpun sepakat. Tetapi pada akhirnya sepanjang perjalanan dia tidak menggenggam tanganku. Dia sibuk memeluk monster laut itu, dan aku memangku tas laptopnya. Hampir-hampir aku jengkel, tetapi kata Radit itu akan memalukan kalau aku cemburu pada seekor Ikan Bandeng.

“Suasananya seperti di Seturan Yogya.” Kata Radit saat memasuki daerah Gatsu Barat.

“Seturan tahun kapan?, sekarang ramai lho.” Kujawab demikian karena kuyakin memori Radit masih terlempar pada suasana delapan sampai sepuluh tahun lalu saat dia tinggal di daerah Seturan yang kini sudah jauh berubah dengan hotel dan banyak kompleks pertokoan.

Radit tidak sepenunya salah. Daerah perumahan dimana Radit kupesankan kost memang mirip dengan suasana ditempatnya dulu. Banyak bangunan bertampilan mediteranian berlantai dua yang dijadikan kost-kostan. Bukan kawasan perumahan dengan pengembang, lebih mirip kawasan kampung dan sawah timbunan yang berkembang dengan sendirinya seiring pertumbuhan kota yang berkembang ke pinggiran.

Radit nampak senang dengan kamarnya, tidak terlalu luas tetapi nampak lega karena jendela yang besar dan pencahayaan alami yang bagus. Aku sengaja memilihkannya disini, karena tidak terlalu jauh dari kostku. Hanya berjalan kaki beberapa menit sudah bisa dijangkau.

Setelah Radit beres, kami pergi mengambil motor. Beberapa orang memandangi kami dengan heran, kurasa lebih pada Radit yang sibuk menenteng lalu memeluk lalu menenteng lagi ikan bandeng raksasanya itu. Sudah kukatakan nanti saja setelah makan, tapi dia bersikeras mau membawakan untuk si Luh temanku sekarang. Katanya takut mencair, tetapi sebenarnya aku lebih takut si Luh yang mencair melihat oleh-oleh untuknya itu.

“Luh, Luh.” Kupanggil Luh dari depan pintu kamar kostnya.

“Iya Mbok.” Sahut Luh dari dalam kamar. Syukurlah dia belum pergi keluar bersama kekasihnya. Segera kuminta Radit menyerahkan monster lautnya begitu Luh membuka pintu.

“Apa ini Bli?.”

“Oleh-oleh. Gratis kok.”

“Bli itu yang artinya mas Dit, bukan beli yang membayar.” Kuluruskan Radit yang salah mendengar. Segera aku berpamit pada Luh yang takjub memandangi oleh-oleh di tangannya itu. Kurasa Luh tidak betul-betul mendengarku saat itu meski dia menggangguk.

Radit pada akhirnya mengurungkan niat makan nasi campur Bali yang dia minta tadi. Dia memohon-memohon makan di warung padang sudut jalan menuju jalan Gatot Subroto. Rupanya dia belum sarapan terlebih dahulu sebelum terbang dari Makassar.

“Besok-besok kita beli mobil.” Ujar Radit.

“Tidak usah, motor saja. Macet.”

“Macet?, sekarang Bali macet?.”

“Kau kan datang dulu musim hujan. Jadi tidak rasa kalau sebenarnya macet.”

“Kamu tidak apa-apa motoran begitu?.”

“Kan ada mobil dan sopir standby di kantor. Lagipula dekat kok, disana dekat gudang Citatah.”

“Citatah?.” Tanya Radit heran.

“Iya, kamu mau lamar disana?.” Radit hanya menggeleng.

“Lantas?.” Kutanya lagi demikian Radit hanya menggeleng lagi. Lalu ia memintaku untuk membahasnya nanti saja. Saat itulah aku benar-benar sadar dia mempetaruhkan banyak hal. Tapi tidak kupungkiri ada kekhawatiran merambat di hatiku.

***

Aku kesal beberapa hari ini Radit susah sekali membalas pesan singkat yang kukirimkan. Mau irit katanya sementara belum dapat pekerjaan pengganti. Lalu kutanya apa mau kubelikan pulsa, dia juga jawab tidak mau. Malu katanya belum berpenghasilan.

