Negeri Terumbu Biru
Oleh: Meob
Bagian Ketujuh
***
Ada
orang yang pernah mengatakan kepadaku: Kalau hendak kerja batu kamu harus lebih
keras dari batu, atau kau yang kalah. Tetapi di sini, sebuah sungai mengalir
terbalik sekali waktu dan alam mengijinkan itu terjadi.
***
Radit menunduk lesu di meja
kerjanya. Nampak lembaran tagihan dari sebuah bank swasta di balik telunkupnya.
Herman tidak berani menggoda Radit saat itu. Berkali-kali dia melirik kawannya
itu, seperti hendak bicara tapi tidak jadi.
Herman akhirnya berdiri menuju pantry, lalu kembali dengan dua cangkir
kopi di tangan.
“Dit, kopi.”
Katanya sambil meletakkan
cangkir panas di depan tangan Radit.
“Pusing Man.”
“Tidak mungkin kau tak punya
cadangan. Hidupmu jauh lebih irit daripada aku dit. Seharusnya aku lah yang
pusing.”
“Tapi kau ada keluarga disini
Man. Gampang kalau dimintai tolong.
“Hahaha, sabarlah Dit.
Pelan-pelan sana, kondisi membaik kok.” Sahut Herman sambil menepuk bahu Radit,
lalu kembali ke meja kerjanya disebelah.
Sudah tiga bulan terakhir di
awal tahun 2015 perusahaan Radit mengalami kemacetan keuangan. Pasalnya
regulasi pemerintah melarang penjualan langsung raw material ke pasar luar negeri. Aturan itu memukul rata semua
jenis pertambangan termasuk Marmer.
“Ada kabar Man?.”
“Belum, tapi kudengar kemarin
asosiasi sudah ke Jakarta meminta pertimbangan soal Marmer. Kau tahu kita bukan
pemurnian, hanya finishing tampilan.”
“Marmer kan tetap jadi marmer.”
“Nah, tidak semestinya begitu.
Toh kita tidak jual gelondongan ke China.”
“Selesai kapan ya Man?, apa
terus langsung lancar?.”
“Itu yang kupikir Dit, sejak
belum ada aturan aneh itupun kita sudah mulai surut. Bangkrut kan ekonomi
luar?.”
“Oh begitu?.”
“Dari televisi sih kulihat”
Jawab Herman berseloroh.
Sesuatu tiba-tiba melintas
dalam pikiran Radit. Nampak ia diam memikirkan sesuatu.
“Man?.”
“Apalagi?. Tadi pusing sekarang
cerewet, apa mau Dit?.”
“Tidak cari cadangan?.”
“Cadangan Istri? Hahhahaha,
satu saja bikin aku pusing Dit.”
Radit hanya tersenyum sedikit
mendengar Herman. Padahal Herman belum lama menikah, akhir tahun kemarin saat
Radit pergi ke Semarang.
“Kerjaan lain maksudku.” Lanjut
Radit.
“Oh, ada Dit. Tapi aku pun
ragu, batubara pun lebih parah daripada kita. Apalagi kemarin, adik mamakku
ajak ke Nikel. Bah, bunuh diri kalau aku lari kesana.”
“Kudengar gajinya besar kan
Man.”
“Ya, tapi kan lebih tak pasti.
Naik turun terus, sebentar kerja sebentar dirumahkan. Itu Dit, seperti Maman
anak Excavator sekarang duduk manis seperti anak gadis di rumah. Padahal sejak
di Kalimantan dia pamer-pamer ke tetangga soal gaji.”
“Tapi kan mereka kerja setahun
dapatnya seperti kita kerja dua tahun kan Man.”
“Tidak Dit, percaya saya. Mahal
pula hidup di Kalimantan itu, belum lagi kalau suka minum-minum dan perempuan.
Habis-habis.”
Radit tertawa melihat ekspresi
tangan Herman yang bergerak-gerak bersilang ke kanan ke kiri saat mengatakan
habis-habis. Rekannya itu memang terkenal biang gosip, sangat update dengan gosip-gosip terbaru.
