Kamis, 04 Februari 2016

Negeri Terumbu Biru - Bagian Kedua

NEGERI TERUMBU BIRU
Oleh: Meob
Bagian Kedua
***
Taukah kamu yayi,Benar adanya rindu menusuk sampai ke kulit

Kamar mandi menipuku: Air yang segarnya sebentar saja
Juga gema suara memantul di dinding-dinding kamar

Kudengar itu yang bernama rindu
Dingin yang menggetarkan tulang sampai pada keraguan
Sumber bunyi yang tersembunyi entah dimana
Benarkan sentuhan kan  menghapusnya?
 ***


Pagi ini rasanya malas sekali bangun. Pukul tujuh lebih tiga puluh dua menit kulihat di jam ponselku, berarti pukul enam lebih tiga puluh dua menit di Jawa sana. Entah kenapa selalu menghitung beda zona waktu barat dan tengah. Aku rindu Lastri, tapi tidak perlu begini seharusnya. Bisa hilang semangatku yang sudah pupus jadi malas begini kalau mengingat-ingat terus, padahal kurang dua puluh menit lagi harus sudah dikantor.

“Bangun mas Radit, telat sudah ini.” Ilyas memanggilku dari luar pintu.



“Ya, sebentar.” jawabku. Langkah kakinya terdengar menjauh, lalu suara pintu depan tertutup. Ilyas berangkat duluan, dia memang anak rajin.

Kutarik lagi selimut yang sudah berantakan jatuh dari dipan tadi, rasanya masih nyaman memejamkan mata. Bila dihitung: lima menit untuk buang air, dua menit untuk mandi, dan lima menit berpakaian. Total dua belas menit, berarti aku masih bisa bermalasan kira-kira sepuluh menit lagi. Sayangnya bagaimanapun ini sudah pagi, sulit untuk tidur lagi. Lebih baik mandi kalau begini.

Suara langkah-langkah kaki dan teriakan anak-anak diluar jendela terdengar ramai dari ruang setrika. Aku nyaris bisa memastikan adegan apa yang terjadi dari suara-suara ini: Itu suara Pak Giran, Pak Aji, dan Pak Gondrong sedang mengobrol sambil minum kopi di tenggara. Lalu yang dari barat itu suara tangisan Riki, seperti biasanya sudah berseragam taman kanak-kanak rapi lengkap tapi selalu saja ada yang dia tangisi. Entah air minumnya yang kurang penuh, kaos kakinya yang tidak dia suka, kadang susunya yang terlalu panas, sampai termasuk arah sisiran rambutnya yang harus ke kanan juga kadang dia minta ke kiri. Tapi kurasa anak itu sekedar mencari perhatian orangtuanya yang sibuk dengan kantin dan pelanggannya. Biarpun ada mbak-mbak yang mengurus dan antar jemput, tak ada yang lebih menenangkan bila yang mengurus ibu sendiri.

Aku jadi kangen ibuku, pasti pagi ini dia juga sedang sibuk mengurus Lintang yang sudah ditinggal orangtuanya (yaitu kakaku dan suaminya) pergi kerja sebelum matahari terbit tadi. Soal anak yang dititipkan orangtua begitu, entah soal percaya atau memang terpaksa. Aku tidak tahu, apalagi membayangkan apa kelak anakku sendiri bisa kupercayakan pada Ibu. Aku makin tidak tahu.

***

Di atas meja kerja kugeletakkan ponsel lalu pergi ke pantry. Membikin segelas kopi putih nampak lebih menarik daripada menunggu pesan yang entah datang entah tidak. Kalaupun datang mungkin tidak juga kubaca, paling hanya ucapan selamat pagi.

“Hei dit, kenapa pagi-pagi lesu?.” Herman yang datang tiba-tiba masuk ke pantry  mengagetkanku.

“Jadi?.”

“Jadi apa Man?.”

“Rumah di Jalan Matahari itu, sayang kalau kau tak ambil.”

“Tidak tahu Man.”

“Cari saja istri disini. Tiap hari kau lihat itu gadis-gadis pergi ke pasar dari Korawe, putih-putih, montok-montok. Apalagi?.”

“Daripada kau pusing.” Tambah Herman.

Herman memang benar soal gadis-gadis gunung itu, mereka memang cantik dan putih-putih. Banyak cerita yang bilang kalau orang di daerah sini memiliki darah keturunan daratan china dari nenek moyang mereka. Lastri memang tidak bisa dibandingkan kalau soal penampilan, tapi dia ideal buatku. Ayah ibunya suku jawa asli, lahir besarpun di Jawa. Sudah sesuai dengan pesan ibuku sendiri untuk mencari istri yang satu suku saja. Kupikir pesan itu ketakutan ibu semata aku tidak pulang dari negeri rantau ini jika beristri orang sini.

