Soe Hok Gie Tentang Intelektual Muda Amerika Jaman Itu
Soe Hok Gie
Tentang Intelektual Muda Amerika Jaman Itu
Soe Hok Gie mendapat undangan untuk mengunjungi
Amerika dari tanggal 8 Oktober 1968 sampai 3 Januari 1969. Ia mau memenuhi
undangan ini asalkan tidak ada syarat-syaratnya,[1]
disamping itu
muncul pernyataan politik Soe Hok Gie dalam upaya menjelaskan kedudukannya saat itu terhadap politik AS dan sikap pribadinya:
muncul pernyataan politik Soe Hok Gie dalam upaya menjelaskan kedudukannya saat itu terhadap politik AS dan sikap pribadinya:
“Saya
katakan bahwa saya antipolitik Perang Vietnamnya, dan saya tidak pro secara
membabi buta terhadap AS. Saya katakan pula bahwa saya bukan wakil KAMI. “Saya
tak punya ormas.” Saya menjelaskan sikap politik saya terhadap keadaan
sekarang. “Saya menganggap bahwa saya antikomunis, tetapi saya memprotes
keadaan yang tidak adil untuk mereka.”…..Saya tunjukan bahwa saya pernah
menulis karangan di Kompas,
tentang akibat-akibat dari Gestapu, dimana saya mengkritik policy pemerintah Indonesia terhadap pembasmian komunisme. Saya menjelaskan bahwa saya pernah menulis karangan tentang kematian Prof. Dr. Soekirno (Ketua HIS) dalam penjara. Saya juga menjelaskan “record” saya sebagai mahasiswa antikomunis sebelum Gestapu, dan selama demonstrasi-demonstrasi mahasiswa…..”Jika hal-hal ini telah dipertimbangkan dan Anda tetap ingin agar saya ke AS, saya mau””[2]
tentang akibat-akibat dari Gestapu, dimana saya mengkritik policy pemerintah Indonesia terhadap pembasmian komunisme. Saya menjelaskan bahwa saya pernah menulis karangan tentang kematian Prof. Dr. Soekirno (Ketua HIS) dalam penjara. Saya juga menjelaskan “record” saya sebagai mahasiswa antikomunis sebelum Gestapu, dan selama demonstrasi-demonstrasi mahasiswa…..”Jika hal-hal ini telah dipertimbangkan dan Anda tetap ingin agar saya ke AS, saya mau””[2]
Rupa-rupanya
record-nya tidak mempengaruhi
undangan yang ada, dan ia tetap pergi.
Pengalaman di Amerika memberikan memberikan banyak wawasan baru bagi Soe
Hok Gie, disamping tentang the frustrated
young generation-nya, terdapat juga tentang nasionalisme dan identitas
orang-orang negro, politik, dan juga sikap intelektual Amerika terhadap perang.
Dalam arti ia mengalami pertemuan dengan sekalian generasi muda berpendidikan
dari berbagai belahan dunia di Amerika dengan rupa-rupa persoalan, cita-cita,
dan sekalian frustasi-frustasinya. Soe Hok Gie mendapati bahwa ia menjadi lebih
mengerti Indonesia saat berada di negeri yang jauh, sekalipun ia mengatakan
belum bisa membuat suatu perbandingan ia menjadi mampu melihat Indonesia dari
perspektif yang lebih jauh.[3]
Dengan melihat sendiri, nilai-nilai yang tidak pernah ia sadari tiba-tiba
muncul dan menjadi sesuatu yang amat berharga.[4]
Generasi Muda Yang
Kecewa
Sebagai seorang muda Presiden John.F.Keneddy adalah
Presiden AS yang dapat menggerakkan dan menjadi sumber inspirasi pemuda-pemuda
AS. Berbeda denagan politikus-politikus lain, dalam kampanyenya ia tidak
berbicara tentang kenikmatan-kenikmatan material pada masa depan AS. Keneddy
menjanjikan batas baru (new frontier) bagi masyarakat AS. Ia mengajak
pemuda-pemuda AS untuk membangun dunia yang lebih baik, lebih adil dengan
bekerja secara jujur dan berani. Dan salah satu proyeknya yang “terbesar” untuk
masyarakat AS adalah pembentukan Sukarelawan Perdamaian (peace corps) pada tahun 1961. Pada saat itu hanya 500 orang
sukarelawan, dua tahun kemudian telah menjadi 5000 orang, dan tahun 1964 telah
berjumlah 10.000 sukarelawan. Mereka disebar ke seluruh penjuru dunia, bekerja
sebagai individu-individu yang tidak mengharapkan keuntungan material dan
dibakar oleh idealism yang kuat. Berpuluh-puluh ribu pemuda AS datang ke
pelosok dunia menjadi guru dan hidup sebagaimana penduduk setempat. Selama di
AS, Soe Hok Gie bertemu beberapa mantan Peace
Corps. Mereka mulai melihat
bagaimana praktik politik ekonomi AS diterapkan. Mereka melihat wajah negaranya
sendiri, dengan uang dan kelebihan kemampuan AS memasuki segala bidang
kehidupan. Juga melihat kemiskinan dan perang di balik dunia yang lain,
pengalaman-pengalaman ini mengubah cara pandang mereka begitu banyak. AS
menjadi negara yang mengirimkan puluhan ribu pemuda terbaiknya untuk membantu
bagian dunia yang lain. Tetapi untuk AS sediri pengiriman ini mempunyai arti
yang besar sekali. Kembalinya puluhan ribu pemuda AS dari negara-negara
Asia-Afrika-Amerika latin ke tengah-tengah masyarakat AS juga membawa
perubahan-perubahan besar. Mereka mempunyai pengalaman pribadi yang intensif
dalam menghadapi kehidupan mengerikan di bagian dunia yang lain. Kematian
anak-anak, pembunuhan-pembunuhan yang kejam, prasangka rasial, agama, kelapara
dan lain-lain pastilah membekas di jiwa pemuda-pemuda ini. Sebagian dari mereka
tidak dapat menyesuaikan diri lagi dengan masyarakat AS, tetapi sebagian besar
akan merupakan pendorong-pendorong baru bagi perubahan-perubahan sistem
nilai-nilai disana.
