Selasa, 22 April 2025

Museum Masa Depan yang Tak Pernah Ada


(setelah Baudrillard dan sebelum lupa)

Anak-anak berjalan ke dalam hutan
yang disusun dari piksel dan janji manis algoritma.
Pohon-pohon terbuat dari cuplikan iklan,
dan burung-burung bersiul dalam suara notifikasi.

Seekor kelinci melompat keluar dari feed Instagram,
ia membawa jam,
tapi bukan untuk menunjukkan waktu—
melainkan tren terbaru.

Di hutan ini,
setiap daun adalah layar,
setiap ranting adalah antena.
Dan angin yang berhembus
membisikkan slogan,
bukan doa.

Anak-anak bermain petak umpet
dengan sesuatu yang disebut realitas.
Mereka mencari-cari kenyataan
di balik filter kecantikan
dan bingkai #nofilter.

Satu anak bertanya:
"Apakah sungguh ada dunia di luar kamera?"
Kawan-kawannya tertawa:
"Kenapa harus ada, kalau yang ini lebih bisa disukai?"

Seekor serigala muncul
dari balik billboard transparan.
Ia sudah tidak berbulu.
Hanya tinggal brand.

Ia tak menggigit,
ia hanya menawarkan kontrak kerjasama.

Anak paling kecil tersandung kata "autentik",
yang sudah lama dibekukan dalam museum konsep.
Ia menangis,
tapi air matanya otomatis berubah menjadi stiker emoji.
Ia mencoba berdoa,
tapi kata "Tuhan" dihapus oleh sistem
karena melanggar pedoman komunitas.

Seseorang berbisik:
“Dunia ini terlalu rapi untuk nyata.”
Dan anak-anak itu mengangguk
dengan kepala yang sudah dibentuk
oleh template.

Di akhir hari,
mereka pulang bukan ke rumah,
tapi ke beranda
yang selalu diperbarui,
tapi tak pernah dihuni.

"Apa gunanya kejujuran,"
kata salah satu anak,
"kalau kenyataan pun sekarang harus diedit dulu
sebelum dipahami?"

Suatu Hari di Hutan Yang Tidak Ada

Suatu hari,

anak-anak masuk ke hutan yang hanya ada di buku cerita.
Hutan itu beraroma layar kaca,
dan jejaknya terbuat dari iklan-iklan yang dilupakan.

Mereka membawa kompas
yang hanya tahu arah viral.
Mereka tidak mencari rumah,
mereka mencari sinyal.

Seekor rusa muncul,
matanya seperti logo aplikasi.
Ia bicara dalam subtitle,
dan setiap langkahnya menghasilkan suara efek dari YouTube.

Anak-anak bertanya,
“Apakah kau benar-benar rusa?”
Rusa itu tertawa,
“Tidak. Aku hanya versi yang kalian inginkan.”

Ada sungai,
tapi airnya tidak mengalir, hanya buffering.
Ada pohon,
tapi daunnya mengucapkan promo terbatas
dan disukai oleh lebih dari seribu pengguna.

Anak paling kecil duduk di atas batu.
Ia memejamkan mata.
Ia mencoba mengingat suara ibu.
Yang datang justru jingle iklan susu rendah gula.

Di dunia ini, kata Baudrillard,
tidak ada yang palsu karena tidak ada yang asli.
Yang ada hanya salinan dari salinan,
pantulan dari pantulan.

Anak-anak mengangguk,
mereka mengerti.
Karena bahkan dongeng pun
harus bisa dijual.

Ketika malam datang,
bintang-bintang menyala lewat proyektor.
Mereka tak lagi menggantung di langit,
tapi di langit-langit mal.

Dan para anak itu,
yang pernah belajar merangkak dari lantai rumah,
kini belajar berjalan
di lantai toko virtual.

Di hutan yang tidak ada,
yang tersisa hanya dua hal:
kamera yang merekam semuanya,
dan suara hati yang direkam terlalu pelan
untuk dikenali siapa pun.

“Kenapa tidak pulang?” tanya sebuah bayangan.

Seorang anak menjawab:
“Karena dunia nyata tak cukup cantik untuk dijadikan latar belakang.”

Anak-Anak yang Bermain di Hutan Hiperrealitas


Seorang anak bertanya kepada pohon:

“Apakah kau sungguh pohon? Atau hanya papan reklame yang menyamar jadi daun?”
Pohon menjawab dengan sunyi,
daunnya gugur jadi emoji.

Di hutan ini,
burung-burung berkicau dengan notifikasi.
Dan jamur tumbuh dari sinyal Wi-Fi.
Anak-anak tertawa,
memotret bayangan sendiri lalu menyebutnya:
kenangan.

Kita semua pernah jadi anak yang percaya
bahwa Disneyland adalah kota suci,
dan Elsa lebih nyata dari ibu sendiri.
Bahwa cinta bisa diringkas dalam durasi 15 detik,
dan duka bisa dilewati
asal ada filter yang pas dan lagu latar yang catchy.

Di bawah langit CGI,
seekor kelinci plastik berlari,
meninggalkan jejak di tanah augmented reality.
Ia sedang dikejar serigala yang tak lapar,
hanya ingin ditonton,
di-like,
dan di-ulang.