“Memang kau mau keluar?.”
Tiba-tiba Herman menembak
dengan pertanyaan yang tengah menggantung di pikiran Radit. Setelah satu
hirupan kopi, Radit menjawab.
“Iya Man, tapi pacarku si
Lastri baru seminggu ini dipindahkan ke Bali. Kembali ke proyek lama gara-gara
yang dia serahkan tanggungjawab lari dari tempat kerja karena selingkuh dengan
sekertarisnya.”
“Seperti Pak Lukas?.”
Herman menyebut nama Manager
kami yang lama. Aku pernah bertemu sekitar dua bulan di awal kerja disini,
kemudian tidak pernah bertemu lagi. Istri Pak Lukas yang tinggal di Jawa minta
cerai karena Pak Lukas beristri lagi di Sulawesi.
“Ya.”
“Jadi kau mau ke Bali?.”
“Kontraktor macam perusahaan si
Lastri tidak bisa kasih jaminan diam di satu kota Man. Apalagi Lastri bilang
cabang-cabang besar hendak dijadikan satu pusat di Jakarta.”
“Kau bingung hendak kemana
ya?.”
“Ya Man, tapi jangan kau bilang
suruh beristri disini.”
Herman tertawa
terpingkal-pingkal mendengarku. Radit tahu meski Herman perhatian tapi dia juga
kerap iseng melencengkan topik ke arah itu.
“Kalau kita Dit, paling gampang
lari ke Kalimantan. Atau kalau tidak lompat ke kayu, di Mamuju sana.”
“Kayu?.”
“Ya, buka-buka hutan begitu.”
“Alamak.”
“Kau ini Dit, mau pindah saja
pilih-pilih.”
“Bukan Man, saya mau dekat
Lastri. Lastri kan tidak mau kesini, lagipula macet begini.”
Herman menggangguk, Radit tahu
bahwa Herman sudah sejak lama paham posisinya yang sulit.
***
Beberapa malam telah berlalu sejak pembicaraan itu. Tetapi Radit belum mengambil keputusan.
“Keberanian Dit, itu yang
sering kulihat kurang darimu.”
Suara Herman mengagetkan Radit
yang tengah melamun di pantry pagi
ini.
“Apa maksdumu Man?.”
“Kau teliti, kataku kau terlalu
teliti dan berhati-hati. Kurang rock’n
roll.” Lanjut Herman sambil mengacungkan tiga jari tangannya.
“Coba sih katakan jelas Man.”
“Astaga Dit. Kalau kau mau
kejelasan apa dan dimana atau bagaimana hubunganmu dengan cinta matimu itu, kau
harus berani. Kalau kau mau keluar, keluar saja.”
Radit mengernyit mencoba
mencerna kata-kata Herman.
“Ya, keluar saja. Berjudi,
seperti main qiu-qiu.”
“Tapi bagaimana dengan
tagihanku?.”
“Katamu kau punya simpanan
to?.”
“Tapi banyak pertimbangan Man.”
“Terserah kau Dit, mau berubah
atau tidak. Lompat ya lompatlah, kalau cuma dipikir tidak akan jadi lompat.”
Radit tiba-tiba teringat
kata-kata Lastri sewaktu di Tanjung Bira: Kata-kata berserakan seperti pasir.
Apa yang dikatakan Herman barusan ada benarnya. Perlu sebuah keputusan akhirnya.
“Dit, kalau Lastri memang
segalanya buatmu. Korbankan milikmu yang sebanding.”
“Tumben kau bijak sekali Man
pagi ini.”
“Tadi malam saya baru nonton
drama Korea di paksa istriku.”
“Sialan Man.” Kata Radit sambil
berjalan keluar dari pantry meninggalkan
Herman yang sedang membuat kopi.
Dalam hati Radit dia tahu bahwa
Herman benar, walau entah dari film macam apa dia mendapatkan kata-kata itu.
