Negeri Terumbu Biru
Oleh: Meob
Bagian Ketiga
***
Anak-anak manusia: Anak-anak yang terkalahkan
Diciptakan telanjang untuk berpakaian
Untuk mencipta parang dan pasak
Bertarung melawan hari dan semak duri
Sampai matahari meminta angin memisahkan: Diantara gunung, diantara
lautan
Sampai hati memenangkan pagi
Dan sirnalah segala sepi
***
“Nanti aku mati.”
“Tidak, ini sedang pasang.”
“Darimana kau tahu?.”
“Lihat disana, pasirnya tidak
terlihat seperti sewaktu kita datang.” Perempuan itu memandang ke arah yang di
tunjuk kekasihnya. Ia masih ragu, tapi terlihat betapa ia berupaya untuk percaya.
“Bagaimana kalau kamu duluan?.”
“Tidak masalah, tapi nanti siapa
yang mengajarimu melompat?.”
“Aku bisa melihat.”
“Kamu tidak ingin melompat
bersama-sama?”. Perempuan itu menggeleng,
ia tidak melihat raut kecut kekasihnya melihat penolakan itu .
“Lihat, rasakan angin berhembus
ke barat. Ia akan meniupmu jauh dari tonjolan karang itu.”
“Kamu bohong, bagaimana mungkin
kita tertiup angin.”
“Bukankah kita sejauh ini karena
tertiup angin?”. Sepasang kekasih itu tertawa bersama kemudian. Apa pernah terpikirkan selama ini berjalan
sendiri-sendiri, membentang jarak bergaris mata angin terpisah. Gelak Radit
dan Lastri adalah tawa yang menerima. Mereka telah menelan waktu dan rencana yang tertiup angin empat tahun terakhir.
“Perhatikan titik ini, disini
kita menjejak lompat.”
“Disini?.”
“Ya, harus tepat disini.”
“Baik, ambil ancang-ancang dahulu
kan.”
“Ya, sini. Dari sini saja, lalu
lari dan melompat dari titik itu.”
“Coba.”
“Lihat aku.” Radit berlari kencang,
lalu melompat dari bibir tebing karang. Menghilang dari mata kekasihnya,
terbatas karang menjorok di bibir. Terdengar suara debur air di dasar tebing,
“Radit!.”
“Wuhuuuu, seru!, Ayo Lastri,
lompat kemari!.”
Lastri masih sedikit ragu, matanya mengukur-ukur langkah dan
tebing karang. Ia mengambil ancang-ancang, berlari lalu melompat. Sejenak
nafasnya seperti lenyap, jatuh bebas di udara tanpa pijakan dan pegangan. Lalu,
dunia yang lain menyambutnya. Segalanya berwarna biru berdasar putih, sama
sekali baru. Dia tertegun, menggapai-gapai mencari pegangan. Lengannya tiba-tiba
ditarik oleh sesuatu ke atas,
“Kamu tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa Dit, aku kaget.”
“Kamu senang?.”
“Ayo coba lagi.” Sepasang anak
manusia itu berenang ke tepian, naik kembali memanjat tebing karang yang
menjorok ke pantai. Entah berapa kali, tetapi sepanjang pagi mereka belajar
untuk melompat.
“Las.”
“Apa?.”
“Ayo terakhir, aku lapar.”
“Sama-sama saja.” Radit tersenyum
mendengar ajakan Lastri. Akhirnya kekasihnya mau melompat bersama-sama. Lebih dari
itu, Lastri lah yang kemudian mengajak melompat bersama.
“Pegang tanganku.”
“Ayo hitung dit.”
“Satu, dua, tiga.” Mereka berlari
bersama, lalu dalam satu detik yang sama mereka melompat ke udara.
***
Sebotol Bir murah dan Segelas
tinggi Jus Mangga yang entah berapa hari menginap di kulkas, tersaji manis di
atas meja kayu. Sepasang kekasih itu memilih duduk di tepi teras warung sudut
jalan supaya bisa memandang lautan. Warung yang sederhana tapi cantik.
Meja-meja dan kursinya terbuat dari batang kayu belahan utuh yang terkelupas
alami hempasan ombak.
“Tidak apa-apa disini Las?.”
