Minggu, 07 Februari 2016

Negeri Terumbu Biru - Bagian Ketiga

Negeri Terumbu Biru
Oleh: Meob
Bagian Ketiga

***
Anak-anak manusia: Anak-anak yang terkalahkan
Diciptakan telanjang untuk berpakaian
Untuk mencipta parang dan pasak
Bertarung melawan hari dan semak duri
Sampai matahari meminta angin memisahkan: Diantara gunung, diantara lautan
Sampai hati memenangkan pagi
Dan sirnalah segala sepi

***



“Nanti aku mati.”

“Tidak, ini sedang pasang.”

“Darimana kau tahu?.”

“Lihat disana, pasirnya tidak terlihat seperti sewaktu kita datang.” Perempuan itu memandang ke arah yang di tunjuk kekasihnya. Ia masih ragu, tapi terlihat betapa ia berupaya untuk percaya.

“Bagaimana kalau kamu duluan?.”

“Tidak masalah, tapi nanti siapa yang mengajarimu melompat?.”

“Aku bisa melihat.”

“Kamu tidak ingin melompat bersama-sama?”. Perempuan itu menggeleng,  ia tidak melihat raut kecut kekasihnya melihat penolakan itu .

“Lihat, rasakan angin berhembus ke barat. Ia akan meniupmu jauh dari tonjolan karang itu.”

“Kamu bohong, bagaimana mungkin kita tertiup angin.”

“Bukankah kita sejauh ini karena tertiup angin?”. Sepasang kekasih itu tertawa bersama kemudian. Apa pernah terpikirkan selama ini berjalan sendiri-sendiri, membentang jarak bergaris mata angin terpisah. Gelak Radit dan Lastri adalah tawa yang menerima. Mereka telah menelan waktu dan rencana yang tertiup angin empat tahun terakhir. 

“Perhatikan titik ini, disini kita menjejak lompat.”

“Disini?.”

“Ya, harus tepat disini.”

“Baik, ambil ancang-ancang dahulu kan.”

“Ya, sini. Dari sini saja, lalu lari dan melompat dari titik itu.”

“Coba.”

“Lihat aku.” Radit berlari kencang, lalu melompat dari bibir tebing karang. Menghilang dari mata kekasihnya, terbatas karang menjorok di bibir. Terdengar suara debur air di dasar tebing,

“Radit!.”

“Wuhuuuu, seru!, Ayo Lastri, lompat kemari!.”

Lastri masih sedikit ragu, matanya mengukur-ukur langkah dan tebing karang. Ia mengambil ancang-ancang, berlari lalu melompat. Sejenak nafasnya seperti lenyap, jatuh bebas di udara tanpa pijakan dan pegangan. Lalu, dunia yang lain menyambutnya. Segalanya berwarna biru berdasar putih, sama sekali baru. Dia tertegun, menggapai-gapai mencari pegangan. Lengannya tiba-tiba ditarik oleh sesuatu ke atas,

“Kamu tidak apa-apa?”

“Tidak apa-apa Dit, aku kaget.”

“Kamu senang?.”

“Ayo coba lagi.” Sepasang anak manusia itu berenang ke tepian, naik kembali memanjat tebing karang yang menjorok ke pantai. Entah berapa kali, tetapi sepanjang pagi mereka belajar untuk melompat.

“Las.”

“Apa?.”

“Ayo terakhir, aku lapar.”

“Sama-sama saja.” Radit tersenyum mendengar ajakan Lastri. Akhirnya kekasihnya mau melompat bersama-sama. Lebih dari itu, Lastri lah yang kemudian mengajak melompat bersama.

“Pegang tanganku.”

“Ayo hitung dit.”

“Satu, dua, tiga.” Mereka berlari bersama, lalu dalam satu detik yang sama mereka melompat ke udara.

***

Sebotol Bir murah dan Segelas tinggi Jus Mangga yang entah berapa hari menginap di kulkas, tersaji manis di atas meja kayu. Sepasang kekasih itu memilih duduk di tepi teras warung sudut jalan supaya bisa memandang lautan. Warung yang sederhana tapi cantik. Meja-meja dan kursinya terbuat dari batang kayu belahan utuh yang terkelupas alami hempasan ombak.

“Tidak apa-apa disini Las?.”

