Selasa, 23 Mei 2017

Banyak Simpang, Kota Tua: Melankolia (Dorothea Rosa Herliany)

Banyak Simpang, Kota Tua: Melankolia
Oleh :
Dorothea Rosa Herliany
1.
selalu, setiap perjalanan keluhkesah itu
kau tak ingin sampai, di atas andong kau
bertanya siapa di antara kita kusirnya
kau tak ingin sampai, di setiap tikungan
membaca arah angin dan namanama gang.
orangorang, selalu seperti memulai hari
berangkat dan pulang, bergegas, dan entah siapa
memburu dan siapa diburu.
kita pun melangkah di antara perjalanan keluhkesah.
dan selalu gagal membaca arah.
2.
ada yang selalu mengantarmu ke segenap arah,
desa demi desa, tapi akhirnya
kau hanya sendiri di atas catatan duka
di deretan hari, mengapa selalu kau buka buku harian
:sebab katamu, kenangan itu racun.
hari ini aku melihat wajahmu
seperti patungpatung gerabah di Kasongan.
lalu hatiku tertawa, mengejek kenyataan hidup.
sebab masa lalu itu racun, dan kita
bersenangsenang atas kesedihan hari ini.
maka, jika rindu, pulang saja ke hotel, dan gambarlah
rumah dan hirukpikuk kotamu yang angkuh.
3.
kutunggu engkau di stasiun, beberapa jam usiaku hilang,
kutunggu sepanjang rel dan bangkubangku yang bisu.
kuingin Yogya, untuk seluruh waktu senggangmu,
sebab hidup mesti dihitung dan setiap tetes keringat
dan untuk itulah aku menanggalkan detik demi detik usiaku?
kutunggu engkau di stasiun, hingga detik menjadi tahun.
4.
kukira Joan Sutherland dan Mozart dalam Die Zauberflote.
tapi seorang perempuan kecil meminta sekeping uang logam,
dan menyanyikan kesedihan yang membeku di matahari terik
dan aspal membara,
tak selesai, ya, memang tak pernah selesai.
hanya mulutnya yang bergerakgerak di luar kaca
dan suara mencekam Sutherland.
Yogya semakin tua, dan dimanamana kudengar
ceritacerita kesedihan.
tapi di pasar Ngasem, engkau bisa membeli
seekor burung yang tak henti berkicau,
dan menjadi begitu pendiam saat kaubawa pulang.
5.
sebuah surat kutemukan di Malioboro,
tampaknya seorang gadis telah patah hati,
dan mencari kekasihnya di etalaseetalase
dan di antara tumpukan barangbarang kaki lima,
tak kutemu, di seluruh sudut kota ini pun tak ada
bayangbayang kekasih itu.
kutemukan surat itu, dan kukirimkan kembali
entah ke mana, suatu hari kau menemuiku,
dan membawa segenggam surat hitam: tak beralamat,
tapi kau tak pernah membacanya,
dan aku menulis kembali surat demi surat tak beralamat
dan tak kukirim ke manapun.
6.
rindu kadang menyakitkan
tapi apa yang disembunyikan kota lama ini?
seseorang tak ingin pergi
dan membangun sebuah rumahsiput.
seseorang tak ingin pergi
dan mencatat berderet peristiwa
untuk menjadikannya hanya kenangan.
Yogya, 1999

Semesta Luka (Dorothea Rosa Herliany)

SEMESTA LUKA

matahari menghitung sendiri luka yang kucuri
setiap pagi. pedihnya mengirimkan ribuan cahaya
yang merajam tubuhwaktu. aku tak mampu menuliskan kesedihan
itu ajal demi ajal yang selalu tiba-tiba.
aku terkurung dan tak bisa melompat lewat
sejuta pintu terbuka

segugus galaksi menangkap airmata matahari
bintang dan ribuan planet memburu detakjantung
sepinya. kutanam tunas cintaku. berapa ratus milyar
depa lagikah kubutuhkan untuk membalut perihnya?
sementara janinku membesarkan matahari lain.
ayahnya ribuan penjagal waktu. ia menunggu
semua pintu dan jendela. tak ia inginkan
tangis pertamanya meninggakan ruang luka.

bayi itu lahir. kita menuliskan sejarah
dalam abad bencana!

            Berlin, 2003
(sumber: buku SANTA ROSA [SAINT ROSA], Dorothea Rosa Herliany poems, Penerbit Indonesia Tera, edisi kedua, November 2006)

Kota Bawah Tanah (Dorothea Rosa Herliany)

KOTA BAWAH TANAH

tubuh siapakah melukis gelap.
melubangi cahaya dalam terowongan,
menuju petabuta.

para pejalan menanti sejutamil jarak mengkerut.
dalam perjalanan matahari membeku.
para pemahat merias wajah kota yang terkubur.
di bawah tanah terkutuk.

tubuh siapakah, perempuan yang menangis,
ibu yang kesepian,mengukir abad lelaki,
di lorong-lorong peradaban penuh dendam.

