Negeri Terumbu Biru
Oleh: Meob
Bagian Keempat
***
Satu hal yang menyatukan Cinta dan Kematian
Niscaya
Begitu juga kita
***
Ada jejak panggilan tak terjawab
di ponsel, nomor kantor. Tiba-tiba perasaan bersalah menyesak dada. Pukul
delapan dua puluh pagi disini, berarti pukul tujuh dua puluh di Yogyakarta.
Radit sedang dikamar mandi, aku bimbang apa harus menelepon balik atau tidak.
Kurasa semua pekerjaan sudah kuselesaikan, pesan-pesan sudah kutitipkan ke
Ratri assistenku.
Tiba-tiba pemberitahuan email masuk berbunyi. Tiket elektronik
muncul, kubaca kode bandara penerbangan: UPG – DPS, 13:30 WITA. Bali? Ada apa
ini.
“Halo Ratri.”
“Pagi Bu Lastri, tadi saya
telepon tidak diangkat.”
“Ada apa? kok Bali lagi?.”
“Baru saja Pak Wawan meminta saya
membelikan tiket Bu Lastri untuk ke Bali siang ini. Tadi saya menelepon dulu
juga hendak bertanya ada apa, Pak Wawan hanya bilang begitu dan langsung pergi
soalnya Bu.”
“Coba saya telepon Pak Wawan.”
“Baik Bu, nanti callback ya Bu supaya saya siapkan
dokumen yang diperlukan”
Aku tidak menjawab Ratri, kututup
sambungan dan segera mencari nama Wawan di kontak. Aku tidak terlalu suka Wawan,
dia kerap memberi perintah-perintah tanpa kejelasan seperti ini. Apa maksudnya
aku di minta ke Bali.
“Pagi Pak Wawan, ada apa kok
Bali?.”
“Sumitama komplain.”
“Lho kan Sumitama dipegang Ridwan.”
“Tapi Energindo dipegang kamu
Lastri.”
“Ya untuk jaringan, tapi bukan
pembangkit cadangan.”
“Ridwan tidak ada ditempat.”
“Jangan juga dilempar ke saya
dong Pak. Tahun lalu kan sudah saya lepas ke Ridwan soal Bali.”
“Saya tidak punya pilihan Las.
Saya percaya kamu bisa handle Sumitama.
Sejak awal saya kurang percaya Ridwan.”
“Tapi Pak Wawan,”
“Tadi pagi buta Komisaris
langsung menelepon saya”
Wawan memotong penolakanku yang
belum usai. Direktur Sumitama adalah adik kandung Komisaris perusahaanku, Wawan
tahu kami tak bisa menolak.
“Apa harus begini Pak?.”
“Maaf Lastri, tidak ada orang
lain. Tadi semula saya yang mau berangkat, tapi hari ini saya harus ke
Timahraya Bangka. Tolong ya Lastri.”
Aku tak menjawab Wawan, dia juga
terjepit. Tapi kami paham, bahwa ini berarti jawaban “ya” tapi terpaksa.
“Ratri, bisa emailkan semua soal
Energindo yang di pegang Ridwan.”
“Baik bu, tetapi kan kita tidak
pegang pembangkit?.”
“Lakukan saja, minta dari assistennya
Ridwan.”
“Baik Bu.”
Baru saja kututup telepon, Radit
keluar dari kamar mandi. Kulihat wajahnya agak kecut, sepertinya dia mendengar
sedikit suaraku menelepon tadi.
“Jam brapa?.”
“tiga belas tiga puluh, masih
sempat?.”
“Mandi sana.”
Radit berjalan ke teras kamar
menjerang handuk, tidak memandangku sama sekali.
“Sana cepat Las.”
“Jangan marah.”
“Tidak. Yuk cepat, nanti beli
roti saja di jalan.”
Segera aku bangkit dari ranjang
ke kamar mandi. Sudah cukup berbicara, aku tahu Radit kecewa tapi berusaha
tidak terlihat begitu.
