Minggu, 07 Februari 2016

Negeri Terumbu Biru - Bagian Keempat

Negeri Terumbu Biru

Oleh: Meob
Bagian Keempat

***
Satu hal yang menyatukan Cinta dan Kematian
Niscaya
Begitu juga kita

***

Ada jejak panggilan tak terjawab di ponsel, nomor kantor. Tiba-tiba perasaan bersalah menyesak dada. Pukul delapan dua puluh pagi disini, berarti pukul tujuh dua puluh di Yogyakarta. Radit sedang dikamar mandi, aku bimbang apa harus menelepon balik atau tidak. Kurasa semua pekerjaan sudah kuselesaikan, pesan-pesan sudah kutitipkan ke Ratri assistenku.

Tiba-tiba pemberitahuan email masuk berbunyi. Tiket elektronik muncul, kubaca kode bandara penerbangan: UPG – DPS, 13:30 WITA. Bali? Ada apa ini.

“Halo Ratri.”

“Pagi Bu Lastri, tadi saya telepon tidak diangkat.”

“Ada apa? kok Bali lagi?.”

“Baru saja Pak Wawan meminta saya membelikan tiket Bu Lastri untuk ke Bali siang ini. Tadi saya menelepon dulu juga hendak bertanya ada apa, Pak Wawan hanya bilang begitu dan langsung pergi soalnya Bu.”

“Coba saya telepon Pak Wawan.”

“Baik Bu, nanti callback ya Bu supaya saya siapkan dokumen yang diperlukan”

Aku tidak menjawab Ratri, kututup sambungan dan segera mencari nama Wawan di kontak. Aku tidak terlalu suka Wawan, dia kerap memberi perintah-perintah tanpa kejelasan seperti ini. Apa maksudnya aku di minta ke Bali.

“Pagi Pak Wawan, ada apa kok Bali?.”

“Sumitama komplain.”

“Lho kan Sumitama dipegang Ridwan.”

“Tapi Energindo dipegang kamu Lastri.”

“Ya untuk jaringan, tapi bukan pembangkit cadangan.”

“Ridwan tidak ada ditempat.”

“Jangan juga dilempar ke saya dong Pak. Tahun lalu kan sudah saya lepas ke Ridwan soal Bali.”

“Saya tidak punya pilihan Las. Saya percaya kamu bisa handle Sumitama. Sejak awal saya kurang percaya Ridwan.”

“Tapi Pak Wawan,”

“Tadi pagi buta Komisaris langsung menelepon saya”

Wawan memotong penolakanku yang belum usai. Direktur Sumitama adalah adik kandung Komisaris perusahaanku, Wawan tahu kami tak bisa menolak.

“Apa harus begini Pak?.”

“Maaf Lastri, tidak ada orang lain. Tadi semula saya yang mau berangkat, tapi hari ini saya harus ke Timahraya Bangka. Tolong ya Lastri.”

Aku tak menjawab Wawan, dia juga terjepit. Tapi kami paham, bahwa ini berarti jawaban “ya” tapi terpaksa.

“Ratri, bisa emailkan semua soal Energindo yang di pegang Ridwan.”

“Baik bu, tetapi kan kita tidak pegang pembangkit?.”

“Lakukan saja, minta dari assistennya Ridwan.”

“Baik Bu.”

Baru saja kututup telepon, Radit keluar dari kamar mandi. Kulihat wajahnya agak kecut, sepertinya dia mendengar sedikit suaraku menelepon tadi.

“Jam brapa?.”

“tiga belas tiga puluh, masih sempat?.”

“Mandi sana.”

Radit berjalan ke teras kamar menjerang handuk, tidak memandangku sama sekali.

“Sana cepat Las.”

“Jangan marah.”

“Tidak. Yuk cepat, nanti beli roti saja di jalan.”

Segera aku bangkit dari ranjang ke kamar mandi. Sudah cukup berbicara, aku tahu Radit kecewa tapi berusaha tidak terlihat begitu.

