Kamis, 21 April 2016

Gulir Tak berhenti

Dimana akan berhenti
Dadu bergulir tanpa henti
Berdenting denting
Terbanting banting
Badan remuk redam
Rindu terpendam
Dimana sunyi bertambat
Hatiku letih tersesat
Menemukanmu seperti kartu
Keberuntungan kah menanti
Cemas pun luruh kekaki

Rinduku Sunyi

Rinduku tertambat pada sunyi
Pada pintu gerbang yang terkunci
Oh lututku lemas terantuk
Tak sampai, pintumu tak terketuk
Bukankah hati manusia sama
Mengapa getarnya berbeda
Tak sampai
Nyaliku tak sampai
Suaramu makin sunyi
Denting tak berbunyi

Rabu, 20 April 2016

Makan

Ini seperti makanan yang tak ingin kamu makan, tetapi harus kau makan. Itu tersaji begitu saja didepanmu, tak bisa kau tampik.

Kau memikirkan jalan keluar, sebuah keputusan. Kau harus memakannya dengan selera.

Kau tambahkan saus
Kau tambahkan kecap
Beberapa tabur garam
Juga serbuk merica

Lalu rasa dan segala sesuatunya menjadi lebih buruk.

Dibawah Matahari Aku Sendiri

Aku suka dibawah matahari semuanya terang benderang. Setidaknya rupa terlihat, meski kau sang manusia gua menyembunyikan rahasianya rapat-rapat dalam gelap.

Lalu pertarungan dimulai. Kusebut kau pembohong dan kau sebut aku terlalu banyak bicara. Aku tak terima, di venus segalanya lebih terang dan semestinya terang. Lantas kau bertanya, apa aku lupa tentang jarak mars dari matahari?.

Aku tak pernah kesana.
Nah
Kita kan di bumi?
Apa bedanya?
Kau harus lebih terbuka
Lantas kau sendiri?
Apa harus bermain cantik?
Tidak tahu

Aku ingin pergi meninggalkanmu kembali kepada siapa aku. Tetapi kau merayu tentang bumi yang sejuk. Kupikir kau berjalan sedikit kebawah matahari, kuputuskan untuk tinggal.

Tetapi mengapa guamu tak kau lupakan? Aku akan memegang tanganmu disepanjang jalan kita bersama, mencium bibirmu di lantai dansa. Kita akan bisa begitu, dan selalu bisa begitu.

Aku bukan siapa-siapamu, tukasmu singkat.

Pesawatku sudah pergi dan aku tak bisa kembali. Tetapi kau malah meninggalkanku lagi, kau memilih masuk ke dalam guamu.

#blahblah #warungburjokusbini

Rumah Yang Lain

Rumah yang lain di atas bukit. Halamannya daut jati. Entah kapan mereka tumbuh, entah kapan mereka jatuh. Rindu pada tanah milik siapa yang mereka beban, akupun tak tahu. Hanya sapi-sapi di kandang kaki bukit yang rajin menjawab. Tetapi aku tak mengerti lenguhan, hanya keluhan yang kupunya.

Kuduga mereka meratapiku.

Di rumah milik ibu, aku seperti mencari jawab yang tak ingin kudapat. Melompat-lompat lalu meledakkan pertanyaan. Terluka sendiri lalu menebar luka. Rumahku sendiri terkunci, luka itu menyebar di jalanan.

Kudengar bunyi daun-daun jati jatuh di halaman.

Senin, 18 April 2016

Sampah-sampah dan Lalat

Menurutku kita sama. Pusaran yang sama tanpa kelindan keindahan, hanya lalat. Hijau, berkilapan. Matanya merah.

"Mas?"
"Mati saja" seharusnya kujawab begitu. Tetapi malah "Ya", biarpun kutaktahu apa maunya hanya hati berharap cemas.

Tapi aku hanya sampah, yang kau buang. Lalu kau dibuang orang seperti sampah. Penggenapan, aku ingin tertawa sekaligus menangis.

"Kamu tak pergi tapi juga tak kan kembali, dan kau semakin membenciku. Sama, aku tidak tahu. Hanya hati masih hangat dari sisa api terpadamkan." Pesan ini-pun hanya kau baca, entah apa. Tapi kau bilang semakin membenciku.

Soal ini, hanya berarti aku tak salah: Aku layak dibenci, dibuang seperti sampah. Tetapi apakah kamu juga layak, aku tidak tahu. Barangkali dendam.

"Kenapa kita tidak kembali, dalam keadaan yang layak yang tak bisa kita buktikan apa-apa yang lebih baik dari ini."

Lalat-lalat hijau berputar diatas tubuh kita. Hijau, dan ekor hitamnya masa depan yang entah apa. Hari-hari suram, hati-hari yang kutahu masih kita pelihara.

Tangan Kiri

Sore ini pergelangan tangan kiri-ku sakit sekali. Entah apa yang salah, sepertinya tidak ada.

Semalam aku menopang kepalamu dengan cara yang sama seperti malam kemarin. Kemarin tidak sakit, berarti bukan itu. Tapi memang aku memang tidur di sisi kirimu, bukan kananmu seperti yang kemarin. Apa karena posisi yang berubah jadi rasanya sakit sekali.

Ah, sialan. Sakitnya!


Kamis, 07 April 2016

Jogja Sehabis Hujan

Dari jendela tampak jalanan basah di pelintasan. Sekejap tanya menjalar perih di lambung:

Berupa apa basah hujan yang kulewatkan?

Kota menjadi terlalu sunyi dari manusia. Kotak-kotak besi, disana mereka bersembunyi. Dibalik layar-layar kecil, dan buku yang sama.

Terlambat ataukah tepat, itupun juga tidak diketahui. Satu yang pasti: Keretaku tiba sehabis hujan.

Kelak gelisah menyambutku. Ingatan tentang ditemukannya surat tanpa alamat di Malioboro dan burung-burung ngasem yang tak mau berbunyi begitu dibawa pulang.

Lalu wajahmu, aku tak mau lagi.

(Jogja sehabis hujan, dari balik jendela gerbong KA Fajar Utama. Awal April 2016)

Museum Masa Depan yang Tak Pernah Ada

( setelah Baudrillard dan sebelum lupa ) Anak-anak berjalan ke dalam hutan yang disusun dari piksel dan janji manis algoritma. Pohon-pohon...