Negeri Terumbu Biru - Bagian Keenam
Negeri Terumbu Biru
Oleh: Meob
Bagiaan Keenam
***
Semarang dan kehilangan
kebenaran yang dikotil diantara koktil
Diatas meja bundar sebuah pesta
kartu-kartu terbuka, dan kini aku yang bicara:
Sekarang kau lihatkan?
***
Semarang, kota yang asing bagi kami berdua. Seingatku beberapa
tahun lalu Lastri pernah kesini untuk mengikuti test masuk karyawan sebuah bank
negara, tapi kemudian gagal. Aku ingat karena pada saat itulah pertama kali aku
bicara dengan ibunya meski lewat telepon. Saat itu aku takut tapi penasaran, bagaimana
suara perempuan yang melahirkan perempuanku. Apakah mirip? Apakah ia
menyambutku dengan ramah? Basa-basi atau bagaimana? Rasanya bercampur. Walau
pada akhirnya seperti basa-basi yang ramah, aku senang sekali. Mungkin perasaan
gentlemen atau semacamnya yang sulit
kukatakan.
Dari dalam taksi kulihat bangunan
Lawang Sewu yang ternyata tidak
sebesar yang kubayangkan, lalu menyusuri Simpang Lima yang ternyata juga biasa
saja. Agak macet, sepertinya ada hajatan dari kepolisian karena kulihat
tenda-tenda bergaris biru putih dan banyaknya penjagaan polisi di kawasan ini.
Belakangan setelah melewati beberapa gedung pemerintahan dan bank-bank besar,
aku sadar bahwa kawasan ini adalah kawasan administratif bukan downtown dari Semarang.
Kami sampai di hotel tempat dia
menginap bersama rombongan kantornya hanya beberapa menit kemudian, rupanya tidak
jauh dari Simpang Lima. Kupikir nanti kami bisa berjalan kaki kesana berdua,
tapi dia menolak karena kemungkinan besar hujan dan lagipula nanti sebentar
lagi kami akan pergi ke pesta pernikahan Nana dan Ruben.
Oh, tiba-tiba perutku agak mulas
mendengar rencana ini (yang sebenarnya sudah ia katakan berulang kali
sebelumnya. Berulang-ulang-ulang-ulang kali bahkan).
Pasalnya inilah kali pertamanya
aku akan dikenalkan kepada teman-teman kantornya. Entah bagaimana aku harus
bersikap nanti, yang kurasakan sekarang adalah serupa perasaan seekor Siamang
Hitam di kebun binatang. Apa teman-temannya nanti akan melempariku dengan
kacang? Aku harap tidak.
***
Di kursi lobby hotel kecil ini aku menunggu dengan tidak nyaman.
Kulihat beberapa orang keluar-masuk dan naik-turun tangga. Mungkin ini
teman-temannya, sialan penampilan yang laki-laki bagus. Tinggi, kulitnya bersih
dan cerah, rambutnya pun model terbaru. Saat ini yang aku tidak ingin melihat
cermin, bisa-bisa nanti aku tak sanggup berdiri.
Kemudian ada yang datang membawa
mobil, sedang sepeda motorpun aku tak punya. Dari Makassar aku hanya sanggup
sampai Surabaya karena tiket langsung Semarang hampir dua kali. Menuju Semarangpun
aku hanya menumpang bus ekonomi legendaris Sumber Kencono yang larinya secepat
Ferari.
Tapi kupikir buat apa aku malu,
toh aku begini adanya. Tetapi rupanya berpikir demikian tidak juga membuatku
takut dilempari kacang.
Lalu kulihat lelaki berwajah
keturunan mengantar seorang perempuan ke hotel ini, sepertinya sepasang kekasih
juga. Perempuan itu naik ke atas meninggalkan sang pacar dibawah. Dia melihat
ke arahku, agak kaku duduk di sampingku.
“Dari Triakarya juga?”
“Bukan, pacar saya yang dari Triakarya”
“Oh sama, sama-sama
menunggu..hahaha”
“Iya, kenalkan saya Radit”
“Oh, Kristian..pacarnya Mas yang
mana?”
Apa, “Mas?”. Baru saja aku serasa
Siamang Hitam yang takut dilempari kacang, sekarang sudah ada yang membawakanku
pisang. Aku mencoba berpikir kalau “Mas” adalah sopan-santun, tapi tak bisa
kuhindari kenyataan bahwa wajahku memang lebih nampak dari usia sebenarnya.
