Soe Hok Gie dan Generasinya

Soe Hok Gie dan Generasinya
Soe Hok Gie memiliki kesadaran bahwa setelah tahun 1945 atau setelah tahun 1942[1] di Indonesia tumbuh generasi yang telah menjadi manusia-manusia baru Indonesia, mereka yang
saat itu berumur 20 sampai 30 tahun. Siapakah mereka ini?, Soe Hok Gie memberikan batasan awal tentang dunia macam apa yang dihadapi generasi ini :
1.      Bukan dunia “Pujangga Baru” yang takjub melihat horizon baru.
2.      Bukan dunia “Pemuda Bambu Runcing” yang percaya bahwa dengan vitalitas dan semangat empat lima semua soal dapat diselesaikan.
3.      Bukan dunia perlawanan terhadap kepahitan kolonialisme.[2]
Secara langsung sebenarnya Soe Hok Gie telah memberi batas antara
sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia, maka penjelasannya merupakan suatu uraian pembatasan bahwa kondisi sebelum kemerdekaan bukanlah dunia yang dialami oleh generasi setelah kemerdekaan. Dunia mereka adalah Indonesia di tahun lima puluhan dan enam puluhan[3]. Baginya generasi yang hidup di dunia macam itu adalah,
1.      Mereka adalah generasi yang terdidik dalam optimisme-optimisme setelah penyerahan kedaulatan, mitos-mitos tentang kemerdekaan dan harapan-harapan besar tentang kejayaan Indonesia di masa depan[4]. Dididik dalam cerita tentang kekayaan alam Indonesia yang belum diselidiki di pedalaman Kalimantan, atau tentang suku-suku bangsa Indonesia di pedalam yang masih terbelakang. Generasi yang dididik dengan optimisme bahwa merekalah yang akan membawa rakyat Indonesia sekalian yang masih terbelakang ketengah kemajuan dunia.[5]
2.      Mereka adalah generasi didaerah-daerah yang mencintai tanah airnya, yang berkeinginan kuat untuk membangun ekonomi dan kemajuan sosial.[6]
3.      Mereka adalah generasi yang dibius oleh semangat progresif-revolusioner Soekarno. Generasi yang menggantungkan cita-citanya setinggi langit sebagaimana yang dianjurkan Sokarno.
Generasi ini adalah generasi yang telah merdeka, mereka tidak hidup dalam penjajahan siapapun. Satu generasi yang dapat bermimpi dan tumbuh dalam optimisme dan semangat revolusioner, inilah dunia dimana generasi Soe Hok Gie hidup dan berkembang, dunia dengan cita-cita setinggi langit  namun lain pada kenyataannya,
“Tetapi generasi itu juga yang mengalami kehancuran dari pada cita-cita itu. Pendidikan yang merosot cepat, kehancuran struktur politik, kebangkrutan ekonomi dan demoralisasi masyarakat dalam segala bidang.”[7]
Seketika keterangan Soe Hok Gie dalam teksnya menjadi sangat mengejutkan, generasi macam apa ini, generasi yang terdidik dalam optimisme sekaligus generasi yang mengalami kehancuran cita-cita. Apa yang terjadi pada mereka?
Menurut Soe Hok Gie, pada awal tahun enam puluhan, berbekal cita-cita dan idealisme akan revolusi inilah angkatan baru intelektual muda Indonesia memasuki universitas-universitas. Mereka adalah the happy selected few yang takjub akan gerbang perguruan tinggi, ia memasuki dunia baru, dunia untuk membuat field work kemajuan nusa dan bangsa.[8] Suatu perasaan optimis yang dirasakan mereka yang berasal dari kelompok mahasiswa, sesuatu yang juga dirasakan Soe Hok Gie pada saat memasuki gerbang universitas. Soe Hok Gie membayangkan bagaimana cita-cita itu diimpikan generasinya, namun seketika cita-cita itu dipatahkan dengan kenyataan yang pahit,
“Saya membayangkan….seorang mahasiswa hukum dengan ide-ide yang sarat tentang rule of law….Tidak ada yang lebih kejam dari pada mematahkan tunas-tunas kemerdekaan Indonesia. Dalam waktu beberapa tahun,..mahasiswa fakultas hukum ini mengetahui, bahwa di atas hukum terdapat hukum yang tidak tertulis. Tentara, polisi, jaksa, dan garong-garong yang punya koneksi.”[9]
Tunas-tunas kemerdekaan Indonesia, demikianlah Soe Hok Gie mengkiaskan cita-cita generasinya, dan mereka merupakan tunas dari kemerdekaan Indonesia sesungguhnya. Sayangnya tunas ini dipatahkan dan tidak ada tindakan yang lebih kejam dari pada itu[10], maka makin jauhlah cita-cita akan Indonesia merdeka yang jaya. Inilah realistas-realitas yang dihadapi mahasiwa dari generasi itu, fakta bahwa yang ia cita-citakan mungkin tidak akan tercapai.
“Dan alumnus-alumnus jurusan Kimia benar-benar menyadari bahwa yang ada untuknya hanyalah kerja di pabrik sabun atau mentega. Pelan-pelan ia harus melupakan idealismenya tentang cairan yang dapat melontarkan manusia ke bulan”[11]
