Soe Hok Gie dan The Crime Of Silence

Kebijakan Pemerintah dan The Crime Of Silence
Sebagian dari rakyat Amerika, terutama masyarakat kampus, tidak menyetujui tindakan-tindakan pemerintahnya di Vietnam. Secara sadar mereka sampai pada
kesimpulan bahwa pemerintahnya sekarang sedang melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan perikemanusiaan. Apakah mereka harus berdiam diri? Ataukah secara ektif mereka harus menentang tindakan-tindakan pemerintahnya? Dilema inilah yang dihadapi oleh kaum intelektual Amerika di sekitar tahun 1966.[1] Kemudian sebagian dari
mereka akhirnya sampai pada kesimpulan, bahwa mereka harus secara aktif menentang tindakan-tindakan pemerintahnya. Di kampus-kampus Amerika terdapat kelompok-kelompok mahasiswa yang menganjurkan kepada para pemuda untuk menolak perintah menjadi tentara walaupun secara formal mereka telah menjadi milisi karena adanya UU Milisi yang disetujui kongres Amerika. Di Honolulu, Soe Hok Gie pernah bertemu dengan kelompok pemuda yang giat mengadakan kampanye menentang kebijakan milisi yang dikenakan pada mereka, mereka memprotes dan membakar kartu milisinya dan untuk tindakan ini mereka harus masuk penjara. Soe Hok Gie kemudian bertanya apakah tindakan demikian adalah tindakan yang  patriotik? Pemuda itu menjawab demikian,
“ Ya, karena di atas UU terdapat kata hati manusia. Justru dengan tindakan ini, kami tunjukan bahwa kami adalah warga negara yang sadar dan berani mengoreksi kesalahan pemerintah. Kami tidak mau membuta patuh pada pemerintah, seperti rakyat Jerman di bawah Hitler dulu.”[2]
Sebagian dari mereka sampai pada kesimpulan bahwa mereka yang membiarkan dan berdiam diri terhadap kejahatan, pada hakikatnya berbuat kejahatan. Mereka bicara tentang the crime of silence.
Dalam pengadilan internasional Nurenberg, sejumlah tokoh Nazi Jerman telah dituntut ke muka pengadilan karena kejahatannya terhadap kemanusiaan. Pada umumnya mereka membela diri dengan menyatakan, bahwa mereka pada waktu itu menjalankan perintah dari pemerintah yang sah. Dan sebagai pelaksana daripada suatu politik yang resmi dan sah, mereka tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban. Tetapi pengadilan menolak pembelaan mereka dan penjahat-penjahat perang ini kemudian dihukum. Dengan putusan pengadilan Nurenberg, dunia beradab menolak alasan kepatuhan pada pemerintah untuk menjalankan perintah-perintah yang bertentangan dengan perikemanusiaan.[3] Banyak dari mereka yang diadili dan dihukum, namun berjuta-berjuta lagi yang tidak diadili dan dihukum tetap berdosa karena kejahatan berdiam diri : the crime of silence. Dari dilema inilah pada tahun 1967, sejumlah tokoh-tokoh amerika membuat pernyataan penentangan terhadap perang di Vietnam yang disebut Individuals Against the Crime of silence.
Sikap dari kelompok ini membuat Soe Hok Gie berpikir tentang kaum intelektual di Indonesia, sebagian besar dari mereka tutup mulut, dan tidak berbicara mengenai pelanggaran-pelanggaran paling kasar terhadap manusia yang terjadi di Indonesia.[4] Apa yang dapat dilakukan? Soe Hok Gie jelas mengharapkan adanya suara dan tindakan.
Pada suatu hari dari rekannya Boy Mardjono S.H. kepala bagian Kriminologi UI bercerita pada Soe Hok Gie bahwa belum lama ia menerima mayat seorang tahanan dari polisi. “Mengerikan. Beratnya hanya tiga puluh kilo lebih. Kurus dan tulang pipinya telah bersatu dengan kulit. Menurut polisi, ia orang gila yang menolak makan di penjara. Tetapi kami memeriksanya, ternyata dia menderita sejenis penyakit di mulutnya. Sehingga dia tidak bisa makan dan menelan. Sakit sekali. Kalau sekiranya dibawa ke dokter, dengan mudah dia dapat disembuhkan. Kita dapat membayangkan penderitaannya sebelum mati. Lapar, tetapi tidak dapat menelan makanan. Ternyata laporan-laporannya pada polisi tidak dihiraukan. Dan setelah bertempur dengan kelaparan dan kesakitan, beberapa puluh hari kemudian dia mati.” Menurut Boy, tahanan-tahanan yang ada di seksi polisi amat menderita hidupnya. Tidak dipedulikan, menunggu perkaranya berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Tidak diperiksa dan dipedulikan. Bagi Soe Hok Gie kemudian, dimata pegawai penjara sang mayat tadi hanya menjadi nomor dari urutan tahanan-tahanan yang ada. Tak ada yang mau peduli dengan keluhan-keluhannya, dan setelah mati, daftarnya hanya dicoret begitu saja. Nomor sekian tidak ada lagi, wajahnya menjadi wajah tidak bermakna[5].