Terlalu banyak terpapar matahari, demikian alasan untuk menghibur hatiku
sendiri.
“Lastri.”
“Oh ya pacar saya sering cerita,
Ratri namanya.”
“Lastri sering menyebut nama itu.”
“Sering di curhati juga soal beratnya
kerjaan mereka disana?.”
“Iya, masnya juga?.”
Aku tidak tahu apa yang harus
kugunakan untuk membalas. Mungkin lebih tepatnya “koh”atau malahan “om”, dan
bukan “mas”. Tapi aku masih berpikir soal sopan-santun, bukan wajah tua.
.
“Iya, sampai jam sembilan malam
pulang. Kasihan, tapi saya juga sama sih.”
“Masnya kerja dimana?.”
“Smartfren.”
“Oh.”
“Kalo masnya?.”
Apa harus keceritakan bahwa
pekerjaanku sehari-hari memancing ikan mujair, dan berjam-jam nonton DVD?. Aku sudah mulai kekenyangan dengan
tambahan pisang yang ia bawa sampai berpikir jangan-jangan dilempari kacang itu
lebih enak.
“Saya di Sulawesi Selatan.”
“Kerja apa disana mas? Batu
bara?.”
Baiklah sekarang aku benar-benar
kepingin dilempari kacang. Kupikir mengalihkan “apa” pada “dimana” akan
melarikan sedikit pembicaraan pisang ini, tapi perasaan bahwa aku benar-benar
Siamang Hitam makin kuat.
“Bukan, Galian C saja mas.”
“Wah gajinya besar itu biasanya,
sampai niat jauh-jauh keluar pulau berpisah jarak dengan kekasih.”
(Siamang Hitam mulai
mengguncang-guncang kandang)
“Berarti masnya lulusan Geologi
ya?”
“Hahaha”
Huruf “G” dan “T” itu pada
kenyataanya memiliki jarak 12 alphabet, angka yang sama antara natal tahun
kemarin dan natal tahun depannya dalam hitungan bulan. Dekat?, Tidak!. Jauh dan
berbeda sekali: Yang satu bicara tentang Bumi dan yang satu bicara tentang
Tuhan, yang satu punya rumus “1+1=2” sedangkan satunya “1+1= Apa itu angka 1?”.
Sore ini aku seharusnya bahagia
mendapat hadiah setandan pisang lengkap dengan pohon dan kebunnya, padahal
semula aku kira hanya akan dilempari kacang.
***
Di meja makan bulat besar ini aku
kembali duduk bersama Kristian dan Ratri. Sedang Lastri setia menggelayut di
lenganku sedari tadi. Aku tidak tahu tepatnya: apakah ini gelayut manja atau
seperti majikan yang mengajak anjingnya jalan-jalan sore hari. Kupikir aku
terlalu grogi dan menjadi terlalu curiga. Seperti Kristian tadi, dia sama
sekali tidak salah membawakanku pisang. Bagaimanapun juga dia hanya punya
pisang, barangkali diapun takut dilempari kacang. Tetapi aku curiga dengan pasangan-pasangan disekeliling kami yang
sedari tadi memandangi. Apa yang ditangan mereka? Apa kacang?.
“Ratri itu asasistenku, jadi
percaya diri saja.”
Lastri tiba-tiba berbisik ditelingaku,
aku tidak terlalu mendengar. Sesaat rasanya nikmat wangi nafasnya ditelingaku
sebelum sebuah cubitan mendarat di pinggang dan Lastri mengulang kata-katanya.
“Sekertarisku, percaya diri saja.”
Tiba-tiba seorang pria yang lebih
tua dariku menyodorkan tanggannya dari seberang meja. Dia baru saja datang
bersama istrinya.
“Perkenalkan saya Wawan.”
“Radit, oh assistennya Lastri ya?”
Orang-orang tiba-tiba terdiam,
aku tidak tahu apa yang terjadi. Mereka seperti terkejut, wajah si Wawan juga
seperti terkejut. Apa senyumku ini salah? atau mereka ingin aku berteriak dan
bergelantungan?.
“Maaf, pak Wawan ini manager
bagian project Dit. Assistenku itu Lastri, kamu ini tidak memperhatikan.”