***
Seminggu telah berlalu, Lastri
belum setuju bila Radit hanya keluar begitu saja, harus disiapkan baik-baik segala
sesuatunya begitu kata Lastri di telepon. Radit tidak terlalu senang dengan
jawaban Lastri. Dia lebih ingin diyakinkan, disemangati. Tapi kata Herman
begitu memang perempuan. Akhirnya belum juga keputusan dibuat sampai sore ini.
Dari kejauhan nampak Ilyas
datang berjalan kaki, dia baru selesai lembur. Radit sudah pulang lebih dulu,
dan tengah duduk santai di teras mess.
“Lembur apa Yas sampai sore
begini?.”
“Revisi packing list pengiriman ke Medan. Besok berangkat container
terakhir untuk proyek Medan.”
“Selanjutnya?.”
Ilyas tidak menjawab, hanya
menggelengkan kepala. Radit kerap bertanya kepada Ilyas soal angka penjualan
dari lokal, karena Ilyas kerja di bagian ekspedisi pengiriman perusahaan sedangkan
Radit di keuangan.
“Kenapa mas?. Mas Radit kan sebenarnya
lebih tahu soal order kedepan daripada aku.”
“Tidak apa-apa Yas, kau kan
dilapangan yang tau persis barang nyata. Kadang kerja hitam diatas putih tok itu seperti mimpi-mimpi berlalu saja.”
“Mas Radit bosan?.”
“Kau ketemu Herman tah?.”
“Iya.”
“Kamu sendiri?.”
“Saya masih mau tahan mas, mau
tidak mau. Adikku si Rahim belum juga dapat kerja, kasihan mamak kalau tidak
kubantu.”
“Mamakmu sehat?.”
“Sehat mas, kemarin dia tanya
kenapa mas tidak ikut ke Morowali. Kubilang saja, sibuk mau urus kawinan.”
Ilyas tertawa setelah
mengatakan itu lalu beranjak masuk.
“Itu Yas ada keripik pisang
oleh-oleh dari bos. Kutaruh dia atas rak.”
“Oke mas.” Terdengar suara
Ilyas dari dalam menjawab Radit.
Ilyas membuka sisi lain lagi
untuk Radit. Tidak semua, tidak semua cukup berani. Bahkan Herman sendiripun
tidak seberani nasihat yang dicomotnya dari drama Korea itu. Tapi ini juga
bukan soal berani atau tidak rupaya. Seperti Ilyas berjuang untuk mamaknya yang
menjanda dan adik-adiknya.
“Lantas aku berjuang untuk
apa?” gumam Radit.
“Menurutku Herman benar.”
Tiba-tiba Ilyas menjawab gumaman Radit, rupanya ia dengar.
“Kalau aku harus tanggung Mamak
dan adik-adik, itu kan bebanku dan bukan beban Mas Radit.”
Ilyas kemudian duduk di kursi
depanku membawa keripik yang tadi kubawakan dari kantor.
“Seperti Mas Radit sendiri
pernah cerita, ya menurutku benar kalau perlu berani memang seperti Herman
bilang. Mau lama-lama disini juga buat apa kalau Mbak Lastri memang tidak mau
ikut kemari.” Lanjut Ilyas lagi.
“Sepertinya masalahnya ada di
Mas Radit sendiri.”
“Maksudmu Yas?.”
“Mas tidak percaya diri ya?,
mendengar tentang Mbak Lastri dan segala pekerjaan dia sampai berpindah-pindah
tempat begitu kurasa dia perempuan hebat.”
“Iya Yas, kemarin waktu ke
Semarang aku benar-benar merasa tidak percaya diri. Ada perasaan minder yang konyol melihat kota dan
pergaulan di sekitar Lastri. Aku benar-benar merasa kecil, kecil sekali.”
Ilyas tertawa mendengar
jawabanku.
“Mas, kalau Mas saja merasa
kecil lantas aku apa?. Aku lulusan STM, masih untung bisa masuk perusahaan
tambang disini. Kalau tidak?, jadi mekanik aku.”
“Tapi kan uangnya lebih banyak.
Gaji dapat, lembur dapat, kalau ada proyek dapat.”