Soe Hok Gie menjadi merindukan Yap Thiam Hiem yang sudah hampir setahun tidak ia temui. Ia sangat mengormati Yap karena sikapnya yang tegas dan berani, tetapi selalu berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan yang kuat. Yap pernah tergugah hatinya saat salah satu orang yang dibantunya mati di tahanan polisi Glodok, setelah ditahan bertahun-tahun tanpa pernah diperiksa. Yap mengirim surat pada Soe Hok Gie, untuk mempeirngatkan bahwa apa yang terjadi dengan tahanan-tahanan ini dapat terjadi pada mereka besok. Hanya pada “Dia”-lah kita dapat mengharapkan keadilan yang sebenar-benarnya. Ia menjadikan Yap sebagai contoh seorang pengacara yang terkenal dan established, terbakar idealismenya melihat kenyataan hakim-hakim korup, jaksa-jaksa makan sogokan, polisi-polisi memeras, dan tahanan-tahanan mati di penjara tanpa pernah diperiksa.[6] Soe Hok Gie kemudian mengajukan permasalahan ini pada sekalian mahasiswa hukum : Begitu banyak tahanan yang ada, yang terkatung-katung nasibnya di penjara. Dan ada begitu banyak mahasiswa fakultas hukum, beribu-ribu,dan hampir tiap universitas mempunyai fakultas hukum. Apakah tidak sebaiknya, mahasiswa yang paling tidak dari jurusan pidana sebelum lulus, mereka mengurus sebuah perkara yang telah terkatung-katung berbulan-bulan atau bertahun-tahun di kota mereka. Sehingga dengan demikian mereka dapat melihat secara konkrit tahanan-tahanan yang kurus, polisi-polisi yang menjadi maling, dan ibu-ibu yang kemudian menghayatinya secara lebih emosional. Agar hukum tidak menjadi teori-teori yang njelimet, pasal-pasal sekian, dan nomor-nomor mati dari suatu undang-undang.[7]
Soe Hok Gie memang mengundang untuk bersuara dan bertindak, baginya lebih berguna mengurus perkara seorang tukang sayur yang diperlakukan sewenang-wenang oleh polisi daripada mengurus suatu seminar besar yang tak dapat dilaksanakan. Dan senat mahasiswanya lebih berguna mengurus civic mission-nya ke penjara-penjara daripada mengurus stensil diktat tentang rule of law.[8] Ia mengajukan hal demikian karena ia jelas melihat bahwa tindakan berdiam diri adalah sebuah tindak kejahatan, dan kelompok intelektual yang berdiam diri telah menjadi manusia yang kehilangan kemanusiaannya.
-
Dari perjalanannnya ke Amerika, hal utama yang membuatnya kagum dari masyarakat AS adalah sikap pada kaum intelektual dan kelompok-kelompok agama tertentu, terutama dalam hal perang Vietnam. Dalam situasi perang inilah sekelompok masyarakat AS mulai bertanya: “Apakah kita berhak untuk memusnahkan suatu bangsa yang kecil di seberang lautan Pasifik atas nama anti-komunisme? Apakah hak kita untuk menjadi polisi dunia, memaksakan kehendak kita pada bangsa lain? Apakah dukungan kita pada Vietnam Selatan tidak bertentangan dengan tradisi demokrasi bangsa kita sendiri?. Sejumlah sarjana dan mahasiswa mulai protes meski mereka dianggap tidak patriotik karena mengecam kehormatan AS. Muncul kelompok agama Quaker yang tanpa peduli atas larangan AS, pergi membawa obat-obatan ke Hanoi. Mereka dicap pengkhianat, namun mereka menyatakan bahwa perikemanusiaan dan cinta berada di atas pertimbangan politik sempit. Muncul pula senator-senator yang juga bertanya secara moral tentang kekejaman yang terjadi di sana Seperti juga di Indonesia, kelompok-kelompok moralis ini sering dituduh komunis.[9] Kaum intelektual AS menyatakan, bahwa berdiam diri ditengah ketidakadilan adalah suau kejahatan. The crime of silence dinyatakan kepada masyarakat AS yang berdiam diri atau pura-pura tidak tahu, terhadap kejahatan yang sedang dilakukan pemerintahnya.[10] Bagi Soe Hok Gie yang patut ditiru dari sikap ini adalah keberanian untuk melihat persoalan secara jernih. Tanpa dikacaukan dengan tuduhan gerpol, Orla, superhumanis, dan lain-lain.[11]
Ketika meninggalkan Jakarta menuju Hanoi di bulan Oktober 1968, Soe Hok Gie berpikir bahwa ia akan menjadi turis, melihat-lihat AS yang kaya dan besar. Tapi ternyata ia tidak bisa melepaskan diri dari persoalan di Indonesia, karena baginya masalah itu berada dalam lubuk hatinya. Hanya kata-kata Daniel Lev yang ia temui disanalah yang membuatnya agak tenang, “Soe, kau adalah seorang pemikir. Orang-orang seperti itu selalu menanyakan tentang nilai-nilai dalam masyarakat. Mereka tidak akan berbahagia, dan tak pernah akan puas. Terimalah kenyataan ini.” Dan Soe Hok Gie memutuskan untuk kemudian berdamai dengan kegelisahannya. “I shall make peace with all my troubles” katanya.[12]
Apakah ia berhenti? Terang tidak, ia terus maju dengan keputusannya tetap menjadi idealis, sebagaimana tulisan-tulisannya diatas yaitu kritiknya tentang tahanan politik, perlakuan terhadap mereka, den juga kebijakan soal surat tidak terlibat G-30-S pada keluarga mereka. Ia lebih banyak untuk menulis di media massa nasional dan media massa mahasiswa sebagaimana telah sedikit dimuat diatas., namanya pun menjadi dikenal umum dari tulisan-tulisannya itu. Tindakan yang juga makin membuatnya terpencil karena dianggap tidak taktis dengan menyebut nama dan juga menyerang teman-temannya sendiri. Baginya kebenaran adalah hal utama dari popularitas soal tulisannya, namun ia juga harus menghadapi kebenaran bahwa ia sendiri kesepian.