Seseorang pernah bilang:
“Imam agung postmodernisme” tinggal di ujung hutan ini.
Namanya Baudrillard.
Ia bukan peri. Bukan monster. Bukan penyihir.
Ia cuma anak yang tumbuh dewasa
dan kecewa karena dunia terlalu indah untuk benar.

Ia menulis,
tentang simulasi yang berpura-pura jadi kenyataan,
tentang cinta yang dipentaskan untuk kamera,
tentang berita yang lebih penting dari peristiwa,
tentang pernikahan yang lebih indah dalam album
daripada dalam kehidupan.

Anak-anak kini bermain di antara pepohonan palsu
mereka tidak lagi bertanya,
“Apakah ini nyata?”
Tapi,
“Apakah ini bisa diunggah?”

Di akhir hari,
ketika langit berubah jadi layar login,
seorang anak duduk di pangkuan algoritma
dan berbisik:

Apakah aku benar-benar ada, atau cuma hasil editan?
Pohon menunduk.
Tak tahu lagi
cara menjawab.

Di hutan Baudrillard, yang tersisa hanyalah
gema dari suara-suara yang tidak pernah berkata apa-apa.

Tapi, oh, betapa indah mereka diputar ulang.

Sabtu, 15 Maret 2025

Kolam di Dalam Dada

Aku menyimpan kolam di dalam dada,
airnya bening di siang hari, keruh saat malam tiba.
Ikan-ikan perasaan berenang pelan,
ada yang menunggu diberi makan,
ada yang diam di dasar, tak ingin disapa.

Beberapa ikan tak lagi tumbuh,
menjadi fosil di lumpur kenangan.
Beberapa lain meloncat ke udara,
seperti rindu yang tak tahu
harus kembali atau pergi lebih jauh.

Aku ingin menata kolam ini,
menyingkirkan daun gugur dari permukaannya.
Tapi tangan siapa yang harus menyentuhnya?
Sebab setiap kali aku meraba airnya,
gelombang kecil mengaburkan bayanganku sendiri.

Tetes Embun di Ujung Mata Ibu



Ibu menyimpan pagi di sudut matanya,
seperti embun yang menahan diri
sebelum jatuh ke tanah.

Ia tak pernah tergesa menangis,
bahkan saat dadanya penuh sesak
oleh doa-doa yang tak kunjung terkirim.
Kesabarannya meluas seperti subuh,
tak tampak, tapi selalu datang.

Di ujung matanya, ada waktu yang bersabar,
menunggu lelah menjelma teduh,
menunggu lapar menjadi cukup.

Tak ada yang lebih sunyi dari lelah yang tak terucap,
tak ada yang lebih sabar dari ibu
yang menyimpan luka dalam senyum.

Maka, sebelum embun itu jatuh,
sebelum pagi beranjak pergi,
biarkan aku belajar darinya—
bagaimana menunggu tanpa kecewa,

bagaimana mencintai tanpa meminta kembali. 

Pernikahan Ilalang



Di tepi ladang yang lupa namanya,
angin berbisik tentang dua ilalang
yang menari tanpa tahu kapan harus berhenti.
Mereka bersandar pada gelombang musim,
menyeka debu di mata dengan bayangan sendiri.

Tak ada undangan,
hanya kumbang dan belalang yang datang,
mengamini sumpah sederhana:
aku akan berdiri di sisimu,
bahkan saat dunia lupa menamai kita bunga.

Mereka tidak butuh cincin,
karena akar telah lebih dulu saling menggenggam.
Mereka tidak butuh janji,
karena angin selalu mengulang kata-kata
yang tak perlu diucapkan.

Di bawah langit yang tidak memilih siapa harus dicintai,
dua ilalang itu tumbuh bersama,
membiarkan waktu menjadi saksi,

dan sunyi menjadi restu. 

Perjalanan di Atas Rel




Kita berdiri di dalam gerbong yang terlalu penuh
di antara wajah-wajah yang lupa bagaimana rasanya pagi tanpa tergesa
jendela kereta menghafal nama-nama yang kita lupakan
sebuah kota yang terus bergerak meski tak pernah benar-benar tiba.

Aku melihat lelaki yang membaca koran yang tak lagi berbau tinta
seorang ibu yang menggenggam tangan anaknya lebih erat dari doa
seorang perempuan yang menempelkan dahinya ke kaca
dan melihat dirinya sendiri di antara bayang-bayang peron.

Bogor selalu menitipkan hujan di ujung mata penumpangnya
dan Jakarta selalu menunggu dengan jantung yang lebih bising
kita semua adalah sisa-sisa malam yang tak cukup tidur
menjadi angka dalam perhitungan keterlambatan yang berulang.

Ada yang turun, ada yang naik
ada yang membawa cerita, ada yang kehilangan alamat
kereta melaju, seperti hidup yang tak pernah benar-benar berhenti
meski kita berharap sesekali bisa diam, sekadar untuk bernapas lebih lama.

Museum Masa Depan yang Tak Pernah Ada

( setelah Baudrillard dan sebelum lupa ) Anak-anak berjalan ke dalam hutan yang disusun dari piksel dan janji manis algoritma. Pohon-pohon...