Sebenarnya soal pekerjaan aku tidak mempermasalahkannya, hanya saja Eko kenalanku yang kerja lantai di proyek hotel sudah meminta dia memasukan lamaran di Citatah. Mereka sedang butuh orang kata Eko karena sedang mengerjakan beberapa proyek sekaligus sekarang, tetapi Radit bersikeras tidak mau saat kutanyakan padanya seminggu lalu.

“Ambil saja, sementara belum kerja. Cuma pengawas barang masuk kata Eko. Daripada kau diam, toh tidak setiap hari kontainer datang kan.?”

“Tidak ah Las, aku tidak mau di marmer lagi.”

“Jangan lihat gajinya, anggap saja main dibayar.”

“Sudah ah Las.” Kata Radit dan memintaku diam.

Entah apa maunya, padahal aku hanya berharap dia punya kegiatan. Aku lebih khawatir Radit kehilangan kepercayaan diri kalau diam terus menerus. Luh sempat mengatakan kalau barangkali Radit malu kalau koneksinya dari aku, ego laki-laki kata Luh. Aku paham, tetapi akupun iba melihat Radit diam di kamar kostnya.

Malam ini aku mengajaknya berjalan-jalan santai di sekitar Sesetan. Aku senang dia nampak bergairah melihat penjual ikan-ikan bakar di pinggir jalan dan pemandangan jukung-jukung bersandar di darat.

“Sayang, kamu tidak kepingin belajar-belajar selancar di DreamLand apa Kute begitu?.”

“Tidak Las, boros.”

“Main-mainlah sedikit, aku khawatir kamu stress. Aku paham rasanya Dit.”

“Belum genap satu bulan kok Las, tidak stresslah.”

“Ya sudah.”

“Tadi siang Yusuf menelepon, ada lowongan di Sangatta. HR sih, kupikir aku mau coba.” Tiba-tiba Radit mengatakan hal yang tidak ingin kudengar.

“Buat apa kamu datang kalau mau pergi lagi?.”

“Tapi area kerjaku sepertinya memang di tempat seperti itu.”

“Terus setelah Sangatta mau kemana lagi? Papua?.” Radit tidak menjawab. Aku mulai kesal mendengar dia memiliki niatan untuk berpisah lagi. Setelah bertahun-tahun menunggu aku tidak mau segalanya dimulai lagi seperti dulu.

Saat melewati tanah-tanah kosong dalam perjalanan pulang Radit mengurangi kecepatan motor. Dia bercerita kalau beberapa kali dia jalan-jalan di area ini dan mulai berpikir untuk memiliki sebidang tanah. Saat itu aku mulai paham mengapa ia memikirkan peluang sejauh Sangatta.

“Jadi disinikah tempat?.”

“Apa Las?.”

“Negeri Terumbu Biru yang kau bilang dulu.”

Radit tidak lekas menjawab. Sesaat setelah tiba di kostku barulah dia menjawabku dengan sebuah pertanyaan yang memutar tuas mesin waktu.

“Apa kamu masih mau menunggu?.”

Sesaat aku mengingat suatu sore, pada bangku kayu berhadapan dibawah naungan pohon belimbing. Radit duduk dihadapanku, kaosnya hitam bertuliskan nama UKM pecinta alam kampus. Jeansnya juga hitam dengan sobek dimana-mana. Bahkan aku ingat gelang kayu bulat-bulat yang seperti tasbih di pergelangan tangan Radit. Tetapi aku tidak ingat jawaban apa yang kuberikan padanya waktu itu.

“Dulu apa jawabanku?”

Radit tersenyum agak kecut. Dia lalu duduk di bangku teras, memandang kolam ikan disudut pagar seperti sedang mengingat-ingat.

“Selesaikan kuliah, hemat, jaga diri, yang disiplin, rapih, terus jangan malas-malasan. Terus apalagi ya..hahaha. Kurasa waktu itu kamu tidak benar-benar tahu harus menjawab apa.”

“Sekarangpun juga Dit.”

