Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2017

Banyak Simpang, Kota Tua: Melankolia (Dorothea Rosa Herliany)

Banyak Simpang, Kota Tua: Melankolia Oleh : Dorothea Rosa Herliany 1. selalu, setiap perjalanan keluhkesah itu kau tak ingin sampai, di atas andong kau bertanya siapa di antara kita kusirnya kau tak ingin sampai, di setiap tikungan membaca arah angin dan namanama gang. orangorang, selalu seperti memulai hari berangkat dan pulang, bergegas, dan entah siapa memburu dan siapa diburu. kita pun melangkah di antara perjalanan keluhkesah. dan selalu gagal membaca arah. 2. ada yang selalu mengantarmu ke segenap arah, desa demi desa, tapi akhirnya kau hanya sendiri di atas catatan duka di deretan hari, mengapa selalu kau buka buku harian :sebab katamu, kenangan itu racun. hari ini aku melihat wajahmu seperti patungpatung gerabah di Kasongan. lalu hatiku tertawa, mengejek kenyataan hidup. sebab masa lalu itu racun, dan kita bersenangsenang atas kesedihan hari ini. maka, jika rindu, pulang saja ke hotel, dan gambarlah rumah dan hirukpikuk kotamu yang angkuh. 3. kutunggu engkau di s...

Semesta Luka (Dorothea Rosa Herliany)

SEMESTA LUKA matahari menghitung sendiri luka yang kucuri setiap pagi. pedihnya mengirimkan ribuan cahaya yang merajam tubuhwaktu. aku tak mampu menuliskan kesedihan itu ajal demi ajal yang selalu tiba-tiba. aku terkurung dan tak bisa melompat lewat sejuta pintu terbuka segugus galaksi menangkap airmata matahari bintang dan ribuan planet memburu detakjantung sepinya. kutanam tunas cintaku. berapa ratus milyar depa lagikah kubutuhkan untuk membalut perihnya? sementara janinku membesarkan matahari lain. ayahnya ribuan penjagal waktu. ia menunggu semua pintu dan jendela. tak ia inginkan tangis pertamanya meninggakan ruang luka. bayi itu lahir. kita menuliskan sejarah dalam abad bencana!              Berlin , 2003 (sumber: buku  SANTA ROSA   [SAINT ROSA] , Dorothea Rosa Herliany poems, Penerbit Indonesia Tera, edisi kedua, November 2006)

Kota Bawah Tanah (Dorothea Rosa Herliany)

KOTA  BAWAH TANAH tubuh siapakah melukis gelap. melubangi cahaya dalam terowongan, menuju petabuta. para pejalan menanti sejutamil jarak mengkerut. dalam perjalanan matahari membeku. para pemahat merias wajah kota yang terkubur. di bawah tanah terkutuk. tubuh siapakah, perempuan yang menangis, ibu yang kesepian,mengukir abad lelaki, di lorong-lorong peradaban penuh dendam.              Athena, 2003

Lagu Asing Dari Desa Ke Desa (Dorothea Rosa Herliany)

LAGU ASING DARI DESA KE DESA di atas gerobak kuhitung mesin dan listrik yang membagibagikan kekosongan kepada semuaorang malaikatmalaikat menyebarkan kebencian. sawahsawah dan gubukgubuk tibatiba berubah gumpalan kertas. kubakar: jadi tanahair bagi bayangbayang. sepanjang gang orangorang berjaga. tangantangan kurus mencabikcabik tanah bagi jantungnya sendiri. sebuah semesta: jutaan rumah tanpapenghuni. kubakar kesedihanku. kertaskertas mengetik sendiri hurufhuruf melulu tanda. melulu segala tandabaca. kubakar kesunyian ruhaniku. di gerbanggerbang desa kuhitung bayangbayang yang terpatahpatah. kusihir: menjadi jarijari yang selalu ingin menuliskan ribuan kalimat tak terbaca. Dorothea Rosa Herliany 1992

