Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2016

Pilar Pualam Menjulang

Gambar
Dua pilar pualam putih sempurna benar Dingin tanpa retakan, menjulang sendirian sendirian menjulang Ingin jariku disana menjalar meraba samar Pilarku menjulang nafsuku menjadi satu menjulang Kulit pada pilar pualam, kuputih sempurna benar

Nikmati

Gambar
Menarilah yayi menari sepatu kaca Akupun dalam seragam penjaga ini Tak akan berbunyi lonceng baja dalam pesta Gigi tikus membuat waktu berhenti, gigiku sendiri Ayolah yayi, pergilah menari Nikmati saja dusta selagi bisa Karena dusta tak pernah kita punya Disana pangeran menanti Tetapi tidak pada pagi

Tiga Kelambu

Gambar
Tiga Kelambu Garis garis kelabu silang menyilang manjaring tubuh kelambu Tiga perempuan Tiga penantian Bayang-bayang perang dalam mimpi membeku Menyusup dari sela sela kayu, jatuh turun di perabu Sepucuk kertas sisa terbakar Dia yang pertama sirna Tertanda pengecut berpamit entah kemana Di dinding dinding berurat merbau kolase  menggantung hijau Seseorang rupanya menunggu kedua  rindu Irama seruling pipa kawanan sapi dan cinta di bawah perdu Menelusur hidup loyang  ketiga sebuah pai selai entah untuk siapa Menanti diatas meja berabad lampau Garis garis kelabu mengasap pekat seolah semua kembali menjadi labu

Ginjal

Gambar
Ginjal Biarkan satu pergi Untuk kamu Hiduplah Masih ada satu lagi Untuk kamu Tenanglah

Untuk Malam Untuk Pulang

Logam sejajar pelintasan tujuan, beberapa harus pergi dan sebagian harus pulang. Berjajar rapi di antrian, tidak seorangpun ingin tertinggal. Aku mengerti betapa teriknya mentari, karena mataku sakit. Aku mengerti betapa teriknya mentari, karena hatiku sakit. Hanya malam yang menyembunyikan kecacatan, melayakkan dalam kegelapan yang membutakan. Maka akupun turut dalam antrian, untuk malam untuk pulang.

Ciptaan baru

Dalam suatu mimpi aku pernah melihatnya. Selintas frekuensi yang entah dalam sigma probabilitas macam apa terdistorsi di muka bumi. Pertama kupikir biru, lalu kupikir kuning. Dia tak tetap, bergelombang acak berbias seperti kaca-kaca. Kadang dia biru, kadang ungu, hanya sesekali merah. Aneh sekali, di tempat seperti ini kehidupan diciptakan lagi padahal semua menginginkan ini mati. Pusarannya disana, diatas sebuah gerobak sampah penuh karat. Terparkir acuh diatas comberan bau tersumbat kondom dan pembalut. Bergetar bunyi-bunyi bising, tapi tak ada yang peduli bahkan aku seperti tak disini. Sampai semua berenti dan sunyi lagi. Bumi dan langit yang baru turun dari peraduannya. Bukit-bukit yang tumbuh menghijau berkelindan sinaran lembut di seluruh lembah. Cantik benar, dan dia bukan rusuk siapapun. Melangkah tak peduli diantara akar-akar kota, dia pergi. Tak pernah dapat kutemui, dia tersembunyi.

Dalam Jengkalan

Gambar
Hati kita sejengkalan, lupa pada lidah Sampai mata yang hanya kamu Hanya aku, buta padaku Mendung yang kentara membawa hujan                                  Hanya rasa                                  Dan suara                                  Tanpa rupa Aku tahu kita akan basah, dan menggigil Tetapi hujan akan datang mencipta genangan Lagi dan lagi dan abadi Rindu kembali dalam jengkalan, tanpa isyarat

Api Tak Pernah Mati

Gambar
Api Tak Pernah Mati Sudah pagi Tidurlah lagi Ini mimpi Tidak seorangpun pergi Aku disini Kamu disini Tanpa tapi Hanya api Tak pernah mati

Sejarah Patah

Gambar
Sejarah Patah Rantingku patah Nyaris dahanku rebah Tentang daun daun yang kau jarah Biar menjadi sejarah

Gigit Lagi Api!

Gambar
Gigit Lagi Api! Buah yang sudah digigit Ingin kukatakan lagi lagi        dan lagi                     dan lagi        dan api api Ingin kumakan api Gigi yang sudah menggigit

Tentang Jogja

Gambar
Tentang Jogja Tentang Jogja, kita  bicara tentang jenuh yang mengendap diantara rindu. Jalanan telah tertulisi namamu, cat putih diatas memori yang begitu hijau. Karena pelukanmu, candamu, juga nafasmu di telingaku adalah aroma yang membuat lapar. Seringkali terlalu manis, tetapi lesehan  adalah puisi yang merambat di meja-meja kayu yang lembab karena air mata. Kita muda dan bermimpi memenangkan semua berdua, dengan berpedang sebatang sate usus dan rempela - kadang kala sepotong paha. Tentang Jogja, kita bicara tentang gunung tinggi menjulang lalu senja dipantai hitam. Ikan yang akhirnya kau makan dan aku bahagia membawamu berkencan. Pucat pasi tebing Parangdog menyaksikan senyumanmu, hingga tak kau lepas genggamanmu. Kita tak kan jatuh sayang, mungkin lupa. Tetapi kelak di Iromejan, seekor anjing betina berbulu cokelat akan memanggilmu kembali pada kenangan.