“Lebih murah disini.”

“Di restoran kapal lebih nyaman.”

“Nyaman, tapi mahal.”

“Kan, aku yang bayar.”

“Jangan sombong, lagipula bukan soal uang Dit. Disana Jusnya diberi susu kental manis, aku tidak suka.”

“Kenapa Mangga?.”

“Kenapa Bir?.”

“Kamu pahit dan membuatku pusing.”

“Kamu kecut.”

“Tapi harum dan manis.”

“Tidak ya, ditasmu saja tidak ada parfum.”

“Ke pantai tidak perlu parfum kan Las.”

“Kapan-kapan berdandanlah sedikit rapi buatku Dit.”

“Tidak ada kesempatannya.”

“Bulan depan di Surabaya, kamu datang.”

“Siapa?.” Lastri tidak segera menjawab, dia memilih menyeruput Jus dengan sedotan putih keriting lebih dulu. Kekasihnya kemudian pun turut menuang Bir kedalam gelas penuh es batu, lalu mengambil sepotong kentang goreng yang asin dari piring.

“Nana.”

“Oh Nana, menikah? Siapa suaminya?.”

“Ruben.”

“Ruben yang di Kalimantan?.”

“Berani sekali, kata Nana dia di rumahkan.”

“Batu bara sedang lesu kudengar.”

“Kamu jangan begitu.”

“Apa?.”

“Disini saja dulu-lah, sepertinya lebih bagus.”

“Jadi sekarang mulai memikirkan untuk menikah? Sama siapa?.” Radit tersenyum meminum bir dinginnya, matanya melirik pada kekasihnya yang tiba-tiba membuang muka saat ia bertanya tadi. Dia itu tahu jawabannya, ia hanya menggoda Lastri.

“Kadang kupikir aku ingin mundur.”

“Terus?.”

“Tapi ini terlalu jauh.”

“Segalanya sudah terlanjur?.”

“Ya.”

“Kamu menyesal?.”

“Tidak, kamu sendiri?.”

“Sama sekali tidak.”

“Apa kamu juga?.”

“Ya.”

“Lantas kenapa?.”

“Aku mencintaimu.” Lastri tak menjawab, Raditpun tak butuh jawaban. Dia mengenal Lastri yang sulit mengatakan hal semacam itu, dan Lastripun mengenal Radit yang tak mungkin berdusta.

***

Di warung itu, lantunan Bob Marley menenggelamkan waktu yang menggantung diantara mereka. Melebur menjadi satu dalam keramaian pengunjung. Sampai tersisa didasar gelas hati yang luluh lantak, rindu takkan mengalah.

“Biarkan aku memujimu Dit.”

“Hahaha, apa itu?.”

“Kamu lelaki pertama yang membawaku berjalan diatas terigu.”

“Jangan meremehkanku, aku bisa lebih dari itu.”

“Apa lagi memangnya?.”

“Besok, kubawa kamu melihat terumbu biru.”

“Jangan berlebihan Radit, tidak ada namanya terumbu biru.”

“Hahaha, tapi memang begitu.”

“Sudah cukup begini saja, aku senang. Jangan lebih dan lebih dan lebih, aku tidak tahu harus apa.”

“Tidak apa-apa, mumpung disini.”

“Aku takut muak.”

“Maksudmu?.”

“Ayo jalan ke pantai, terus ke hotel. Aku lelah.” Radit menuruti permintaan Lastri. Berdua mereka menuruni tangga daratan tanjung ke pantai yang memanjang.

“Seperti makan bakmi ya Las?.”

“Maksudmu Dit?.”

“Ingat dulu di Jogja? Waktu kita makan bakmi di Jalan Solo.”

“Kau nambah  dua mangkok sampai mau keluar dari hidung.”

“Iya hahaha, mangkok kedua tidak akan seenak yang pertama.”

“Minggu kemarin aku makan disana.”

“Acara apa?.”

“Habis dari Galleria Mall, mampir saja.”

“Kangen aku?.”

“Maumu kangen siapa?.”

Angin mengalir pelan ke arah mereka, sejuk mendorong ombak berhempas lembut ke pasir pantai. Lastri berhenti lalu duduk di atas tonjolan batu dekat Hotel, menarik tangan Radit memintanya duduk disampingnya.

