Rabu, 03 Februari 2016

Negeri Terumbu Biru - Bagian pertama

NEGERI TERUMBU BIRU
Oleh: Meob
Bagian Pertama

***
"Menembus angin, menerjang badai, tak ubah arah
Sampai kapal bersandar, hingga haluan bersambut
Kita kan menari di atas negeri berterumbu biru
Inilah janji yang kulayarkan padamu
Kau dan Aku, Kita satu"
***


Sekarang baru memasuki Jeneponto, udara panas dan kering mulai terasa terbawa angin. Kupikir Takalar sudah cukup membuatku mendidih, ternyata ini lebih. Aku sudah tidak betah, rasanya sudah cukup perjalanan ke negeri antah berantah ini.Tapi di kursi pengemudi Radit masih nampak bersemangat, aku tersenyum padanya agar tak membuatnya kecewa.

"Disana pasirnya selembut terigu, benar-benar seperti terigu!. Halus sekali di kaki, waktu pertama kuinjakkan kaki telanjang rasanya geli!." dengan bersemangat dia menceritakan pantai Tanjung Bira kemarin dulu.

Radit berkali-kali membujukku untuk datang ke Sulawesi. Kali ini aku setuju untuk datang, bukan karena betul-betul aku ingin. Kurasa lebih karena terlalu muak kekenyangan dengan segala, rupa-rupa cerita yang entah benar entah tidak sudah dia jejalkan ke telingaku sejak berbulan-bulan lalu. Penolakanku hanya satu saja berlandas: aku takut berucap setuju. Tetapi bagaimanapun, aku akhirnya tetap setuju untuk terbang dari Yogyakarta ke Makassar kemarin pagi.

Yogyakarta benar-benar kota yang sudah berubah kini, macet dimana-mana. Suhu udara benar-benar panas, mungkin Merapi sudah tak mau menghembuskan kesejukan selain amarah erupsinya yang meledak-ledak.Tapi aku cinta kota itu, dan Radit tahu itu. Dia tahu persis bagaimana aku berjuang masuk ke perusahaan multinasional untuk menikmati Yogya dengan modal Jakarta. Tapi tentang Makassar, aku benar-benar merasa aneh. Berkali-kali kami ribut hanya bila dia menyebut nama Makassar.

"Tidak mungkin kamu layak berkata tidak suka bila datang dan melihat dengan kepala sendiripun belum pernah."

"Tapi di berita, demo dimana-mana, ribut dimana-mana!"

"Lalu apa itu penembakan gila di Lapas Cebongan kemarin dulu?"

"Tidak, itu berbeda Radit!."

"Lastri, ada apa sebenarnya dengan kamu?. Keras sekali hatimu, ini hanya soal naik pesawat. Satu dua jam duduk manis, lalu sampailah kamu disampingku. Mudah bukan?"

Saat itu aku tidak bisa membantah Radit, aku tidak tahu kenapa aku begitu menolak untuk pergi kesana. Benar bahwa hanya butuh satu kali penerbangan untuk sampai kesana, Makassar bukan Papua yang harus berkali ganti penerbangan dan transit dimana-mana.

"Ada apa Lastri? katakan saja"

"Tidak ada apa-apa, aku tidak tahu."

"Kamu masih ingat dia?."

"Tidak, sama sekali tidak."

"Lantas?."

"Aku hanya tidak nyaman, entah kenapa."

"Bukannya kamu bilang kalau disampingku terasa nyaman?"

Radit sialan, dia pandai bermain kata. Malam itu dia hanya tertawa lalu menutup telepon, dan esok paginya agen tiket pesawat mengetuk pintu kosku. Kini aku sampai disini, dan kebingungan kenapa aku masih berkeras biarpun sudah berdiri diatas pulau ini.

"Lastri" panggil Radit memecah lamunanku, aku menengok padanya.

"Lihat di sabana sana, banyak sekali kuda"

"Kamu masih bermimpi punya ranch dan puluhan kuda?"

"Bukan, bukan ranch. Tapi perkebunan, seperti milik Almanzo Wilder."

"Astaga, jadi kamu membaca seri Little House juga?"