[1] Soe Hok Gie, Perang Vietnam Dan Sikap Intelektual Amerika. Zaman Peralihan. Hlm 220.
[2] Soe Hok Gie, Perang Vietnam Dan Sikap Intelektual Amerika. Zaman Peralihan. Hlm 221.
[3]Soe Hok Gie, Perang Vietnam Dan Sikap Intelektual Amerika. Zaman Peralihan. Hlm 218-219.
[4] Soe Hok Gie, Perang Vietnam Dan Sikap Intelektual Amerika. Zaman Peralihan. Hlm 223.
[5] Soe Hok Gie, Seorang Dosen, Seorang Pengacara, Dan Seorang Mahasiswa. Zaman Peralihan, halaman 178.
[6] Soe Hok Gie, Seorang Dosen, Seorang Pengacara, Dan Seorang Mahasiswa. Zaman Peralihan, halaman 179.
[7] Soe Hok Gie, Seorang Dosen, Seorang Pengacara, Dan Seorang Mahasiswa. Zaman Peralihan, halaman 179-180.
[8] Soe Hok Gie, Seorang Dosen, Seorang Pengacara, Dan Seorang Mahasiswa. Zaman Peralihan, halaman 179-180.
[9] Soe Hok Gie, Awal dan Akhir, dalam Zaman peralihan, halaman 288-289
[10] Soe Hok Gie, Awal dan Akhir, dalam Zaman peralihan, halaman 290.
[11] Soe Hok Gie, Awal dan Akhir, dalam Zaman peralihan, halaman 291.

Postingan populer dari blog ini

A Servant's Letter

Ibadah Sepanjang Usia (Dorothea Rosa Herliany)