“Tapi wawasan Mas?, apa aku
dapat?. Apa aku tahu soal ekspor impor?, apa aku tahu Bea Cukai?, apa aku tahu
permainan bisnis seperti ini?. Tidak mas, selamanya aku bergumul dengan lumpur
dan kabel.”
“Tidak salah kan Yas kalaupun
di mekanik. Kulihat mekanik juga berkembang ilmu dan wawasannya.”
“Pilihan Mas, tinggal mau
melebar atau tidak. Begini juga kalau aku kembali ke mekanik sekalipun masih
sanggup kan?.”
Radit tahu Ilyas benar, tapi
entah mengapa wajah Radit masih nampak murung.
“Mas, jalan ke bambu runcing
yuk. Cari-cari sarabba, hangat-hangatin
badan.”
“Banyak uang kamu?.”
“Halah, Cuma lima ribuan Mas.
Lemburku juga baru cair, hahaha.”
Radit menuruti ajakan Ilyas, ia
beranjak dari kursinya dan berganti pakain kerja dengan yang lebih santai. Dia
tidak akan menolak ajakan Ilyas yang mencoba membantunya untuk sedikit rileks.
***
Bambu Runcing adalah sebuah
tugu berbentuk tiga bambu runcing di tepian sungai Pangkajene dekat dengan
pelintasan jembatan penghubung dua sisi kota itu. Pangkajene artinya sendiri
adalah air yang membelah, dan benar kota itu terbelah menjadi sisi utara yang
adalah wilayah dagang dan sisi selatan wilayah administratif Kabupaten
Pangkajene.
Di dekat tugu itu terdapat
sebuah taman kecil yang ramai dengan penjual jajanan. Menurut Ilyas itu adalah
wilayah hiburan kaum kusam seperti dia. Penjual sarabba minuman jahe dan santan yang manis terdapat di taman itu,
dan kini Ilyas dan Radit duduk disana kearah sungai di tepinya.
“Mas, perhatikan sungainya.”
“Kenapa memang Yas.”
“Perhatikan saja.”
Radit kemudian memandangi
pantulan lampu di riak sungai Pangkajene itu. Awalnya dia tidak sadar apa yang
dimaksud Ilyas, sampai seekor mahluk putih bening muncul ke permukaan bergerak
ke arah bukit-bukit di timur.
“Sungainya mengalir terbalik,
itu ubur-ubur kan Yas?.”
Ilyas tertawa melihat Radit
keheranan.
“Mas, sudah empat tahun belum
tahu?.”
“Iya, aku baru perhatikan
sekarang. Ya ampun, keren sekali. Jadi peribahasa itu patah: Air tidak selalu
mengalir dari hulu ke hilir.”
“Tinggal mana hulu mana hilir
mas, tidak selalu harus atas tanah tinggi kan.?”
“Lautnya pasang ya Yas?.”
“Iya Mas, kalau sedang pasang
saja begini. Air laut lebih tinggi dari air permukaan sungai, barulah sungai
ini mengalir terbalik. Ini soal airnya itu sendiri, bukan soal tanah.”
Radit menengok kepada Ilyas
yang memandanginya sejak tadi.
“Apa yang mau kamu katakan
Yas.?”
“Terbalik tidak apa-apa kan
Mas?. Ada kondisi yang memang harus terbalik, dan Mas Radit lihat sendiri di
depan kita kalau alam mengijinkan itu terjadi.”
Radit terdiam, dia tidak
menyangka Ilyas membuatnya melihat fenomena sungai Pangkajene ini sekaligus
membakar hatinya untuk segera mengambil keputusan.
“Biar kubilang sama bos besok.”
“Sabar-sabar dulu Mas, lihat
dulu kondisi dan hari baiknya. Minumlah dulu sarabba ini, santailah Mas.”
Radit tersenyum malu atas
ketidaksabarannya. Sarabba dan pisang
goreng dengan sambal, Radit merasa mungkin kelak dia akan merindukan ini semua.
Terlebih sungai yang membelah sebuah kota dan kadang-kadang mengalir terbalik
ini.
***