Radit memandangku dengan ekspresi bersalah. Dia menungguku, tetapi aku tak tahu harus mengatakan apa.

“Kamu benar-benar tidak ingin aku pergi lagi ya?.” Tanya Radit sambil mengusap rambutku.

Aku menangguk.


***



Sabtu, 13 Februari 2016

Negeri Terumbu Biru - Bagian Ketujuh

Negeri Terumbu Biru
Oleh: Meob
Bagian Ketujuh


***
Ada orang yang pernah mengatakan kepadaku: Kalau hendak kerja batu kamu harus lebih keras dari batu, atau kau yang kalah. Tetapi di sini, sebuah sungai mengalir terbalik sekali waktu dan alam mengijinkan itu terjadi.
***


Radit menunduk lesu di meja kerjanya. Nampak lembaran tagihan dari sebuah bank swasta di balik telunkupnya. Herman tidak berani menggoda Radit saat itu. Berkali-kali dia melirik kawannya itu, seperti hendak bicara tapi tidak jadi.

Herman akhirnya berdiri menuju pantry, lalu kembali dengan dua cangkir kopi di tangan.

“Dit, kopi.”

Katanya sambil meletakkan cangkir panas di depan tangan Radit.

“Pusing Man.”

“Tidak mungkin kau tak punya cadangan. Hidupmu jauh lebih irit daripada aku dit. Seharusnya aku lah yang pusing.”

“Tapi kau ada keluarga disini Man. Gampang kalau dimintai tolong.

“Hahaha, sabarlah Dit. Pelan-pelan sana, kondisi membaik kok.” Sahut Herman sambil menepuk bahu Radit, lalu kembali ke meja kerjanya disebelah.

Sudah tiga bulan terakhir di awal tahun 2015 perusahaan Radit mengalami kemacetan keuangan. Pasalnya regulasi pemerintah melarang penjualan langsung raw material ke pasar luar negeri. Aturan itu memukul rata semua jenis pertambangan termasuk Marmer.

“Ada kabar Man?.”

“Belum, tapi kudengar kemarin asosiasi sudah ke Jakarta meminta pertimbangan soal Marmer. Kau tahu kita bukan pemurnian, hanya finishing tampilan.”

“Marmer kan tetap jadi marmer.”

“Nah, tidak semestinya begitu. Toh kita tidak jual gelondongan ke China.”

“Selesai kapan ya Man?, apa terus langsung lancar?.”

“Itu yang kupikir Dit, sejak belum ada aturan aneh itupun kita sudah mulai surut. Bangkrut kan ekonomi luar?.”

“Oh begitu?.”

“Dari televisi sih kulihat” Jawab Herman berseloroh.

Sesuatu tiba-tiba melintas dalam pikiran Radit. Nampak ia diam memikirkan sesuatu.

“Man?.”

“Apalagi?. Tadi pusing sekarang cerewet, apa mau Dit?.”

“Tidak cari cadangan?.”

“Cadangan Istri? Hahhahaha, satu saja bikin aku pusing Dit.”

Radit hanya tersenyum sedikit mendengar Herman. Padahal Herman belum lama menikah, akhir tahun kemarin saat Radit pergi ke Semarang.

“Kerjaan lain maksudku.” Lanjut Radit.

“Oh, ada Dit. Tapi aku pun ragu, batubara pun lebih parah daripada kita. Apalagi kemarin, adik mamakku ajak ke Nikel. Bah, bunuh diri kalau aku lari kesana.”

“Kudengar gajinya besar kan Man.”

“Ya, tapi kan lebih tak pasti. Naik turun terus, sebentar kerja sebentar dirumahkan. Itu Dit, seperti Maman anak Excavator sekarang duduk manis seperti anak gadis di rumah. Padahal sejak di Kalimantan dia pamer-pamer ke tetangga soal gaji.”

“Tapi kan mereka kerja setahun dapatnya seperti kita kerja dua tahun kan Man.”

“Tidak Dit, percaya saya. Mahal pula hidup di Kalimantan itu, belum lagi kalau suka minum-minum dan perempuan. Habis-habis.”