“Lebih murah disini.”
“Di restoran kapal lebih nyaman.”
“Nyaman, tapi mahal.”
“Kan, aku yang bayar.”
“Jangan sombong, lagipula bukan
soal uang Dit. Disana Jusnya diberi susu kental manis, aku tidak suka.”
“Kenapa Mangga?.”
“Kenapa Bir?.”
“Kamu pahit dan membuatku pusing.”
“Kamu kecut.”
“Tapi harum dan manis.”
“Tidak ya, ditasmu saja tidak ada
parfum.”
“Ke pantai tidak perlu parfum kan
Las.”
“Kapan-kapan berdandanlah sedikit
rapi buatku Dit.”
“Tidak ada kesempatannya.”
“Bulan depan di Surabaya, kamu
datang.”
“Siapa?.” Lastri tidak segera
menjawab, dia memilih menyeruput Jus dengan sedotan putih keriting lebih dulu.
Kekasihnya kemudian pun turut menuang Bir kedalam gelas penuh es batu, lalu mengambil
sepotong kentang goreng yang asin dari piring.
“Nana.”
“Oh Nana, menikah? Siapa suaminya?.”
“Ruben.”
“Ruben yang di Kalimantan?.”
“Berani sekali, kata Nana dia di
rumahkan.”
“Batu bara sedang lesu kudengar.”
“Kamu jangan begitu.”
“Apa?.”
“Disini saja dulu-lah, sepertinya
lebih bagus.”
“Jadi sekarang mulai memikirkan
untuk menikah? Sama siapa?.” Radit tersenyum meminum bir dinginnya, matanya
melirik pada kekasihnya yang tiba-tiba membuang muka saat ia bertanya tadi. Dia
itu tahu jawabannya, ia hanya menggoda Lastri.
“Kadang kupikir aku ingin mundur.”
“Terus?.”
“Tapi ini terlalu jauh.”
“Segalanya sudah terlanjur?.”
“Ya.”
“Kamu menyesal?.”
“Tidak, kamu sendiri?.”
“Sama sekali tidak.”
“Apa kamu juga?.”
“Ya.”
“Lantas kenapa?.”
“Aku mencintaimu.” Lastri tak
menjawab, Raditpun tak butuh jawaban. Dia mengenal Lastri yang sulit mengatakan
hal semacam itu, dan Lastripun mengenal Radit yang tak mungkin berdusta.
***
Di warung itu, lantunan Bob
Marley menenggelamkan waktu yang menggantung diantara mereka. Melebur menjadi
satu dalam keramaian pengunjung. Sampai tersisa didasar gelas hati yang luluh
lantak, rindu takkan mengalah.
“Biarkan aku memujimu Dit.”
“Hahaha, apa itu?.”
“Kamu lelaki pertama yang
membawaku berjalan diatas terigu.”
“Jangan meremehkanku, aku bisa
lebih dari itu.”
“Apa lagi memangnya?.”
“Besok, kubawa kamu melihat
terumbu biru.”
“Jangan berlebihan Radit, tidak
ada namanya terumbu biru.”
“Hahaha, tapi memang begitu.”
“Sudah cukup begini saja, aku
senang. Jangan lebih dan lebih dan lebih, aku tidak tahu harus apa.”
“Tidak apa-apa, mumpung disini.”
“Aku takut muak.”
“Maksudmu?.”
“Ayo jalan ke pantai, terus ke
hotel. Aku lelah.” Radit menuruti permintaan Lastri. Berdua mereka menuruni
tangga daratan tanjung ke pantai yang memanjang.
“Seperti makan bakmi ya Las?.”
“Maksudmu Dit?.”
“Ingat dulu di Jogja? Waktu kita
makan bakmi di Jalan Solo.”
“Kau nambah dua mangkok sampai
mau keluar dari hidung.”
“Iya hahaha, mangkok kedua tidak
akan seenak yang pertama.”
“Minggu kemarin aku makan disana.”
“Acara apa?.”
“Habis dari Galleria Mall, mampir
saja.”
“Kangen aku?.”
“Maumu kangen siapa?.”