Dalam perbandingan ini penggambaran Soe Hok Gue menampilkan bahwa cita-cita mahasiswa saat itu adalah cita-cita yang luar biasa pada dirinya dalam segala bentuknya. Namun dihancurkan dengan kenyataan bahwa itu tidak dapat dicapai di Indonesia, itu hanya akan menjadi cita-cita belaka yang harus pelan-pelan dilupakan. Karena pada kenyataannya tidak ada laboratorium, tidak ada beasiswa untuk membuat mereka menjadi spesialis.[12] Maka, bagi mereka semangat revolusioner yang diwariskan pada mereka beserta optimisme-optimisme akan kejayaan Indonesia di masa depan hanyalah menjadi omong kosong belaka, dan pada gilirannya menimbulkan frustasi dan perasaan ditipu. Demikian dialami kelompok pemuda di daerah yang juga merupakan bagian dari generasi ini yang cenderung dalam keadaan tidak aman di banding Jakarta,
“Saya kenal dengan banyak pemuda-pemuda daerah yang penuh frustasi pula. Mereka yang merasa terbakar sebagai patriot “anti-komunis” dan “pelopor-pelopor pembangunan daerah” pergi masuk hutan pada awal tahun 1958.
Pemuda-pemuda tentara pelajar PRRI-Permesta ini percaya, bahwa cita-cita perjuangan mereka adalah untuk pembangunan. Dan karena pembangunan dihalangi kita harus mengangkat senjata melawan Soekarno-PKI. Ribuan dari mereka menghancurkan hidupnya demi cita-cita yang murni. Hasilnya adalah darah dan air mata. Dan yang paling menyedihkan lagi adalah bahwa uang perjuangan PRRI-Permesta, difoya-foyakan di Hong Kong dan Singapura.”[13]
Pengalaman dari kelompok pemuda daerah yang nampaknya merupakan informasi yang Soe Hok Gie peroleh dari kenalan-kenalannya, dan informasi ini menampilkan pengalaman yang lebih mengerikan, tidak hanya kehancuran akan kepercayaan namun juga kehancuran hidup dalam gerak angkat senjata. Hasil dari semua itu adalah darah dan air mata, dan penderitaan mereka tidak hanya disitu namun juga berkenaan dengan trauma psikis yang tertinggal.
“Tahun 1962-1965, mereka diteror oleh bayang-bayang masyarakat sebagai kaum kontra-revolusi. Mereka yang diteror oleh lingkungannya, tidak pernah akan bisa melupakannya.”[14]
Soe Hok Gie menunjukan bahwa harapan-harapan yang telah dipupuk pada generasi ini, namun dimatikan dengan penipuan-penipuan paling kejam atasnya, pada akhirnya menimbulkan frustasi yang merata di generasi kemerdekaan[15]. Begitu suramnya apa yang dialami generasi ini, generasi yang bertumbuh di bawah bayang-bayang mimpi-mimpi akan kegemilangan Indonesia setelah kemerdekaan sekaligus kenyataannya yang berkebalikan.
Pernyataan Soe Hok Gie dalam nampak sangat deskriptif dalam pengkategorian dan pembatasan suatu generasi itu. Serta begitu detail dalam penggambaran tokoh-tokoh yang merupakan eksponen dari generasi itu. Generasi Soe Hok Gie, generasi yang lahir setelah kemerdekaan, generasi yang penuh optimisme dan cita-cita setinggi langit, sekaligus juga generasi yang diperhadapkan pada kenyataan yang berkebalikan. Generasi yang tidak mengenal perjuangan anti-kolonialis namun diperhadapkan pada perang saudara 1958 kemudian penyembelihan massal 1965. Generasi yang suram dan penuh frustasi namun tidak mati gerak, sebagaimana yang diungkapkan Daniel Dhakidae dalam analisanya tentang generasi ini yang akhirnya mereka betul-betul menumbangkan mitos-mitos yang ditanamkan pada mereka, sejak Soekarno sampai pada mitos pembaruan dan pembangunan.[16] Generasi yang digambarkan begitu suram oleh Soe Hok Gie, dan dikahiri dengan pernyataan puncak yang tidak lebih optimis persoal generasi ini yang akan memerintah Indonesia dikemudian hari: Sayangnya bagi SHG, kekaburan, terutama keruntuhan standar pendidikan, secara teknis membuat mereka tidak mampu memegang peranan. Setelah Soekarno, mereka akan mencari lagi orang kuat sebagai pemimpin mereka.[17]. Dalam rentang refleksi yang panjang hampir 10-tahun, proklamasi yang dulu ia ucapkan, secara jujur ia ungkapkan sendiri bahwa ternyata secara teknis generasi mereka yang menjadi hakim atas generasi tua itu ternyata tidak mampu memegang peranan sebagai penerus sekalipun memiliki keinginan kuat untuk membereskan situasi dan bagaimana gerakan 1966 menunjukan hal ini.  Namun, ia menunjuk bahwa sebagain dari pemimpin KAMI yang duduk di DPR-GR yang “menjadi pencoleng-pencoleng politik, agen-agen operasi khusus..atau paling-paling politikus kelas tiga….adalah korban-korban dari demoralisasi masyarakatnya”.[18]