Radit tertawa melihat ekspresi tangan Herman yang bergerak-gerak bersilang ke kanan ke kiri saat mengatakan habis-habis. Rekannya itu memang terkenal biang gosip, sangat update  dengan gosip-gosip terbaru.

“Memang kau mau keluar?.”

Tiba-tiba Herman menembak dengan pertanyaan yang tengah menggantung di pikiran Radit. Setelah satu hirupan kopi, Radit menjawab.

“Iya Man, tapi pacarku si Lastri baru seminggu ini dipindahkan ke Bali. Kembali ke proyek lama gara-gara yang dia serahkan tanggungjawab lari dari tempat kerja karena selingkuh dengan sekertarisnya.”

“Seperti Pak Lukas?.”

Herman menyebut nama Manager kami yang lama. Aku pernah bertemu sekitar dua bulan di awal kerja disini, kemudian tidak pernah bertemu lagi. Istri Pak Lukas yang tinggal di Jawa minta cerai karena Pak Lukas beristri lagi di Sulawesi.

“Ya.”

“Jadi kau mau ke Bali?.”

“Kontraktor macam perusahaan si Lastri tidak bisa kasih jaminan diam di satu kota Man. Apalagi Lastri bilang cabang-cabang besar hendak dijadikan satu pusat di Jakarta.”

“Kau bingung hendak kemana ya?.”

“Ya Man, tapi jangan kau bilang suruh beristri disini.”

Herman tertawa terpingkal-pingkal mendengarku. Radit tahu meski Herman perhatian tapi dia juga kerap iseng melencengkan topik ke arah itu.

“Kalau kita Dit, paling gampang lari ke Kalimantan. Atau kalau tidak lompat ke kayu, di Mamuju sana.”

“Kayu?.”

“Ya, buka-buka hutan begitu.”

“Alamak.”

“Kau ini Dit, mau pindah saja pilih-pilih.”

“Bukan Man, saya mau dekat Lastri. Lastri kan tidak mau kesini, lagipula macet begini.”

Herman menggangguk, Radit tahu bahwa Herman sudah sejak lama paham posisinya yang sulit.

***

Beberapa malam telah berlalu sejak pembicaraan itu. Tetapi Radit belum mengambil keputusan.

“Keberanian Dit, itu yang sering kulihat kurang darimu.”

Suara Herman mengagetkan Radit yang tengah melamun di pantry pagi ini.

“Apa maksdumu Man?.”

“Kau teliti, kataku kau terlalu teliti dan berhati-hati. Kurang rock’n roll.” Lanjut Herman sambil mengacungkan tiga jari tangannya.

“Coba sih katakan jelas Man.”

“Astaga Dit. Kalau kau mau kejelasan apa dan dimana atau bagaimana hubunganmu dengan cinta matimu itu, kau harus berani. Kalau kau mau keluar, keluar saja.”
Radit mengernyit mencoba mencerna kata-kata Herman.

“Ya, keluar saja. Berjudi, seperti main qiu-qiu.”

“Tapi bagaimana dengan tagihanku?.”

“Katamu kau punya simpanan to?.”

“Tapi banyak pertimbangan Man.”

“Terserah kau Dit, mau berubah atau tidak. Lompat ya lompatlah, kalau cuma dipikir tidak akan jadi lompat.”

Radit tiba-tiba teringat kata-kata Lastri sewaktu di Tanjung Bira: Kata-kata berserakan seperti pasir. Apa yang dikatakan Herman barusan ada benarnya. Perlu sebuah keputusan akhirnya.

“Dit, kalau Lastri memang segalanya buatmu. Korbankan milikmu yang sebanding.”

“Tumben kau bijak sekali Man pagi ini.”

“Tadi malam saya baru nonton drama Korea di paksa istriku.”

“Sialan Man.” Kata Radit sambil berjalan keluar dari pantry meninggalkan Herman yang sedang membuat kopi.

Dalam hati Radit dia tahu bahwa Herman benar, walau entah dari film macam apa dia mendapatkan kata-kata itu.