Angin mengalir pelan ke arah
mereka, sejuk mendorong ombak berhempas lembut ke pasir pantai. Lastri berhenti
lalu duduk di atas tonjolan batu dekat Hotel, menarik tangan Radit memintanya
duduk disampingnya.
“Apa rasanya pertama di pantai
ini Dit?.”
“Membingungkan.”
“Kenapa?.”
“Karena kamu.” Radit tidak lekas
melanjutkan, dia memainkan pasir di tangannya. Mengambil segenggam,
mengucurkannya lagi pelan-pelan.
“Tanjung Bira mengagumkan, aku
kaget sekali dulu. Pasirnya unik, putih dan terutama lembut sekali. Apalagi
kemudian sia Herman mengajak snorkling
dekat pulau disana. Itu pertama kalinya aku snorkling
sungguhan, kaget dengan isi lautnya. Aku belum pernah seumur hidup melihat
terumbu karang yang utuh dan ikan-ikannya yang cantik. Pernah snorkling di Spermonde sana dekat site tambang, tapi terumbunya rusak kena bom.” Radit memandang ke
lautan yang biru seperti kristal itu, lalu menunjuk ke arah pulau.
“Disana Lastri, lautannya bening
sekali. Aku sempat memancing, lumayan Giant
Trevally lima kiloan. Lucu, aku bisa melihat umpan didasar laut. Melihat
jelas sekali saat ikannya datang lalu memakan umpan, seperti di kolam Koi.”
“Yang di foto itu?.”
“Iya, besarkan?.”
“Tidak seperti di tivi.”
“Haha, aku kan amatiran Las. Tapi
aku suka, itu pertama kalinya aku benar-benar bertarung dengan ikan.
Benar-benar menghibur.”
“Lantas kenapa bingung?.”
“Kamu tidak ada disini. Rasanya
aneh bila cuma jadi cerita. Apalagi, ya aku tahu kami sibuk.”
“Maaf dit.” Lastri menggenggam
tangan Radit di pasir, Radit terhenti sejenak memandang apa yang dilakukan
Lastri.
“Kuduga kamu juga sama Las.”
“Ya, sedikit. Makanya lebih
sering kuhabiskan waktu di kantor dan teman-temanku.”
“Sepi ya?.”
“Tidak juga, bukan kesepian yang
seperti itu. Seperti hanya menghabiskan waktu, bangun pagi kerja lalu gajian.”
“Wah cepat sekali gajian.”
“Ah Radit, sebulan sekali lah. Seperti pengulangan, terus menerus
sampai sering bosan.”
“Kamu galak.”
“Hehehe, ya begitulah.”
“Tidak sayang.”
“Ih, ya masih lah. Cuma, suaramu saja tidak ada
orangnya. Buat apa?”
“Aku perlu meminta maaf?.” Lastri
menggelengkan kepalanya, memandang Radit dan tersenyum
“Makanya aku datang.”
“Karena bosan?.”
“Sedikit. Banyaknya karena kamu
sudah setia selama ini mengorbankan tabungan untuk bolak-balik Makassar
Yogyakarta menemuiku. Coba, kalau ditabung sudah dapat berapa itu?.”
“Cukup untuk beristri disini.”
Jawab Radit lalu tertawa saat Lastri membalasnya dengan cubitan-cubitan di
bahunya.
Mereka duduk disana sampai
matahari hampir terbenam. Bira bukan tempat yang bagus menikmati sunset, karena bukit di belakang pantai
menutupi matahari.
“Ayo ke hotel Las. Lebih baik
istirahat cukup. Besok bisa bangun pagi-pagi lihat sunrise. Dari kamar terlihat pantainya terbagi tiga warna.”
“Tadi pagi tidak.”
“Kamu kesiangan.”
“Aku tidak dibangunkan.”
“Malas mendengar suara radio
rusak pagi-pagi.”
“Sialan.” Lastri mencubit-cubit
lengan Radit lagi. Bersama-sama mereka menyusuri tangga dari pantai ke hotel.
Tangga batu melingkar yang cantik, menerowong langsung menuju lambung kapal
yang tersandar diatas tebing.
***
“Usap rambutku Lastri.”
“Oh, Radit manja sekali.”
“Tidak, aku hanya ingin merasa
kamu benar-benar nyata ada disini.”
(Bersambung)
