Pagi dan Keraguan

Aku mengorek lagi kotak sampah untuk sekedar melihat kartu nama itu. Foto disudut, nama, dan garis-garis alamat. Kudengar butuh waktu beberapa tahun sampai kertas terurai lenyap, namun bagaimana dengan lekatan kenangan?.
Kutinggalkan lagi kartu nama itu disana. Kubuang untuk tidak terbuang. Hanya menunggu sampai waktunya tiba, sampai terurai tak bersisa.


Lalu dalam cangkir keraguan tercermin pada suatu gelap bayang diatas permukaan kopi. Kudengar kata orang biarkan itu berdampingan sampai kita tak peduli lagi. Kelak kita melihat harmoni, begitu katanya lagi. Tetapi apa bagiku?, Kopi hitam pahit dalam cangkir keramik putih yang manis?. Itu bukan harmoni, itu ironi atau entah apalah itu.

Pada bayang yang lain di meja kaca, sewajah skeptis memandangku - kami saling berpandang, aku tidak suka. Kurasa mungkin besok pagi lebih baik kupilih cangkir melamine biru muda, dan kopinya harus kopi putih. Setidaknya ada warna lain saat aku melihat bayangku sendiri dengan cangkir keraguan yang tak kunjung habis.







Postingan populer dari blog ini

A Servant's Letter

Ibadah Sepanjang Usia (Dorothea Rosa Herliany)