[1] Tahun kelahuran SHG, ia merasa juga bagian dari generasi itu.
[2] Soe Hok Gie, Generasi Yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima, dalam Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, cet. 1, (Tangerang : Gagas Media, 2005), hlm. 94.
[3] Soe Hok Gie, Generasi Yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima, dalam Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, cet. 1, (Tangerang : Gagas Media, 2005), hlm. 95.
[4] Ibid, hlm. 95.
[5] Ibid. hlm. 96.
[6] Soe Hok Gie, Putra-putra Kemerdekaan: Generasi Sesudah Perang Kemerdekaan, dalam Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, cet. 1, (Tangerang : Gagas Media, 2005), hlm. 122.
[7] Soe Hok Gie, Generasi Yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima, dalam Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, cet. 1, (Tangerang : Gagas Media, 2005), hlm. 95. Kompas, 16 Agustus 1969.
[8] Soe Hok Gie, Generasi Yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima, dalam Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, cet. 1, (Tangerang : Gagas Media, 2005), hlm. 96. Kompas, 16 Agustus 1969.
[9] Soe Hok Gie, Generasi Yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima, dalam Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, cet. 1, (Tangerang : Gagas Media, 2005), hlm. 96-97. Kompas, 16 Agustus 1969.
[10] Soe Hok Gie, Generasi Yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima, dalam Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, cet. 1, (Tangerang : Gagas Media, 2005), hlm. 97. Kompas, 16 Agustus 1969.
[11] Soe Hok Gie, Generasi Yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima, dalam Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, cet. 1, (Tangerang : Gagas Media, 2005), hlm. 97. Kompas, 16 Agustus 1969.
[12] Soe Hok Gie, Putra-putra Kemerdekaan: Generasi Sesudah Perang Kemerdekaan, dalam Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, cet. 1, (Tangerang : Gagas Media, 2005), hlm. 121.
[13] Soe Hok Gie, Generasi Yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima, dalam Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, cet. 1, (Tangerang : Gagas Media, 2005), hlm 98.
[14] Soe Hok Gie, Generasi Yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima, dalam Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, cet. 1, (Tangerang : Gagas Media, 2005), hlm 98.
[15] Soe Hok Gie, Generasi Yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima, dalam Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, cet. 1, (Tangerang : Gagas Media, 2005), hlm  100
[16] Daniel Dhakidae, Soe Hok Gie : Sang Demonstran, dalam Soe Hok Gie,Catatan Seorang Demonstran, cet. viii, (Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), hlm. 13.
[17]  Ibid.
[18] Soe Hok Gie, Generasi Yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima, dalam Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, cet. 1, (Tangerang : Gagas Media, 2005), hlm  101.

Postingan populer dari blog ini

A Servant's Letter

Ibadah Sepanjang Usia (Dorothea Rosa Herliany)