Negeri Terumbu Biru - Bagian Kelima
Negeri Terumbu Biru
Oleh: Meob
Bagian Kelima
***
Tentang waktu yang terbuang dan hari yang sendiri
ragu meluncur tajam pada hati yang diuji
Besi harus ditempa diatas api
demikian jati harus berdiri
***
Aku tak pernah mengira perempuan itu akan datang, sungguh.
Setelah sekian lembar kata-kata yang tak pantas kuucapkan padanya di telepon.
Dia ada disana, sungguh-sungguh disana bukan sebuah bayang yang biasanya. Dari
tangga masuk terlihat rambutnya yang kuhapal betul, rupanya dia juga memakai
jaket baru yang kemarin dulu dibelinya. Aku tidak dapat memastikan apakah ia
masih marah dan datang untuk melampiaskan semuanya, atau tidak.
Aku menyesal, tapi apa yang harus kukatakan?, Permintaan maaf
dan penyesalan?. Atau sebuah formalitas di awal semacam “ Hai, apa kabar? Kau
kelihatan cantik hari ini.”?, begitu?.
Aku bingung, mungkin seperti inilah perasaan saat kelak
dihadapan sang hakim kiamat: Kesalahan-kesalah kita disebut satu persatu, dan
sang terdakwa hanya bisa memandangi dengan cemas loyang timbangan dosanya yang
makin lama makin mendekat ke tanah. Putusan apa yang akan ia berikan: Surga
atau Neraka?. Keringat dingin mengucur deras, sebab satu-satunya kenyataan
adalah timbangan itu kini berat sebelah.
“Aku menyesal sayang” aku ingin mengatakan itu, tapi bibirku
malah tersenyum.
Betapa sempurnanya kebodohan ini, darah dari kepalaku pergi
berpindah tempat entah kemana. Sang terdakwa berkeringat dingin makin hebat.
Mungkin ini saat yang lebih tepat untuk orkestra horor mengisi ruang kosong
seperti dalam film-film yang diputar malam jumat. Apa yang akan terjadi?,
penonton menunggu-nunggu suara teriakan pemeran utamanya. Tapi tidak ada
teriakan terdengar, tak ada suara. Hanya ada sorot mata hakim memandangi sang
terdakwa.
Ah tidak, aku seharusnya sadar bahwa perempuan itu pasti
datang. Karena memang demikianlah alasanku mencintai dan mempertahankan
hubunganku dengannya bertahun-tahun meski terpisah jarak. Hakim kiamat itu
tidak akan membuatku menunggu, ia akan membuatku mengaku.
“Apa yang kau lihat?” tanya nyinyir sang hakim pada terdakwa
sambil menunjuk pada timbangan dosa, ya seperti itulah sorot matamu saat kau
melihatku datang padamu.
“Sebuah timbangan” jawab sang terdakwa, terlihat wajah kecewa
sang hakim mendengar ini.
Sang hakim mungkin berharap sang terdakwa akan melihat pada
dosa-dosanya dan berlinang air mata menceracap pengakuan dan air mata. Tapi aku
tidak sepintar itu, padahal aku sudah menyadarinya tadi.
Tatapan perempuan itu selalu mampu membuatku seperti berada
diruang kosong, melenyapkan segala pijakan dan sandaranku. Sayangnya dia hanya
memandangiku saja, lebih tepatnya melirik dibalik kacamata berbingkai tebalnya.
Dia membuatku sadar diruang kosong itu aku tak bisa kemana-mana lagi, terdakwa
yang tak bisa lari dari kenyataan timbangan dosanya benar-benar miring.
Apa yang harus kukatakan?, Permintaan maaf dan penyesalan?,
Sebuah formalitas di awal semacam “ Hai, apa kabar? Kau kelihatan cantik hari
ini.”?, Begitu?. Aku bingung, aku bingung memikirkan sesuatu yang sama lalu
linglung lalu memikirkannya lagi namun tetap saja bingung.
Tapi perempuan itu kemudian hanya melipat tangannya bersilang
di dadanya. Ia masih melanjutkan tatapannya, masih tanpa suara, ekspresinya pun
sama. Setelah aku duduk di sebelahnya, barulah ia menarik nafas panjang dan
angkat bicara.
“Aku kira kamu tak akan datang.”
“Bagaimana mungkin aku tidak datang Las, lagipula aku
menginap disini.”
“Bisa saja kamu beralasan sibuk atau entah apa.”
“Kamu mau aku begitu?.”
“Tidak.”
“Aku tadi juga berpikir, masih juga kau datang.”
“Ini terlalu lama Radit.”
“Aku terlalu rindu.”
Lastri tersenyum mendengarku. Ia berdiri menarik tanganku
untuk keluar dari lobby hotel di jalan Tendean ini, penangguhan putusan rupanya
terjadi. Taksi putih sudah menunggu, ia masuk duluan dan aku menyusul.
“Kamu tidak ingin mengatakan apa-apa?.”
“Kadang-kadang aku ingin mundur, tapi seperti yang pernah
kubilang ini sudah terlanjur.”
“Ya, seperti sudah terjebak ya?.”
“Siapa lagi selain kamu yang mau sama aku.”
“Pendekatan juga butuh waktu dan biaya, malas.”
Kami tertawa di jok belakang taksi, kugenggam tangannya yang
kecil dan ia bersandar dipundakku. satu bulan? Dua bulan lalu?, Aku lupa kapan persisnya
terakhir kali kupegang tangannya. Mungkin dipasir pantai Tanjung Bira. Ah
tidak, dia yang menggenggam tanganku.
“Jangan diulangi lagi.”
“Ya, kamu juga”
Perempuan itu memukul pundakku dua kali, lalu kembali
bersandar. Keputusan sudah dibuat, sang terdakwa diampuni.
Bersambung)