Herman sialan, membuatku berpikir macam-macam saja pagi pagi. Memasukkan ide-ide begini lalu pergi begitu saja. Tapi aku hendak bertanya soal Tanjung Bira, Herman yang suka jalan-jalan pasti tahu. Kususul Herman di mejanya,

“Man.”

“Apa dit?.”

“Dimana kau bilang dulu itu soal hotel kapal?.”

“Hotel kapal?.”

“Ya, Tanjung Bira.”

“Oh, ya di Tanjung Bira.”

“Mahal?.”

“Masak jabatanmu tidak mampu?.”

“Man, yang benar dong.

“Rata-rata lah, mahal sedikit dari melati B. Sama mungkin seperti kemarin waktu kita tugas di Makassar.”

“Oh, jauh naik mobil?.”

“Kau kan sudah pernah”

“Tapi dulu, tiga tahun lalu”

“Masih ingat jalannya?”

“Ingat, dari Bulukumba naik ke arah bukit kanan kan?”

“Ya, sekitar lima jam dari Makassar. Coba cek-cek di web dulu, cari info.”

“Oh adakah?”

“Kau kampungan, jangan terlalu begitu sih. Memang kita di site gunung, tapi jangan kampungan juga Dit.”

“Banyak yang lagi kupikir Man”

“Apalagi, istri?, Bawa sudah janda muda di pabrik itu, siapa?”

“Munah?.”

“Nah iya itu. Hapalnya kau itu.”

“Sialan.”

Herman tertawa gembira sekali kalu sudah berhasil menggodaku perkara istri. Sampai kupikir tidak ada lagi topik lain yang membuat dia senang bicara denganku selain perkara istri dan istri yang belum kumiliki.

Ingin sekali kubawa Lastri ke Tanjung Bira, sudah pula kukirimkan foto-fotoku dulu saat di sana. Tapi entah kenapa dia selalu menolak kalau aku sudah mulai bicara tentang Sulawesi, Makassar, Coto, Sop Konro. Padahal aku setia sekali mendengar keluh kesahnya soal Yogyakarta yang macet, panas, kantornya yang jauh, sampai perkara konflik dengan teman kerjanya. Adil tidak adil, aku tidak berpikir itu. Aku hanya ingin Lastri mengunjungiku, sekali saja untuk sekedar tahu apa dia cukup peduli atau tidak.

***
“Belum pulang?.”

“Belum, masih di Supplier.”

“Sampai jam brapa?, Ini sudah jam sembilan lho Las.”

“Nanti, tengah malam mungkin sampai kost.”

“Oh.”

“Ya, sudah ya.”

Lastri menutup telepon, dia belum pulang dari kerja sampai selarut ini.. Kasihan, tapi itu maunya. Kalau tidak begitu standar upah di Yogyakarta kecil, aku lebih kasihan. Tapi sibuknya Lastri juga yang membuatku malas bicara hal-hal penting di telepon. Dia sudah lelah kalau sampai kostnya. Bicara sedikit saja tidak cocok dia bisa marah-marah.

Tidak sekalipun terpikir untuk bertingkah puritan ala laki-laki padang pasir. Sungguh aku ingin berpikiran terbuka, memberi kesempatan Lastri seluas-luas. Sudah berkali-kali aku melihat betapa tersiksanya wanita-wanita yang suaminya serasa naik onta. Aku tidak ingin jadi seperti itu, dan lagi Lastri belum jadi istriku. Apa terlalu manja meminta dia datang sekali saja. Jadi teringat pembicaraan kemarin dulu sekali, waktu pertama kali aku memintanya datang.

“Kamu terlalu santai, jadi berpikiran macam-macam.”

“Maksudmu apa Las?”

“Waktumu terlalu banyak.”

“Bukan masalah kan?.”

“Ya bukan”

“Terus?”

“Sudahlah Dit, aku capek. Mau tidur, besok masuk pagi.”

Tidak pernah ada jawaban mengapa Lastri selalu menolak. Sesuatu yang jelas apa yang menjadi masalah. Sampai kukira dia juga tidak tahu apa alasannya sendiri yang pasti. Kadang dia bilang tidak punya uang, padahal aku yang bayar. Lain waktu dia bilang ada lembur kerja, padahal jalan-jalan dengan teman-temannya. Kalau kata Herman, dia tidak mau ya sudah. Tapi kalau ku ikuti Herman, tidak lain itu adalah kata berpisah. Aku tidak mau.


(Bersambung)


Museum Masa Depan yang Tak Pernah Ada

( setelah Baudrillard dan sebelum lupa ) Anak-anak berjalan ke dalam hutan yang disusun dari piksel dan janji manis algoritma. Pohon-pohon...