Lastri memotong keheningan itu,
lalu semua tersenyum geli berbalik aku yang terkejut malu.
“Maaf Pak Wawan, saya bingung
dikenalkan begitu banyak orang. Jadi serba keliru mengenali.”
“Tidak apa-apa mas Radit, kita
juga baru bertemu.”
Baiklah, semua kembali membaik.
Kecuali perempuan disampingku, hawa dinginnya mulai terasa di kulitku.
***
Rupanya begini acara pernikahan
di kota besar, seperti sebuah show. Pembawa acaranya pandai membawa suasana,
tadi ada penari, dan acara-acara tuang minuman. Berbeda sekali dengan kondangan acara pernikahan di site tambang. Pakai baju kerja disela
istirahat makan siang pun jadi.
Aku masih terpana dengan musik
rakyat kecil bernama ca doleng-doleng di Sulawesi Selatan. Berlangsung dari malam
hingga nyaris dini hari. Dangdut remix,
atau entah apa itu istilahnya. Tetapi sawerannya
gila. Kadang diselipkan di bra, bahkan diselipkan di celana dalam sang biduan.
Banyak yang bilang biduan kalau mabuk diberi minum, dia akan berdangdut ria
diatas panggung tanpa busana. Tetapi aku tidak pernah lihat.
Di acara pernikahan ini sama, ada
saweran. Ah buka, tetapi amplop tanda terimakasih dari tuan rumah pemilik acara
pada tiap pengisi. Baru saja aku terkagum melihat seorang lelaki keturunan
memainkan alat musik gesek tradisional china. Aku lupa namanya, tetapi suaranya
meningatkanku pada soundtrack
film-film kungfu.
“Mas Radit sepertinya menikmati
sekali acara.”
Tiba-tiba Wawan memecah
lamunanku. Mungkin ia ingin membuka pembicaraan setelah momen memalukanku tadi.
“Iya, saya baru pertama melihat
alat musik gesek tadi. Bagus sekali, ahli yang main.”
“Suka musik?.”
“Ya Pak, bapak juga?.”
“Saya suka, tapi terlalu sibuk di
Triakarya.”
Aku tidak paham kemana arah
pembicaraan ini. Aku pun tidak berani menatap Lastri, takut dikira meminta
bantuan. Hal begini harus dihadapi lelaki, kurasa begitu.
“Waktu saya luang sekali pak.
Jadi sering mendengar musik untuk mengisi waktu.”
“Oh, tidak banyak meeting begitu?.”
“Kalau saya meeting-meeting melulu,
kapan lantai hotel jadi pak.”
“Jadi supply hotel juga?.”
“Iya pak.”
“Kemana saja.”
“Kemana saja sejauh owner sanggup beli pak.”
“Mahal?”
“Oh tidak sebenarnya, hanya
marmer Indonesia sering diaku sebagai marmer impor. Begitu kan mental kita, tergila-gila
dengan apapun yang dari luar. Tetapi begitu bodoh ditipu, padahal barang
sendiri.”
“Kalau ekspor kemana, China?”
“Ya, termasuk Korea dan Jepang.”
“China barang-barangnya jelek.”
“Tapi mereka berhasil membuat
banyak tiruan yang nyaris seperti aslinya. Ini seperti jam tangan saya ini,
beratnya dan mesin-mesinnya nyaris sama dengan yang asli. Sulit dibedakan.”
Kulepas jam tanganku dan
kuberikan pada Wawan. Dia menimbang-nimbang jam tangan itu ditangannya.
“Sulitkan pak bila sekilas mata
dipakai diacara pernikahan semacam ini.”
“Iya, tetapi kenapa dibeli kalau
palsu?.”
“Oleh-oleh kunjungan kerja teman
ke pabrik pengolahan disana.”
Wawan kembali menyerahkan jamku
tadi. Kulihat dia kemudian berusaha menyembunyikan tanggannya di bawah meja.
Lastri juga melihat, dan pasti mendengar dengan amat sangat pembicaraan ini.
Acara selesai, kami bergantian
berdiri menuju pintu keluar. Kugenggam tangan Lastri, lalu kubisikkan
ketelinganya,
“Apa hadiah untukku?”
Dia cuma menggelengkan kepalanya
dan tersenyum. Kurasa kapan-kapan aku siap dilempari kacang.
(Bersambung)