***

Seminggu telah berlalu, Lastri belum setuju bila Radit hanya keluar begitu saja, harus disiapkan baik-baik segala sesuatunya begitu kata Lastri di telepon. Radit tidak terlalu senang dengan jawaban Lastri. Dia lebih ingin diyakinkan, disemangati. Tapi kata Herman begitu memang perempuan. Akhirnya belum juga keputusan dibuat sampai sore ini.

Dari kejauhan nampak Ilyas datang berjalan kaki, dia baru selesai lembur. Radit sudah pulang lebih dulu, dan tengah duduk santai di teras mess.

“Lembur apa Yas sampai sore begini?.”

“Revisi packing list pengiriman ke Medan. Besok berangkat container terakhir untuk proyek Medan.”

“Selanjutnya?.”

Ilyas tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala. Radit kerap bertanya kepada Ilyas soal angka penjualan dari lokal, karena Ilyas kerja di bagian ekspedisi pengiriman perusahaan sedangkan Radit di keuangan.

“Kenapa mas?. Mas Radit kan sebenarnya lebih tahu soal order kedepan daripada aku.”

“Tidak apa-apa Yas, kau kan dilapangan yang tau persis barang nyata. Kadang kerja hitam diatas putih tok  itu seperti mimpi-mimpi berlalu saja.”

“Mas Radit bosan?.”

“Kau ketemu Herman tah?.

“Iya.”

“Kamu sendiri?.”

“Saya masih mau tahan mas, mau tidak mau. Adikku si Rahim belum juga dapat kerja, kasihan mamak kalau tidak kubantu.”

“Mamakmu sehat?.”

“Sehat mas, kemarin dia tanya kenapa mas tidak ikut ke Morowali. Kubilang saja, sibuk mau urus kawinan.”

Ilyas tertawa setelah mengatakan itu lalu beranjak masuk.

“Itu Yas ada keripik pisang oleh-oleh dari bos. Kutaruh dia atas rak.”

“Oke mas.” Terdengar suara Ilyas dari dalam menjawab Radit.

Ilyas membuka sisi lain lagi untuk Radit. Tidak semua, tidak semua cukup berani. Bahkan Herman sendiripun tidak seberani nasihat yang dicomotnya dari drama Korea itu. Tapi ini juga bukan soal berani atau tidak rupaya. Seperti Ilyas berjuang untuk mamaknya yang menjanda dan adik-adiknya.

“Lantas aku berjuang untuk apa?” gumam Radit.

“Menurutku Herman benar.” Tiba-tiba Ilyas menjawab gumaman Radit, rupanya ia dengar.

“Kalau aku harus tanggung Mamak dan adik-adik, itu kan bebanku dan bukan beban Mas Radit.”

Ilyas kemudian duduk di kursi depanku membawa keripik yang tadi kubawakan dari kantor.

“Seperti Mas Radit sendiri pernah cerita, ya menurutku benar kalau perlu berani memang seperti Herman bilang. Mau lama-lama disini juga buat apa kalau Mbak Lastri memang tidak mau ikut kemari.” Lanjut Ilyas lagi.

“Sepertinya masalahnya ada di Mas Radit sendiri.”

“Maksudmu Yas?.”

“Mas tidak percaya diri ya?, mendengar tentang Mbak Lastri dan segala pekerjaan dia sampai berpindah-pindah tempat begitu kurasa dia perempuan hebat.”

“Iya Yas, kemarin waktu ke Semarang aku benar-benar merasa tidak percaya diri. Ada perasaan minder yang konyol melihat kota dan pergaulan di sekitar Lastri. Aku benar-benar merasa kecil, kecil sekali.”

Ilyas tertawa mendengar jawabanku.

“Mas, kalau Mas saja merasa kecil lantas aku apa?. Aku lulusan STM, masih untung bisa masuk perusahaan tambang disini. Kalau tidak?, jadi mekanik aku.”

“Tapi kan uangnya lebih banyak. Gaji dapat, lembur dapat, kalau ada proyek dapat.”