Tunggu Aku di Jogja

Gambar

Pagiku Terbatas

Gambar

Cabai Rawit Belakang Mess

Gambar
  Ada sebatang pohon cabai rawit hijau tumbuh di halaman belakang messku. Dulu tetangga yang menanam sebelum dia pindah dari mess sebelah. Pohon ini terus berbuah, seolah ada buatku yang lebih suka makan cabai segar utuh daripada sambal tumbuk. Sama seperti yang menanamnya dulu, tetangga itu membuka warung makan dan selalu memberi cabai utuh sebelum kuminta.

Laba-laba Menjalin Jaring

Gambar
Laba-laba Menjalin Jaring Laba laba menjalin jaring Keringat untuk perangkap Waktu yang berpusar di meja judi Menanti Satu barangkali seribu lamunan yang melekat Lengket Sepanjang angan di langit-langit kamar Garis garis tak sejajar di penggaris Tetapi terus merangkap Menanti tertangkap tak lari lagi Kota ingin berhenti pada satu Mati Impian dalam perangkap terbuat dari keringat Lekat Waktu terus berpusar dan tak pernah menang Dan laba laba terus menjalin jaring

Lika liku laki laki

Gambar
Lika Liku Laki-Laki Lika liku laki laki tak laku laku Tak takut hati luka luka Biar lika liku cinta meluka luka Lelaki cinta Meski tak laku laku Meski luka luka Meski lika liku kaki laki laki Demikianlah liku laki laki meluka luka Lelaki tak laku laku Melika liku luka sampai kaku

Diatas Aspal

Gambar
Fajar diatas aspal Pagi diatas aspal Siang diatas aspal Sore diatas aspal Senja diatas aspal Malam diatas aspal Larut diatas aspal

Negeri Terumbu Biru - Bagian Kedelapan

Gambar
Negeri Terumbu Biru Oleh:  Meob Bagian Kedelapan *** Nyanyian dibawah rumbia irama peluncur berdetak tuas sejajar Pada sela kain-kain terajut Dalam lirik tenun terikat Terselip warna rindu yang pekat Tentang dia, Lelaki pantai dalam pukat *** Radit datang, tak pernah kukira dia benar-benar datang. Sesuatu yang berbeda, karena kali ini untuk selamanya. Aku tertawa sendiri, itu berlebihan. Tapi aku benar-benar senang. Di gerbang pintu kedatang domestik kutunggu dia keluar. Tidak kukatakan aku menunggu dimana. Dia pasti ingat, karena dia harus ingat. Disini, didepan kedai kopi bernama Kedai. Tempat dimana untuk pertama kali dia datang menemuiku di Bali tiga tahun lalu. Aku masih ingat benar, dia benar-benar hitam. Meski aku maklum dia tidak memakai sunblock sebagaimana laki-laki umumnya menolak kosmetik, tapi dia benar-benar nampak jelek. Dia tahu aku tak suka melihatnya terbakar seperti itu. Tapi kemudian dia berhasil membuatku nyaman juga dengan...

Negeri Terumbu Biru - Bagian Ketujuh

Gambar
Negeri Terumbu Biru Oleh:  Meob Bagian Ketujuh *** Ada orang yang pernah mengatakan kepadaku: Kalau hendak kerja batu kamu harus lebih keras dari batu, atau kau yang kalah. Tetapi di sini, sebuah sungai mengalir terbalik sekali waktu dan alam mengijinkan itu terjadi. *** Radit menunduk lesu di meja kerjanya. Nampak lembaran tagihan dari sebuah bank swasta di balik telunkupnya. Herman tidak berani menggoda Radit saat itu. Berkali-kali dia melirik kawannya itu, seperti hendak bicara tapi tidak jadi. Herman akhirnya berdiri menuju pantry , lalu kembali dengan dua cangkir kopi di tangan. “Dit, kopi.” Katanya sambil meletakkan cangkir panas di depan tangan Radit. “Pusing Man.” “Tidak mungkin kau tak punya cadangan. Hidupmu jauh lebih irit daripada aku dit. Seharusnya aku lah yang pusing.” “Tapi kau ada keluarga disini Man. Gampang kalau dimintai tolong. “Hahaha, sabarlah Dit. Pelan-pelan sana, kondisi membaik kok.” Sahut Herman sambil menep...