***

Hampir pukul sepuluh, kami sudah keluar dari Bantaeng. Radit tidak berbicara sama sekali sejak turun dari bukit-bukit Bulukumba. Aku tahu Radit sedang berusaha berkonsentrasi mengendalikan mobil yang melaju lebih kencang dari kemarin sewaktu datang kemari. Dia tidak pandai menutupi pikirannya yang kacau, ekspresinya terlihat sekali. Aku ingin meminta untuk bersikap biasa agar aku tidak terlalu merasa bersalah, tapi kurasa itu hanya akan menyiksanya.

“Dit, minum.”

“Tidak usah.”

“Ini, minumlah Dit.”

“Tidak usah!, kubilang tidak usah ya tidak usah.”

“Ya.”

Dia marah. Kalau sudah begini aku harus bisa menahan diri menunggu, nanti juga Radit bicara sendiri.

“Maaf Las, mana airnya. Tolong buka tutupnya.”

Kusuapkan botol minuman ke bibir Radit, dia minum sedikit. Kukecup pipinya kemudian, ekspresinya seperti bingung setelah itu.

“Nanti di Gowa kita belok, ambil pintas biar tidak kena macet lewat kota.”

“Aku ikut Dit.”

“Kapan acara di Surabaya? Nanti kita ketemu lagi disana.”

“Kan sudah kubilang..”

“Las, yang lembutlah.”

“Dua bulan lagi, November.”

“Oh”

“Tapi aku belum tahu, Nana bilang antara Surabaya di tempat dia atau Semarang di tempat Ruben.”

“Oh, ya nanti.”

***

Lewat pukul sebelas, gerbang batas Takalar sudah dilewati.

“Satu setengah jam lagi.”

“Berdoa semoga sampai Las”

***

Pukul tiga belas kurang, kulihat Papan petunjuk hijau bertuliskan Daya terlihat. Sudah dekat, aku ingat kemarin sewaktu keluar dari bandara. Jalan tol yang melewati kawasan industri Daya menuju kota Makassar.

Radit memandangku, berusaha tersenyum. Wajahnya jadi lucu,

“Maaf dit.”

“Tidak apa-apa, cukup senang aku sudah melihatmu dua malam.”

Aku tidak tahu bagaimana Radit bisa sedemikian tahan menghadapiku. Entah sudah amuk apa yang kulampiaskan jika kejadian ini menimpa Radit bila sedang mengunjungiku di Yogyakarta.

“Dit, tidak usah mengatar. Biar aku lari kedalam, tasku kecil kurasa dibagasi kabin saja cukup.”

“Tidak apa-apa?, Aku ingin mengantar.”

“Jangan buat ini makin berat Dit, anggap seperti biasanya. Toh, kita akan ketemu lagi dua bulan depan.”
Radit tak menjawab, ia hanya mengusap kepalaku dengan tangan kirinya. Tak terasa mataku mendung, kurasa sedikit gerimis.

“Dadah Dit.”

“Hati-hati. Kutunggu di parkir depan sampai kamu sudah dipesawat. Telepon ya?.”

Aku berlari secepatnya ke meja boarding. Pukul tiga belas lebih sepuluh, belum sempat ke meja boarding seorang petugas maskapai mendekatiku.

“Bali bu?.”

“Ya.”

“Langsung saja ke gate 3.”

Rupanya pesawat sudah menunggu, segera aku berlari menuju lantai dua. Bandara Sultan Hasanudin lebih besar dari Adi Sucipto, seingatku hanya lurus setelah eskalator. Sayup kudengar suara pengeras suara mengabarkan panggilan terakhir untuk penerbangan ke Bali.

“Ah, dapat.”

Tiketku diperiksa petugas maskapai di mulut garbarata,

“Nomor kursi tanya di pramugari ya Bu. Sudah terlambat.”

“Baik, maaf.”

Di kursi nomor tiga akhirnya aku duduk: Kursi kelas bisnis, padahal tiketku ekonomi. Kejadian biasa kalau terlambat boarding dan langsung dilarikan ke pesawat begini. Kuambil ponselku dari tas sebelum kuletakan di bagasi atas kepala. Sial, ponselku kehabisan daya.



(Bersambung)

Museum Masa Depan yang Tak Pernah Ada

( setelah Baudrillard dan sebelum lupa ) Anak-anak berjalan ke dalam hutan yang disusun dari piksel dan janji manis algoritma. Pohon-pohon...