***
Hampir pukul sepuluh, kami sudah
keluar dari Bantaeng. Radit tidak berbicara sama sekali sejak turun dari
bukit-bukit Bulukumba. Aku tahu Radit sedang berusaha berkonsentrasi
mengendalikan mobil yang melaju lebih kencang dari kemarin sewaktu datang
kemari. Dia tidak pandai menutupi pikirannya yang kacau, ekspresinya terlihat
sekali. Aku ingin meminta untuk bersikap biasa agar aku tidak terlalu merasa
bersalah, tapi kurasa itu hanya akan menyiksanya.
“Dit, minum.”
“Tidak usah.”
“Ini, minumlah Dit.”
“Tidak usah!, kubilang tidak usah
ya tidak usah.”
“Ya.”
Dia marah. Kalau sudah begini aku
harus bisa menahan diri menunggu, nanti juga Radit bicara sendiri.
“Maaf Las, mana airnya. Tolong
buka tutupnya.”
Kusuapkan botol minuman ke bibir
Radit, dia minum sedikit. Kukecup pipinya kemudian, ekspresinya seperti bingung
setelah itu.
“Nanti di Gowa kita belok, ambil
pintas biar tidak kena macet lewat kota.”
“Aku ikut Dit.”
“Kapan acara di Surabaya? Nanti kita
ketemu lagi disana.”
“Kan sudah kubilang..”
“Las, yang lembutlah.”
“Dua bulan lagi, November.”
“Oh”
“Tapi aku belum tahu, Nana bilang
antara Surabaya di tempat dia atau Semarang di tempat Ruben.”
“Oh, ya nanti.”
***
Lewat pukul sebelas, gerbang
batas Takalar sudah dilewati.
“Satu setengah jam lagi.”
“Berdoa semoga sampai Las”
***
Pukul tiga belas kurang, kulihat
Papan petunjuk hijau bertuliskan Daya terlihat. Sudah dekat, aku ingat kemarin
sewaktu keluar dari bandara. Jalan tol yang melewati kawasan industri Daya
menuju kota Makassar.
Radit memandangku, berusaha
tersenyum. Wajahnya jadi lucu,
“Maaf dit.”
“Tidak apa-apa, cukup senang aku
sudah melihatmu dua malam.”
Aku tidak tahu bagaimana Radit
bisa sedemikian tahan menghadapiku. Entah sudah amuk apa yang kulampiaskan jika
kejadian ini menimpa Radit bila sedang mengunjungiku di Yogyakarta.
“Dit, tidak usah mengatar. Biar
aku lari kedalam, tasku kecil kurasa dibagasi kabin saja cukup.”
“Tidak apa-apa?, Aku ingin
mengantar.”
“Jangan buat ini makin berat Dit,
anggap seperti biasanya. Toh, kita akan ketemu lagi dua bulan depan.”
Radit tak menjawab, ia hanya
mengusap kepalaku dengan tangan kirinya. Tak terasa mataku mendung, kurasa
sedikit gerimis.
“Dadah Dit.”
“Hati-hati. Kutunggu di parkir
depan sampai kamu sudah dipesawat. Telepon ya?.”
Aku berlari secepatnya ke meja boarding. Pukul tiga belas lebih
sepuluh, belum sempat ke meja boarding
seorang petugas maskapai mendekatiku.
“Bali bu?.”
“Ya.”
“Langsung saja ke gate 3.”
Rupanya pesawat sudah menunggu,
segera aku berlari menuju lantai dua. Bandara Sultan Hasanudin lebih besar dari
Adi Sucipto, seingatku hanya lurus setelah eskalator.
Sayup kudengar suara pengeras suara mengabarkan panggilan terakhir untuk
penerbangan ke Bali.
“Ah, dapat.”
Tiketku diperiksa petugas
maskapai di mulut garbarata,
“Nomor kursi tanya di pramugari
ya Bu. Sudah terlambat.”
“Baik, maaf.”
Di kursi nomor tiga akhirnya aku
duduk: Kursi kelas bisnis, padahal tiketku ekonomi. Kejadian biasa kalau
terlambat boarding dan langsung
dilarikan ke pesawat begini. Kuambil ponselku dari tas sebelum kuletakan di
bagasi atas kepala. Sial, ponselku kehabisan daya.
(Bersambung)