“Apa rasanya pertama di pantai ini Dit?.”

“Membingungkan.”

“Kenapa?.”

“Karena kamu.” Radit tidak lekas melanjutkan, dia memainkan pasir di tangannya. Mengambil segenggam, mengucurkannya lagi pelan-pelan.

“Tanjung Bira mengagumkan, aku kaget sekali dulu. Pasirnya unik, putih dan terutama lembut sekali. Apalagi kemudian sia Herman mengajak snorkling dekat pulau disana. Itu pertama kalinya aku snorkling sungguhan, kaget dengan isi lautnya. Aku belum pernah seumur hidup melihat terumbu karang yang utuh dan ikan-ikannya yang cantik. Pernah snorkling  di Spermonde sana dekat site tambang, tapi terumbunya rusak kena bom.” Radit memandang ke lautan yang biru seperti kristal itu, lalu menunjuk ke arah pulau.

“Disana Lastri, lautannya bening sekali. Aku sempat memancing, lumayan Giant Trevally lima kiloan. Lucu, aku bisa melihat umpan didasar laut. Melihat jelas sekali saat ikannya datang lalu memakan umpan, seperti di kolam Koi.”

“Yang di foto itu?.”

“Iya, besarkan?.”

“Tidak seperti di tivi.”

“Haha, aku kan amatiran Las. Tapi aku suka, itu pertama kalinya aku benar-benar bertarung dengan ikan. Benar-benar menghibur.”

“Lantas kenapa bingung?.”

“Kamu tidak ada disini. Rasanya aneh bila cuma jadi cerita. Apalagi, ya aku tahu kami sibuk.”

“Maaf dit.” Lastri menggenggam tangan Radit di pasir, Radit terhenti sejenak memandang apa yang dilakukan Lastri.

“Kuduga kamu juga sama Las.”

“Ya, sedikit. Makanya lebih sering kuhabiskan waktu di kantor dan teman-temanku.”

“Sepi ya?.”

“Tidak juga, bukan kesepian yang seperti itu. Seperti hanya menghabiskan waktu, bangun pagi kerja lalu gajian.”

“Wah cepat sekali gajian.”

“Ah Radit, sebulan sekali lah. Seperti pengulangan, terus menerus sampai sering bosan.”

“Kamu galak.”

“Hehehe, ya begitulah.”

“Tidak sayang.”

“Ih, ya masih lah. Cuma, suaramu saja tidak ada orangnya. Buat apa?”

“Aku perlu meminta maaf?.” Lastri menggelengkan kepalanya, memandang Radit dan tersenyum

“Makanya aku datang.”

“Karena bosan?.”

“Sedikit. Banyaknya karena kamu sudah setia selama ini mengorbankan tabungan untuk bolak-balik Makassar Yogyakarta menemuiku. Coba, kalau ditabung sudah dapat berapa itu?.”

“Cukup untuk beristri disini.” Jawab Radit lalu tertawa saat Lastri membalasnya dengan cubitan-cubitan di bahunya.

Mereka duduk disana sampai matahari hampir terbenam. Bira bukan tempat yang bagus menikmati sunset, karena bukit di belakang pantai menutupi matahari.

“Ayo ke hotel Las. Lebih baik istirahat cukup. Besok bisa bangun pagi-pagi lihat sunrise. Dari kamar terlihat pantainya terbagi tiga warna.”

“Tadi pagi tidak.”

“Kamu kesiangan.”

“Aku tidak dibangunkan.”

“Malas mendengar suara radio rusak pagi-pagi.”

“Sialan.” Lastri mencubit-cubit lengan Radit lagi. Bersama-sama mereka menyusuri tangga dari pantai ke hotel. Tangga batu melingkar yang cantik, menerowong langsung menuju lambung kapal yang tersandar diatas tebing.

***

“Usap rambutku Lastri.”

“Oh, Radit manja sekali.”

“Tidak, aku hanya ingin merasa kamu benar-benar nyata ada disini.”



(Bersambung)

Museum Masa Depan yang Tak Pernah Ada

( setelah Baudrillard dan sebelum lupa ) Anak-anak berjalan ke dalam hutan yang disusun dari piksel dan janji manis algoritma. Pohon-pohon...