NEGERI TERUMBU BIRU
Oleh: Meob
Bagian Kedua
***
Taukah kamu yayi,Benar adanya rindu menusuk sampai ke kulit
Kamar mandi menipuku: Air yang segarnya sebentar saja
Juga gema suara memantul di dinding-dinding kamar
Kudengar itu yang bernama rindu
Dingin yang menggetarkan tulang sampai pada keraguan
Sumber bunyi yang tersembunyi entah dimana
Benarkan sentuhan kan menghapusnya?
***
Oleh: Meob
Bagian Kedua
***
Taukah kamu yayi,Benar adanya rindu menusuk sampai ke kulit
Kamar mandi menipuku: Air yang segarnya sebentar saja
Juga gema suara memantul di dinding-dinding kamar
Kudengar itu yang bernama rindu
Dingin yang menggetarkan tulang sampai pada keraguan
Sumber bunyi yang tersembunyi entah dimana
Benarkan sentuhan kan menghapusnya?
***
Pagi ini rasanya malas
sekali bangun. Pukul tujuh lebih tiga puluh dua menit kulihat di jam ponselku,
berarti pukul enam lebih tiga puluh dua menit di Jawa sana. Entah kenapa selalu
menghitung beda zona waktu barat dan tengah. Aku rindu Lastri, tapi tidak perlu
begini seharusnya. Bisa hilang semangatku yang sudah pupus jadi malas begini
kalau mengingat-ingat terus, padahal kurang dua puluh menit lagi harus sudah
dikantor.
“Bangun mas Radit,
telat sudah ini.” Ilyas memanggilku
dari luar pintu.
“Ya, sebentar.”
jawabku. Langkah kakinya terdengar menjauh, lalu suara pintu depan tertutup.
Ilyas berangkat duluan, dia memang anak rajin.
Kutarik lagi selimut
yang sudah berantakan jatuh dari dipan tadi, rasanya masih nyaman memejamkan
mata. Bila dihitung: lima menit untuk buang air, dua menit untuk mandi, dan
lima menit berpakaian. Total dua belas menit, berarti aku masih bisa bermalasan
kira-kira sepuluh menit lagi. Sayangnya bagaimanapun ini sudah pagi, sulit
untuk tidur lagi. Lebih baik mandi kalau begini.
Suara langkah-langkah
kaki dan teriakan anak-anak diluar jendela terdengar ramai dari ruang setrika.
Aku nyaris bisa memastikan adegan apa yang terjadi dari suara-suara ini: Itu
suara Pak Giran, Pak Aji, dan Pak Gondrong sedang mengobrol sambil minum kopi
di tenggara. Lalu yang dari barat itu suara tangisan Riki, seperti biasanya
sudah berseragam taman kanak-kanak rapi lengkap tapi selalu saja ada yang dia
tangisi. Entah air minumnya yang kurang penuh, kaos kakinya yang tidak dia
suka, kadang susunya yang terlalu panas, sampai termasuk arah sisiran rambutnya
yang harus ke kanan juga kadang dia minta ke kiri. Tapi kurasa anak itu sekedar
mencari perhatian orangtuanya yang sibuk dengan kantin dan pelanggannya.
Biarpun ada mbak-mbak yang mengurus dan antar jemput, tak ada yang lebih
menenangkan bila yang mengurus ibu sendiri.
Aku jadi kangen ibuku,
pasti pagi ini dia juga sedang sibuk mengurus Lintang yang sudah ditinggal
orangtuanya (yaitu kakaku dan suaminya) pergi kerja sebelum matahari terbit
tadi. Soal anak yang dititipkan orangtua begitu, entah soal percaya atau memang
terpaksa. Aku tidak tahu, apalagi membayangkan apa kelak anakku sendiri bisa
kupercayakan pada Ibu. Aku makin tidak tahu.
***
Di atas meja kerja
kugeletakkan ponsel lalu pergi ke pantry.
Membikin segelas kopi putih nampak lebih menarik daripada menunggu pesan yang
entah datang entah tidak. Kalaupun datang mungkin tidak juga kubaca, paling
hanya ucapan selamat pagi.
“Hei dit, kenapa
pagi-pagi lesu?.” Herman yang datang tiba-tiba masuk ke pantry mengagetkanku.
“Jadi?.”
“Jadi apa Man?.”
“Rumah di Jalan
Matahari itu, sayang kalau kau tak ambil.”
“Tidak
tahu Man.”
“Cari
saja istri disini. Tiap hari kau lihat itu gadis-gadis pergi ke pasar dari
Korawe, putih-putih, montok-montok. Apalagi?.”
“Daripada
kau pusing.” Tambah Herman.
Herman
memang benar soal gadis-gadis gunung itu, mereka memang cantik dan putih-putih.