"Ya, kamu baru tahu?."

"Ya, kupikir kamu bilang kuda dan kuda karena nonton film koboy"

"Almanzo juga koboy."

"Bukanlah, dia tidak bekerja menjaga sapi milik orang."

"Pokoknya yang bertopi koboy, itu koboy."

Ia menatapku hangat lalu melihat lagi ke depan.

"Jadi, kamu Laura Ingalls-nya kan?."

"Ya, bila kamu membawaku ke negeri apel merah besar."

Dia tertawa mendengar jawabanku barusan. Lelaki manapun seharusnya paham kalau wanita manapun juga berharap tentang hidup yang nyaman dan tenang.

"Tapi Laura mewarisi jiwa Pa, ia suka tantangan."

Aku menatap dia, kata-katanya barusan agak tajam kurasa.

"Radit, kamu mengancamku?."

"Tidak."

"Apa maksudmu kalau begitu?."

"Lastri, kamu wanita kuat. Lebih dari yang kubayangkan, apalagi yang kuharapkan?."

Aku benar-benar tidak paham. Meski dia berupaya merayu, aku curiga ada sesuatu yang lain. Tapi Radit bukan tipe lelaki genit yang suka selingkuh, bila tidak bagaimana mungkin dia masih setia menemuiku setiap ia pulang ke Yogyakarta.

***

Setelah gelap kami tiba di bukit-bukit Tanjung Bira, sepi sekali dan jalanan gelap. Aku sedikit takut kalau-kalau ada begal atau rampok yang menghentikan mobil di hutan-hutan tadi. Mobil melaju turun, kurasakan pantai sudah dekat dari aroma angin.

"Kita mau kemana?"

"Pantai Tanjung Bira, tidak ada apa-apa lagi diujung sini."

"Maksudku, hotel atau penginapan."

"Oh, ada nanti. Pasti kamu suka."

Samar dari balik kaca mobil, aku melihat perahu kayu besar penuh lampu. Terang sekali, cahanya keluar dari jendela kayunya yang banyak. Tidak, itu bukan kapal, jendelanya terlalu banyak di lambungnya. Ternyata Radit membawaku ke kapal cahaya itu, dan rupanya sebuah bangunan hotel sedang dengan bangunan berbentuk kapal kayu didepannya. Kapal kayu itu adalah sebuah restoran, aku tidak menyangka ada bangunan se-unik ini di ujung dunia.

"Baguskan?"

Rupanya Radit melihat saat aku tak sadar tersenyum tadi memandangi kapal kayu itu.

"Ayuk kita menaruh barang di kamar lalu makan disitu."

"Ikan ya?"

"Barangkali, tidak apa-apa kan?"

"Kalau cumi-cumi aku lebih suka"

Radit tidak menjawab, alih-alih mengangkat tasku dia malah memelukku.

"Aku senang kamu sampai kesini, berbulan-bulan aku memimpikan membawamu kesini."

Aku tidak tahu harus menjawab apa, yang kutahu kemudian kami baru makan menjelang tengah malam. Mungkin rindu membuat kami menunda lapar, 

"Ngantuk."

"Sama, capek jadi supirmu."

"Besok pagi saja ke pantai."

"Iya, malam ini anginnya kencang, Dingin pula."

"Kamu takut masuk angin?."

"Tidak."

"Lantas?."

"Malam ini aku berharap masuk angin."

"Buktikan jika pelaut tak takut gelombang."

"Sayangnya aku penambang."

Kami berdua tertawa, tanganku digenggam Radit lebih erat. Kurasa letih dengan jarak yang kemudian juga menunda kami untuk berjalan-jalan di pantai malam ini. Yogyakarta lalu Makassar setelah berbulan-bulan, dan kini aku tiba disini. Sebuah ujung dunia, dermaga dimana sebuah kapal bercahaya membuang sauh.Tempat itu bernama Tanjung Bira.

(Bersambung)

Museum Masa Depan yang Tak Pernah Ada

( setelah Baudrillard dan sebelum lupa ) Anak-anak berjalan ke dalam hutan yang disusun dari piksel dan janji manis algoritma. Pohon-pohon...