Negeri Terumbu Biru - Bagian Kedelapan
Negeri
Terumbu Biru
Oleh: Meob
Bagian
Kedelapan
***
Nyanyian
dibawah rumbia
irama
peluncur berdetak tuas sejajar
Pada
sela kain-kain terajut
Dalam
lirik tenun terikat
Terselip
warna rindu yang pekat
Tentang
dia,
Lelaki
pantai dalam pukat
***
Radit datang, tak pernah kukira
dia benar-benar datang. Sesuatu yang berbeda, karena kali ini untuk selamanya.
Aku tertawa sendiri, itu berlebihan. Tapi aku benar-benar senang.
Di gerbang pintu kedatang domestik
kutunggu dia keluar. Tidak kukatakan aku menunggu dimana. Dia pasti ingat,
karena dia harus ingat. Disini, didepan kedai kopi bernama Kedai. Tempat dimana
untuk pertama kali dia datang menemuiku di Bali tiga tahun lalu.
Aku masih ingat benar, dia
benar-benar hitam. Meski aku maklum dia tidak memakai sunblock sebagaimana laki-laki umumnya menolak kosmetik, tapi dia
benar-benar nampak jelek. Dia tahu aku tak suka melihatnya terbakar seperti
itu. Tapi kemudian dia berhasil membuatku nyaman juga dengan kelakarnya.
“Lastri, kita bukan Romeo dan
Juliet. Mereka terlalu tragis, tetapi kita alami. Kamu tahu apa yang pas?”
demikian dulu dia memulai dan aku menggelengkan kepala sekedar menunggu apa
yang hendak Radit katakan. Lalu dengan berbisik di katakan begini,
“Aku ini kernet truk barang
antar kota yang jatuh cinta pada mbak-mbak warung kopi di pinggir jalan.”
Saat itu aku tak mampu menahan
senyumku geli, terlalu tepat analoginya itu. Aku tidak cantik, bahkan Luh yang
sekarang membantuku untuk urusan kantor jauh lebih cantik. Tetapi kata Radit
waku itu, bagaimanapun juga si kernet truk tetaplah jatuh cinta pada mbak-mbak
warung kopi itu. Sayangnya sebagaimana biasa, aku pandai merusak suasana yang
ia bangun.
“Tetapi setiap hari si
mbak-mbak warung kopi harus menebak-nebak kapan si kernet truk datang.” Juga
seperti biasa pula Radit menanggapinya dengan tawa kering.
Pukul sepuluh lebih, dia belum
muncul. Aku menyesal kenapa tidak melihat lebih dulu papan pengumuman
kedatangan penerbangan didalam. Tapi dia sudah mengirim pesan pukul delapan,
katanya sudah duduk di pesawat. Aku takut dia lupa tempat ini, dia tidak boleh
lupa karena ini bukan kelakar.
“Lastri!.” Radit tiba-tiba
mengagetkanku, dia muncul dari arah belakang kedai.
“Sialan, aku nyasar. Tadi bagasinya lama sekali, ya
ampun baunya bule-bule itu bikin pusing. Tahu tidak, mereka bawa-bawa papan
selancar. Panjang sekali berputar-putar di roda berjalan. Hampir-hampir aku
tergoda buat naik berselancar di putaran bagasi. Kamu tidak tunggu lama kan?,
Maaf ya.”
Hanya dua hal yang terjadi
kalau dia cerewet begini, pertama dia salah tingkah tidak tahu harus bagaimana,
kedua dia sedang pusing dan hendak mengalihkan kepusingannya itu. Tapi aku
hanya ingin menyajikan senyuman termanisku untuknya. Hadiah yang sempurna
kurasa, pertama dia ingat tempat ini, dan alasan kedua dia datang padaku.
“Jadi, kita makan dimana?.”
Ucapnya sambil menggarukan kepala, memandangku kemudian mengalihkan pandangan
ke lain tempat kemudian memandangku lagi. Tetapi aku masih akan tetap tersenyum
padanya.
“Hemhemhemhem.” Radit berdehem
sambil tersenyum malu-malu. Lucu sekali melihatnya salah tingkah begini.
Tetapi senyumku sekejap
kemudian hilang berganti kekagetanku yang tak terkira melihat bawaannya di
troli. Seekor ikan bandeng besar sekali, nyaris sebesar bantal guling.
Terbungkus dalam gulungan plastik dan isolasi seperti mumi.
“Buat apa Dit?.”
“Oleh-oleh.”
Aku nyaris naik darah mendengar
jawabannya. Oleh-oleh macam apa seekor monster laut seperti ini.
“Buat teman kostmu.” Lanjutnya
lagi dengan senyum penuh kebanggaan.
Sungguh Radit punya perhatian yang
besar, tetapi ah sudahlah. Pasti dia juga sudah pesan jauh-jauh hari pada
Herman teman kantornya itu untuk ini, aku tidak tega menghancurkan perjuangan
mereka.