Kematian Kepompong (Dorothea Rosa Herliany)

KEMATIAN KEPOMPONG engkau ikut dalam arakarakan itu. menuju rumahcinta yang tak berpintu. aku yang mengusung dan kitagali liang buat dirisendiri. doadoa lupa dibacakan: tibatiba terucapkan amin yang berkepanjangan. engkau melayat: tubuhmu sendiri, tersesat, saat bertapa. tetapi pesta memang teramat sederhana. kita berdua minggir ke sudutsudut, dan bercakap entahapa. tibatiba kita bercinta. bersetubuh dengan kekosongan, alangkah siasia. kubelit nafasmu dengan juntaianrambut dari ludahku. tetapi kita bercinta: melengkapkan kenikmatan senggama. sebelum musim berziarah keburu tiba. kita berdua minggir. sampai tepi yang paling tepi. dan engkau tersesat saat bertapa. tibatiba. tapi, sungguh, kita sempat bercinta: dalam temparatur yang gila! Dorothea Rosa Herliany 1991

Ibadah Sepanjang Usia (Dorothea Rosa Herliany)

IBADAH SEPANJANG USIA kalimatkalimat yang kauucapkan berguguran dalam sahadatku. inilah kidung yang digumamkan! berapa putaran dalam sembahyang langit. tengadah di bawah hujan yang menaburkan ayatayat tak pernah dibaca. aku tak menemu akhir sembahyangku yang gagap. lilinlilin tak menyala dalam ruangan tanpa cahaya. gema mazmur yang disenandungkan dari ruang mimpimu beterbangan dalam tidurgelisahku. dan kotbah yang sayup, bertebaran dari mulutmulut kesunyian. telah kautabuh loncengmu? sembahyangku takjuga menemu akhir. Dorothea Rosa Herliany 1992

Alan

"Aku memang belum pernah berlayar, naik perahu motor-pun belum pernah. Tapi entah kenapa mendengarmu bicara begitu, seperti perpisahan. Seperti aku, seorang awak kapal tak berpengalaman yang harus pergi dihantam badai untuk pertama kali." Ujar Alan dengan suara tertahan. "Bukannya itu terdengar seperti petualangan lan? dan seharusnya kamu tertantang kan? seperti biasanya." Sahut Judith dari seberang meja kayu kecil kedai itu. Alan tak memandang Judith, ia mendengar, mungkin tak mau memandang. Matanya terarah keluar jendela, seperti mencari sesuatu untuk dikatakan. Judith menunggu apa yang hendak dikatakan Alan. Ia ingin cepat saja menyelesaikan ini, tapi ia tahu bahwa ia harus sedikit bersabar. Untuk Alan, untuk terakhir kali. "Tentu berbeda, kepada siapa harus kuceritakan pengalamanku itu. Kamu tak ada lagi." "Alan, aku permisi." Ucap Judith sambil  membereskan tas tangannya. Ia berdiri lalu berjalan cepat-cepat ke pintu keluar.

Maria Maria Maria

"Lalu apa yang bisa membuatmu bahagia?" tanya Mario dengan suara begitu lembut, seperti berbisik, seperti merayu. Tepat dua senti dari lubang telinga Maria. "Uang" jawab Maria spontan. Sejenak hening merayap diantara mereka. Lalu tawa tertahan mulai terdengar makin keras makin keras, dan meledaklah tawa mereka berdua. (1) . . . "Apa yang membuatku bertahan?" Mario mengangguk. "Aku mencintaimu" ucap Maria cepat. "Hanya itu?" Maria mengangguk. (2) . . . "Mau tahu apa yang kurindukan saat musim hujan begini?" terdengar suara Mario dari speaker telepon. Maria diam, menunggu. "Aroma rambutmu yang basah." (3) . . .  Meob

Mari!

Gambar
Mari membaca lagi, mari menulis lagi.