Disamping itu, perkembangan yang cepat dari
industrialisasi dan komersialisasi ini membawa persoalan-persoalan baru yang
mengerikan di AS. Salah satu persoalan yang timbul adalah proses dehumanisasi
individu-individu. Pendidikan tinggi kini menjadi pendidikan massal melahirkan universitas-universitas
yang besar. Jumlah mahasiswanya puluhan ribu. Walaupun pendidikan modern dengan
komputer-komputer saat itu, tetapi banyak mahasiswanya tidak merasa bahagia.
Teror dehumanisasi ini begitu besar sehingga banyak orang akhirnya kehilangan
dirinya. Seorang ibu yang menjadi mahasiswa di Universitas Hawai saat Soe Hok
Gie berada disana mengatakan “Kadang-kadang saya tidak tahu mengapa saya
membeli mesin cuci yang baru. Mungkin saya membaca iklan-iklan, melihat
iklan-iklan TV dan reklame-reklame yang menarik, bahwa seseoranh nyonya rumah
yang baik harus punya mesin cuci yang baru. Masyarakat sekitar saya juga
membelinya. Akhirnya saya beli,walaupun tidak tahu mengapa”. Sistem propaganda
di AS luar biasa hebatnya berkat penelitian-penelitian psikologi masyarakat.
Dalam arus propaganda seperti ini manusia-manusia biasa akhirnya tidak lagi
menentukan dirinya sendiri tetapi ditentukan oleh masyarakat. Sekelompok
masyarakat AS merasa bahwa mereka tidak berbahagia. Mereka tidak tahu mengapa,
dan apa yang membuat mereka tidak bahagia. Tetapi secara instinktif mereka
merasa bahwa mereka kehilangan sesuatu. Mereka ingin menemukannya kembali. Di
tengah mobil-mobil yang mewah, komputer-komputer yang menakjubkan dan
jaminan-jaminan sosial yang baik. Sebagian dari pemuda ini pada akhirnya
berkompromi dengan nilai-nilai lama, tetapi sebagian kecil mencoba mencari
kebahagiaan dengan berpaling pada diri sendiri.
Yang berpaling pada diri sendiri pada akhirnya
menjadi Hippies. Mereka mencoba
mencari kebahagiaan dengan doktrin cinta (love).
Bagi mereka cinta adalah kekuatan yang dapat membebaskan diri manusia dari
proses pengasingannya sebagai manusia. Simbol yang mereka pakai adalah bunga.
Bunga adalah lambang daripada kekuatan cinta. Ketika kelompok-kelompok Hippies
ini mengadakan demonstrasi antiperang mereka tak peduli dengan
pentungan-pentungan polisi dan bayonet-bayonet penjaga keamanan. Mereka membawa
sekuntum bunga dan meletakkannya di pucuk bayonet. Ketika mereka dihadang
dengan gas air mjata dan pentungan-pentungan, mereka membalasnya tidak dengan
batu, tetapi melempari lawannya dengan bunga.
Mereka mencoba menemukan dirinya dengan menolak
nilai-nilai masyarakat yang menjerat manusia. Mereka tak peduli dengan
norma-norma masyarakat tentang berpakaian. Mereka berpakain seperti apa yang
mereka sukai. Kadang-kadang tambalan, kadang-kadang jorok, kadang-kadang
artistik sekali dengan warna-warna yang kontras menyolok. Banyak sekali
norma-norma masyarakat yang mereka tolak dan mereka mencari kebahagiaan seperti
apa adanya mereka (what they are).
“Lepaskan dirimu dari masyarakat yang penuh kepalsuan ini dan kau akan
menemukan hakikat dirimu kembali.” Apakah mereka menemukan dirinya dengan
menolak nilai-nilai masyarakat yang menurut mereka – mengkorup kemanusiaan?
Namun ternyata banyak dari mereka tidak mendapat kebahagiaan dengan menolak
nilai-nilai, terutama soal seksual sebagai cinta yang spontan seperti apa
adanya. Seorang rekan mahasiswa yang ditemui Soe Hok Gie disana mengakui
kehilangan unsur romantik dan misterius dari hubungan ini. Ternyata nilai-nilai
masyarakat yang dianggap mengikat manusia punya nilai-nilai lain. Mariyuana,
yoga, free love, pakaian aneh
akhirnya tidak membawa mereka ke kebahagiaan. Barangkali menjadi Hippies lebih
baik daripada menjadi hipokrit masyarakat untuk mereka.