            Athena, 2003

Senin, 22 Mei 2017

Lagu Asing Dari Desa Ke Desa (Dorothea Rosa Herliany)

LAGU ASING DARI DESA KE DESA

di atas gerobak kuhitung mesin dan listrik
yang membagibagikan kekosongan kepada
semuaorang
malaikatmalaikat menyebarkan kebencian. sawahsawah
dan gubukgubuk tibatiba berubah gumpalan kertas.
kubakar: jadi tanahair bagi bayangbayang.

sepanjang gang orangorang berjaga. tangantangan
kurus mencabikcabik tanah bagi jantungnya sendiri.
sebuah semesta: jutaan rumah tanpapenghuni.

kubakar kesedihanku. kertaskertas mengetik
sendiri hurufhuruf melulu tanda. melulu segala
tandabaca. kubakar kesunyian ruhaniku.

di gerbanggerbang desa kuhitung bayangbayang
yang terpatahpatah. kusihir: menjadi jarijari
yang selalu ingin menuliskan ribuan kalimat
tak terbaca.

Dorothea Rosa Herliany
1992

Kematian Kepompong (Dorothea Rosa Herliany)

KEMATIAN KEPOMPONG

engkau ikut dalam arakarakan itu. menuju
rumahcinta yang tak berpintu. aku yang mengusung
dan kitagali liang buat dirisendiri. doadoa lupa
dibacakan: tibatiba terucapkan amin yang
berkepanjangan.

engkau melayat: tubuhmu sendiri, tersesat, saat
bertapa. tetapi pesta memang teramat sederhana.

kita berdua minggir ke sudutsudut, dan bercakap
entahapa. tibatiba kita bercinta. bersetubuh
dengan kekosongan, alangkah siasia. kubelit
nafasmu dengan juntaianrambut dari ludahku.
tetapi kita bercinta: melengkapkan kenikmatan
senggama. sebelum musim berziarah keburu tiba.

kita berdua minggir. sampai tepi yang paling tepi.
dan engkau tersesat saat bertapa. tibatiba. tapi,
sungguh, kita sempat bercinta: dalam temparatur yang gila!
Dorothea Rosa Herliany
1991

Ibadah Sepanjang Usia (Dorothea Rosa Herliany)

IBADAH SEPANJANG USIA
kalimatkalimat yang kauucapkan
berguguran dalam sahadatku. inilah
kidung yang digumamkan!

berapa putaran dalam sembahyang langit.
tengadah di bawah hujan yang menaburkan
ayatayat tak pernah dibaca.

aku tak menemu akhir sembahyangku
yang gagap. lilinlilin tak menyala
dalam ruangan tanpa cahaya. gema mazmur
yang disenandungkan dari ruang mimpimu
beterbangan dalam tidurgelisahku. dan
kotbah yang sayup, bertebaran dari
mulutmulut kesunyian.

telah kautabuh loncengmu? sembahyangku
takjuga menemu akhir.
Dorothea Rosa Herliany
1992

Kamis, 04 Mei 2017

Alan

"Aku memang belum pernah berlayar, naik perahu motor-pun belum pernah. Tapi entah kenapa mendengarmu bicara begitu, seperti perpisahan. Seperti aku, seorang awak kapal tak berpengalaman yang harus pergi dihantam badai untuk pertama kali." Ujar Alan dengan suara tertahan.

"Bukannya itu terdengar seperti petualangan lan? dan seharusnya kamu tertantang kan? seperti biasanya." Sahut Judith dari seberang meja kayu kecil kedai itu.

Alan tak memandang Judith, ia mendengar, mungkin tak mau memandang. Matanya terarah keluar jendela, seperti mencari sesuatu untuk dikatakan.

Judith menunggu apa yang hendak dikatakan Alan. Ia ingin cepat saja menyelesaikan ini, tapi ia tahu bahwa ia harus sedikit bersabar. Untuk Alan, untuk terakhir kali.

"Tentu berbeda, kepada siapa harus kuceritakan pengalamanku itu. Kamu tak ada lagi."

"Alan, aku permisi." Ucap Judith sambil  membereskan tas tangannya. Ia berdiri lalu berjalan cepat-cepat ke pintu keluar.

Maria Maria Maria

"Lalu apa yang bisa membuatmu bahagia?" tanya Mario dengan suara begitu lembut, seperti berbisik, seperti merayu. Tepat dua senti dari lubang telinga Maria.

"Uang" jawab Maria spontan.

Sejenak hening merayap diantara mereka. Lalu tawa tertahan mulai terdengar makin keras makin keras, dan meledaklah tawa mereka berdua. (1)
.
.
.
"Apa yang membuatku bertahan?"

Mario mengangguk.

"Aku mencintaimu" ucap Maria cepat.

"Hanya itu?"

Maria mengangguk. (2)
.
.
.
"Mau tahu apa yang kurindukan saat musim hujan begini?" terdengar suara Mario dari speaker telepon. Maria diam, menunggu.

"Aroma rambutmu yang basah." (3)
.
.
.
 Meob

Mari!

Mari membaca lagi, mari menulis lagi.

Museum Masa Depan yang Tak Pernah Ada

( setelah Baudrillard dan sebelum lupa ) Anak-anak berjalan ke dalam hutan yang disusun dari piksel dan janji manis algoritma. Pohon-pohon...