“Aku mau makan nasi babi
Chandra, atau iga bakar yang seperti di fotomu kemarin sama Nana.”
“Mahal, memang kamu punya
uang?.”
“Tidak, tapi aku punya pacar
yang cantik dan baik hati.” Katanya dengan memasang senyum penuh makna. Aku
hampir tertawa melihat wajahnya.
“Nanti, kita ke kostmu dulu
taruh barang.” Jawabku saat taksi datang.
Entah apa yang terjadi diantara
Radit dan supir taksi dibelakang. Samar kudengar ada yang tidak cukup dibagasikan.
Agak berteriak kukatakan supaya tas laptop dan tas punggungnya di bawa masuk ke
taksi saja. Radit mendengar, tas laptopnya kemudian diberikan padaku. Tetapi
masalah di belakang masih belum selesai. Aku melongokkan kepala ke belakang,
astaga rupanya Radit bersikeras untuk tidak memasukan ikan bandeng raksasanya
ke bagasi.
Beberapa saat kemudian supir
taksi akhirnya mengalah. Satu syaratnya adalah ikan itu harus dipangku Radit
sampai tujuan, Raditpun sepakat. Tetapi pada akhirnya sepanjang perjalanan dia
tidak menggenggam tanganku. Dia sibuk memeluk monster laut itu, dan aku
memangku tas laptopnya. Hampir-hampir aku jengkel, tetapi kata Radit itu akan
memalukan kalau aku cemburu pada seekor Ikan Bandeng.
“Suasananya seperti di Seturan
Yogya.” Kata Radit saat memasuki daerah Gatsu Barat.
“Seturan tahun kapan?, sekarang
ramai lho.” Kujawab demikian karena kuyakin memori Radit masih terlempar pada
suasana delapan sampai sepuluh tahun lalu saat dia tinggal di daerah Seturan
yang kini sudah jauh berubah dengan hotel dan banyak kompleks pertokoan.
Radit tidak sepenunya salah. Daerah
perumahan dimana Radit kupesankan kost memang mirip dengan suasana ditempatnya
dulu. Banyak bangunan bertampilan mediteranian berlantai dua yang dijadikan
kost-kostan. Bukan kawasan perumahan dengan pengembang, lebih mirip kawasan
kampung dan sawah timbunan yang berkembang dengan sendirinya seiring
pertumbuhan kota yang berkembang ke pinggiran.
Radit nampak senang dengan
kamarnya, tidak terlalu luas tetapi nampak lega karena jendela yang besar dan
pencahayaan alami yang bagus. Aku sengaja memilihkannya disini, karena tidak
terlalu jauh dari kostku. Hanya berjalan kaki beberapa menit sudah bisa
dijangkau.
Setelah Radit beres, kami pergi
mengambil motor. Beberapa orang memandangi kami dengan heran, kurasa lebih pada
Radit yang sibuk menenteng lalu memeluk lalu menenteng lagi ikan bandeng
raksasanya itu. Sudah kukatakan nanti saja setelah makan, tapi dia bersikeras
mau membawakan untuk si Luh temanku sekarang. Katanya takut mencair, tetapi
sebenarnya aku lebih takut si Luh yang mencair melihat oleh-oleh untuknya itu.
“Luh, Luh.” Kupanggil Luh dari
depan pintu kamar kostnya.
“Iya Mbok.” Sahut Luh dari
dalam kamar. Syukurlah dia belum pergi keluar bersama kekasihnya. Segera
kuminta Radit menyerahkan monster lautnya begitu Luh membuka pintu.
“Apa ini Bli?.”
“Oleh-oleh. Gratis kok.”
“Bli itu yang artinya mas Dit,
bukan beli yang membayar.” Kuluruskan Radit yang salah mendengar. Segera aku
berpamit pada Luh yang takjub memandangi oleh-oleh di tangannya itu. Kurasa Luh
tidak betul-betul mendengarku saat itu meski dia menggangguk.
Radit pada akhirnya
mengurungkan niat makan nasi campur Bali yang dia minta tadi. Dia
memohon-memohon makan di warung padang sudut jalan menuju jalan Gatot Subroto.
Rupanya dia belum sarapan terlebih dahulu sebelum terbang dari Makassar.
“Besok-besok kita beli mobil.”
Ujar Radit.
“Tidak usah, motor saja.
Macet.”
“Macet?, sekarang Bali macet?.”
“Kau kan datang dulu musim
hujan. Jadi tidak rasa kalau sebenarnya macet.”
“Kamu tidak apa-apa motoran begitu?.”
“Kan ada mobil dan sopir standby di kantor. Lagipula dekat kok,
disana dekat gudang Citatah.”
“Citatah?.” Tanya Radit heran.
“Iya, kamu mau lamar disana?.”
Radit hanya menggeleng.
“Lantas?.” Kutanya lagi demikian
Radit hanya menggeleng lagi. Lalu ia memintaku untuk membahasnya nanti saja.
