Sabtu, 15 Maret 2025

Kolam di Dalam Dada

Aku menyimpan kolam di dalam dada,
airnya bening di siang hari, keruh saat malam tiba.
Ikan-ikan perasaan berenang pelan,
ada yang menunggu diberi makan,
ada yang diam di dasar, tak ingin disapa.

Beberapa ikan tak lagi tumbuh,
menjadi fosil di lumpur kenangan.
Beberapa lain meloncat ke udara,
seperti rindu yang tak tahu
harus kembali atau pergi lebih jauh.

Aku ingin menata kolam ini,
menyingkirkan daun gugur dari permukaannya.
Tapi tangan siapa yang harus menyentuhnya?
Sebab setiap kali aku meraba airnya,
gelombang kecil mengaburkan bayanganku sendiri.

Tetes Embun di Ujung Mata Ibu



Ibu menyimpan pagi di sudut matanya,
seperti embun yang menahan diri
sebelum jatuh ke tanah.

Ia tak pernah tergesa menangis,
bahkan saat dadanya penuh sesak
oleh doa-doa yang tak kunjung terkirim.
Kesabarannya meluas seperti subuh,
tak tampak, tapi selalu datang.

Di ujung matanya, ada waktu yang bersabar,
menunggu lelah menjelma teduh,
menunggu lapar menjadi cukup.

Tak ada yang lebih sunyi dari lelah yang tak terucap,
tak ada yang lebih sabar dari ibu
yang menyimpan luka dalam senyum.

Maka, sebelum embun itu jatuh,
sebelum pagi beranjak pergi,
biarkan aku belajar darinya—
bagaimana menunggu tanpa kecewa,

bagaimana mencintai tanpa meminta kembali. 

Pernikahan Ilalang



Di tepi ladang yang lupa namanya,
angin berbisik tentang dua ilalang
yang menari tanpa tahu kapan harus berhenti.
Mereka bersandar pada gelombang musim,
menyeka debu di mata dengan bayangan sendiri.

Tak ada undangan,
hanya kumbang dan belalang yang datang,
mengamini sumpah sederhana:
aku akan berdiri di sisimu,
bahkan saat dunia lupa menamai kita bunga.

Mereka tidak butuh cincin,
karena akar telah lebih dulu saling menggenggam.
Mereka tidak butuh janji,
karena angin selalu mengulang kata-kata
yang tak perlu diucapkan.

Di bawah langit yang tidak memilih siapa harus dicintai,
dua ilalang itu tumbuh bersama,
membiarkan waktu menjadi saksi,

dan sunyi menjadi restu. 

Perjalanan di Atas Rel




Kita berdiri di dalam gerbong yang terlalu penuh
di antara wajah-wajah yang lupa bagaimana rasanya pagi tanpa tergesa
jendela kereta menghafal nama-nama yang kita lupakan
sebuah kota yang terus bergerak meski tak pernah benar-benar tiba.

Aku melihat lelaki yang membaca koran yang tak lagi berbau tinta
seorang ibu yang menggenggam tangan anaknya lebih erat dari doa
seorang perempuan yang menempelkan dahinya ke kaca
dan melihat dirinya sendiri di antara bayang-bayang peron.

Bogor selalu menitipkan hujan di ujung mata penumpangnya
dan Jakarta selalu menunggu dengan jantung yang lebih bising
kita semua adalah sisa-sisa malam yang tak cukup tidur
menjadi angka dalam perhitungan keterlambatan yang berulang.

Ada yang turun, ada yang naik
ada yang membawa cerita, ada yang kehilangan alamat
kereta melaju, seperti hidup yang tak pernah benar-benar berhenti
meski kita berharap sesekali bisa diam, sekadar untuk bernapas lebih lama.

Sepanjang Pesisir Selatan Jawa Tengah


Garis pantai membentang panjang,

ombak tak henti-hentinya bercerita
tentang kapal yang karam,
tentang doa yang hilang di angin,
tentang petani garam yang menunggu langit.

Di muara, seorang nelayan tua
menghitung harapan di jaringnya.
Laut yang dulu ramah, kini gaduh,
terkadang penuh, terkadang kosong,
seperti janji yang datang bersama badai.

Di balik bukit kapur dan nyiur,
ada rumah-rumah yang tak berpintu,
menunggu anak-anaknya kembali
dari kota yang gemerlap,
dari impian yang mungkin keliru.

Sepanjang pesisir,
pasir mencatat langkah-langkah kecil,
yang datang dan pergi seperti cerita,
yang mengendap di dada,
menjadi rindu, menjadi puisi.

Kalimantan dan Janji Pemerintah


Hujan turun di atas hutan,

membasahi janji yang tumbuh seperti ilalang,
terlalu cepat, terlalu rapuh,
terkadang hilang sebelum sempat mengakar.

Di tepi sungai yang dulu jernih,
seorang anak bertanya pada ibunya,
“Kemana perahu-perahu kayu itu pergi?”
Sang ibu hanya tersenyum lirih,
menatap jejak ekskavator di lumpur.

Mereka berkata, ini untuk kemajuan,
jalan panjang yang menghubungkan mimpi,
jembatan, bandara, dan ibu kota baru,
tapi siapa yang masih bisa mengingat
bau damar yang mengalir dari pohon tua?

Kalimantan menghafal setiap langkah,
setiap lubang yang digali tanpa doa,
setiap pohon yang tumbang tanpa pamit,
setiap perjanjian yang ditandatangani
dengan tangan gemetar dan mata terpejam.

Di atas tanah ini, janji-janji berbisik,
akan ada pekerjaan, ada masa depan,
tapi angin tahu lebih baik—
ia membawa debu ke wajah-wajah yang menunggu,
sementara sungai mengalirkan cerita yang sama:
dulu hijau, kini abu.

Kucing Hitam


Di kamar ini, langit-langit selalu rendah,
seakan menahan segala rahasia yang tak boleh jatuh.
Dindingnya menghafal bisik-bisik,
detik jam yang lelah berulang,
dan suara kucing hitam yang tak pernah tidur.

Ia datang setiap malam,
menyelinap lewat jendela yang lupa dikunci,
membawa langkah-langkah sunyi
dan sepasang mata kuning yang terlalu banyak tahu.
Ia menatapku seperti menatap luka yang tak ingin sembuh.

Di luar, lorong kost panjang dan sunyi,
hanya cahaya lampu neon yang berkedip seperti ingatan buruk.
Aku tak pernah tahu siapa penghuni kamar sebelah,
hanya suara gesekan kertas dan batuk yang tertahan,
seperti seseorang yang berusaha menghapus namanya sendiri.

Kucing hitam itu tak pernah mengeong,
hanya duduk di sudut kasur,
mengawasi malam yang tak ingin selesai.

Kadang aku berpikir,
barangkali ia pemilik kamar ini sebelum aku.
Barangkali aku hanya tamu,
dan kamar ini adalah rahasia yang memeliharaku.

Museum Masa Depan yang Tak Pernah Ada

( setelah Baudrillard dan sebelum lupa ) Anak-anak berjalan ke dalam hutan yang disusun dari piksel dan janji manis algoritma. Pohon-pohon...