Banyak cerita yang bilang kalau orang di daerah sini memiliki darah keturunan
daratan china dari nenek moyang mereka. Lastri memang tidak bisa dibandingkan
kalau soal penampilan, tapi dia ideal buatku. Ayah ibunya suku jawa asli, lahir
besarpun di Jawa. Sudah sesuai dengan pesan ibuku sendiri untuk mencari istri
yang satu suku saja. Kupikir pesan itu ketakutan ibu semata aku tidak pulang
dari negeri rantau ini jika beristri orang sini.
Herman
sialan, membuatku berpikir macam-macam saja pagi pagi. Memasukkan ide-ide
begini lalu pergi begitu saja. Tapi aku hendak bertanya soal Tanjung Bira,
Herman yang suka jalan-jalan pasti tahu. Kususul Herman di mejanya,
“Man.”
“Apa
dit?.”
“Dimana
kau bilang dulu itu soal hotel kapal?.”
“Hotel
kapal?.”
“Ya,
Tanjung Bira.”
“Oh,
ya di Tanjung Bira.”
“Mahal?.”
“Masak
jabatanmu tidak mampu?.”
“Man,
yang benar dong.”
“Rata-rata
lah, mahal sedikit dari melati B. Sama mungkin seperti kemarin waktu kita tugas
di Makassar.”
“Oh,
jauh naik mobil?.”
“Kau
kan sudah pernah”
“Tapi
dulu, tiga tahun lalu”
“Masih
ingat jalannya?”
“Ingat,
dari Bulukumba naik ke arah bukit kanan kan?”
“Ya,
sekitar lima jam dari Makassar. Coba cek-cek
di web dulu, cari info.”
“Oh
adakah?”
“Kau
kampungan, jangan terlalu begitu sih. Memang kita di site gunung, tapi jangan kampungan juga Dit.”
“Banyak
yang lagi kupikir Man”
“Apalagi,
istri?, Bawa sudah janda muda di pabrik itu, siapa?”
“Munah?.”
“Nah
iya itu. Hapalnya kau itu.”
“Sialan.”
Herman
tertawa gembira sekali kalu sudah berhasil menggodaku perkara istri. Sampai
kupikir tidak ada lagi topik lain yang membuat dia senang bicara denganku
selain perkara istri dan istri yang belum kumiliki.
Ingin
sekali kubawa Lastri ke Tanjung Bira, sudah pula kukirimkan foto-fotoku dulu
saat di sana. Tapi entah kenapa dia selalu menolak kalau aku sudah mulai bicara
tentang Sulawesi, Makassar, Coto, Sop Konro. Padahal aku setia sekali mendengar
keluh kesahnya soal Yogyakarta yang macet, panas, kantornya yang jauh, sampai
perkara konflik dengan teman kerjanya. Adil tidak adil, aku tidak berpikir itu.
Aku hanya ingin Lastri mengunjungiku, sekali saja untuk sekedar tahu apa dia
cukup peduli atau tidak.
***
“Belum
pulang?.”
“Belum,
masih di Supplier.”
“Sampai
jam brapa?, Ini sudah jam sembilan lho Las.”
“Nanti,
tengah malam mungkin sampai kost.”
“Oh.”
“Ya,
sudah ya.”
Lastri
menutup telepon, dia belum pulang dari kerja sampai selarut ini.. Kasihan, tapi
itu maunya. Kalau tidak begitu standar upah di Yogyakarta kecil, aku lebih
kasihan. Tapi sibuknya Lastri juga yang membuatku malas bicara hal-hal penting
di telepon. Dia sudah lelah kalau sampai kostnya. Bicara sedikit saja tidak
cocok dia bisa marah-marah.
Tidak
sekalipun terpikir untuk bertingkah puritan ala laki-laki padang pasir. Sungguh
aku ingin berpikiran terbuka, memberi kesempatan Lastri seluas-luas. Sudah
berkali-kali aku melihat betapa tersiksanya wanita-wanita yang suaminya serasa
naik onta. Aku tidak ingin jadi seperti itu, dan lagi Lastri belum jadi istriku.
Apa terlalu manja meminta dia datang sekali saja. Jadi teringat pembicaraan
kemarin dulu sekali, waktu pertama kali aku memintanya datang.
“Kamu
terlalu santai, jadi berpikiran macam-macam.”
“Maksudmu
apa Las?”
“Waktumu
terlalu banyak.”
“Bukan
masalah kan?.”
“Ya
bukan”
“Terus?”
“Sudahlah
Dit, aku capek. Mau tidur, besok
masuk pagi.”
Tidak
pernah ada jawaban mengapa Lastri selalu menolak. Sesuatu yang jelas apa yang
menjadi masalah. Sampai kukira dia juga tidak tahu apa alasannya sendiri yang
pasti. Kadang dia bilang tidak punya uang, padahal aku yang bayar. Lain waktu
dia bilang ada lembur kerja, padahal jalan-jalan dengan teman-temannya. Kalau
kata Herman, dia tidak mau ya sudah. Tapi kalau ku ikuti Herman, tidak lain itu
adalah kata berpisah. Aku tidak mau.
(Bersambung)