Kalimantan dan Janji Pemerintah
Hujan turun di atas hutan,
membasahi janji yang tumbuh seperti ilalang,
terlalu cepat, terlalu rapuh,
terkadang hilang sebelum sempat mengakar.
Di tepi sungai yang dulu jernih,
seorang anak bertanya pada ibunya,
“Kemana perahu-perahu kayu itu pergi?”
Sang ibu hanya tersenyum lirih,
menatap jejak ekskavator di lumpur.
Mereka berkata, ini untuk kemajuan,
jalan panjang yang menghubungkan mimpi,
jembatan, bandara, dan ibu kota baru,
tapi siapa yang masih bisa mengingat
bau damar yang mengalir dari pohon tua?
Kalimantan menghafal setiap langkah,
setiap lubang yang digali tanpa doa,
setiap pohon yang tumbang tanpa pamit,
setiap perjanjian yang ditandatangani
dengan tangan gemetar dan mata terpejam.
Di atas tanah ini, janji-janji berbisik,
akan ada pekerjaan, ada masa depan,
tapi angin tahu lebih baik—
ia membawa debu ke wajah-wajah yang menunggu,
sementara sungai mengalirkan cerita yang sama:
dulu hijau, kini abu.