Saat itulah aku benar-benar sadar dia mempetaruhkan banyak hal. Tapi tidak
kupungkiri ada kekhawatiran merambat di hatiku.
***
Aku kesal beberapa hari ini
Radit susah sekali membalas pesan singkat yang kukirimkan. Mau irit katanya
sementara belum dapat pekerjaan pengganti. Lalu kutanya apa mau kubelikan
pulsa, dia juga jawab tidak mau. Malu katanya belum berpenghasilan.
Sebenarnya soal pekerjaan aku
tidak mempermasalahkannya, hanya saja Eko kenalanku yang kerja lantai di proyek
hotel sudah meminta dia memasukan lamaran di Citatah. Mereka sedang butuh orang
kata Eko karena sedang mengerjakan beberapa proyek sekaligus sekarang, tetapi
Radit bersikeras tidak mau saat kutanyakan padanya seminggu lalu.
“Ambil saja, sementara belum
kerja. Cuma pengawas barang masuk kata Eko. Daripada kau diam, toh tidak setiap
hari kontainer datang kan.?”
“Tidak ah Las, aku tidak mau di
marmer lagi.”
“Jangan lihat gajinya, anggap
saja main dibayar.”
“Sudah ah Las.” Kata Radit dan
memintaku diam.
Entah apa maunya, padahal aku
hanya berharap dia punya kegiatan. Aku lebih khawatir Radit kehilangan
kepercayaan diri kalau diam terus menerus. Luh sempat mengatakan kalau
barangkali Radit malu kalau koneksinya dari aku, ego laki-laki kata Luh. Aku
paham, tetapi akupun iba melihat Radit diam di kamar kostnya.
Malam ini aku mengajaknya
berjalan-jalan santai di sekitar Sesetan. Aku senang dia nampak bergairah
melihat penjual ikan-ikan bakar di pinggir jalan dan pemandangan jukung-jukung
bersandar di darat.
“Sayang, kamu tidak kepingin
belajar-belajar selancar di DreamLand apa Kute begitu?.”
“Tidak Las, boros.”
“Main-mainlah sedikit, aku
khawatir kamu stress. Aku paham rasanya Dit.”
“Belum genap satu bulan kok
Las, tidak stresslah.”
“Ya sudah.”
“Tadi siang Yusuf menelepon,
ada lowongan di Sangatta. HR sih, kupikir aku mau coba.” Tiba-tiba Radit
mengatakan hal yang tidak ingin kudengar.
“Buat apa kamu datang kalau mau
pergi lagi?.”
“Tapi area kerjaku sepertinya
memang di tempat seperti itu.”
“Terus setelah Sangatta mau
kemana lagi? Papua?.” Radit tidak menjawab. Aku mulai kesal mendengar dia
memiliki niatan untuk berpisah lagi. Setelah bertahun-tahun menunggu aku tidak
mau segalanya dimulai lagi seperti dulu.
Saat melewati tanah-tanah
kosong dalam perjalanan pulang Radit mengurangi kecepatan motor. Dia bercerita
kalau beberapa kali dia jalan-jalan di area ini dan mulai berpikir untuk
memiliki sebidang tanah. Saat itu aku mulai paham mengapa ia memikirkan peluang
sejauh Sangatta.
“Jadi disinikah tempat?.”
“Apa Las?.”
“Negeri Terumbu Biru yang kau
bilang dulu.”
Radit tidak lekas menjawab.
Sesaat setelah tiba di kostku barulah dia menjawabku dengan sebuah pertanyaan
yang memutar tuas mesin waktu.
“Apa kamu masih mau menunggu?.”
Sesaat aku mengingat suatu
sore, pada bangku kayu berhadapan dibawah naungan pohon belimbing. Radit duduk
dihadapanku, kaosnya hitam bertuliskan nama UKM pecinta alam kampus. Jeansnya juga
hitam dengan sobek dimana-mana. Bahkan aku ingat gelang kayu bulat-bulat yang
seperti tasbih di pergelangan tangan Radit. Tetapi aku tidak ingat jawaban apa
yang kuberikan padanya waktu itu.
“Dulu apa jawabanku?”
Radit tersenyum agak kecut. Dia
lalu duduk di bangku teras, memandang kolam ikan disudut pagar seperti sedang
mengingat-ingat.
“Selesaikan kuliah, hemat, jaga
diri, yang disiplin, rapih, terus jangan malas-malasan. Terus apalagi
ya..hahaha. Kurasa waktu itu kamu tidak benar-benar tahu harus menjawab apa.”
“Sekarangpun juga Dit.”
Radit memandangku dengan
ekspresi bersalah. Dia menungguku, tetapi aku tak tahu harus mengatakan apa.
“Kamu benar-benar tidak ingin
aku pergi lagi ya?.” Tanya Radit sambil mengusap rambutku.
Aku menangguk.
***