“Tapi wawasan Mas?, apa aku dapat?. Apa aku tahu soal ekspor impor?, apa aku tahu Bea Cukai?, apa aku tahu permainan bisnis seperti ini?. Tidak mas, selamanya aku bergumul dengan lumpur dan kabel.”

“Tidak salah kan Yas kalaupun di mekanik. Kulihat mekanik juga berkembang ilmu dan wawasannya.”

“Pilihan Mas, tinggal mau melebar atau tidak. Begini juga kalau aku kembali ke mekanik sekalipun masih sanggup kan?.”

Radit tahu Ilyas benar, tapi entah mengapa wajah Radit masih nampak murung.

“Mas, jalan ke bambu runcing yuk. Cari-cari sarabba, hangat-hangatin badan.”

“Banyak uang kamu?.”

“Halah, Cuma lima ribuan Mas. Lemburku juga baru cair, hahaha.”

Radit menuruti ajakan Ilyas, ia beranjak dari kursinya dan berganti pakain kerja dengan yang lebih santai. Dia tidak akan menolak ajakan Ilyas yang mencoba membantunya untuk sedikit rileks.

***

Bambu Runcing adalah sebuah tugu berbentuk tiga bambu runcing di tepian sungai Pangkajene dekat dengan pelintasan jembatan penghubung dua sisi kota itu. Pangkajene artinya sendiri adalah air yang membelah, dan benar kota itu terbelah menjadi sisi utara yang adalah wilayah dagang dan sisi selatan wilayah administratif Kabupaten Pangkajene.

Di dekat tugu itu terdapat sebuah taman kecil yang ramai dengan penjual jajanan. Menurut Ilyas itu adalah wilayah hiburan kaum kusam seperti dia. Penjual sarabba minuman jahe dan santan yang manis terdapat di taman itu, dan kini Ilyas dan Radit duduk disana kearah sungai di tepinya.

“Mas, perhatikan sungainya.”

“Kenapa memang Yas.”

“Perhatikan saja.”

Radit kemudian memandangi pantulan lampu di riak sungai Pangkajene itu. Awalnya dia tidak sadar apa yang dimaksud Ilyas, sampai seekor mahluk putih bening muncul ke permukaan bergerak ke arah bukit-bukit di timur.

“Sungainya mengalir terbalik, itu ubur-ubur kan Yas?.”

Ilyas tertawa melihat Radit keheranan.

“Mas, sudah empat tahun belum tahu?.”

“Iya, aku baru perhatikan sekarang. Ya ampun, keren sekali. Jadi peribahasa itu patah: Air tidak selalu mengalir dari hulu ke hilir.”

“Tinggal mana hulu mana hilir mas, tidak selalu harus atas tanah tinggi kan.?”

“Lautnya pasang ya Yas?.”

“Iya Mas, kalau sedang pasang saja begini. Air laut lebih tinggi dari air permukaan sungai, barulah sungai ini mengalir terbalik. Ini soal airnya itu sendiri, bukan soal tanah.”

Radit menengok kepada Ilyas yang memandanginya sejak tadi.

“Apa yang mau kamu katakan Yas.?”

“Terbalik tidak apa-apa kan Mas?. Ada kondisi yang memang harus terbalik, dan Mas Radit lihat sendiri di depan kita kalau alam mengijinkan itu terjadi.”

Radit terdiam, dia tidak menyangka Ilyas membuatnya melihat fenomena sungai Pangkajene ini sekaligus membakar hatinya untuk segera mengambil keputusan.

“Biar kubilang sama bos besok.”

“Sabar-sabar dulu Mas, lihat dulu kondisi dan hari baiknya. Minumlah dulu sarabba ini, santailah Mas.”

Radit tersenyum malu atas ketidaksabarannya. Sarabba dan pisang goreng dengan sambal, Radit merasa mungkin kelak dia akan merindukan ini semua. Terlebih sungai yang membelah sebuah kota dan kadang-kadang mengalir terbalik ini.

***




Museum Masa Depan yang Tak Pernah Ada

( setelah Baudrillard dan sebelum lupa ) Anak-anak berjalan ke dalam hutan yang disusun dari piksel dan janji manis algoritma. Pohon-pohon...