Anak-Anak yang Bermain di Hutan Hiperrealitas
Seorang anak bertanya kepada pohon:
“Apakah kau sungguh pohon? Atau hanya papan reklame yang menyamar jadi daun?”
Pohon menjawab dengan sunyi,
daunnya gugur jadi emoji.
Di hutan ini,
burung-burung berkicau dengan notifikasi.
Dan jamur tumbuh dari sinyal Wi-Fi.
Anak-anak tertawa,
memotret bayangan sendiri lalu menyebutnya:
kenangan.
Kita semua pernah jadi anak yang percaya
bahwa Disneyland adalah kota suci,
dan Elsa lebih nyata dari ibu sendiri.
Bahwa cinta bisa diringkas dalam durasi 15 detik,
dan duka bisa dilewati
asal ada filter yang pas dan lagu latar yang catchy.
Di bawah langit CGI,
seekor kelinci plastik berlari,
meninggalkan jejak di tanah augmented reality.
Ia sedang dikejar serigala yang tak lapar,
hanya ingin ditonton,
di-like,
dan di-ulang.
Seseorang pernah bilang:
“Imam agung postmodernisme” tinggal di ujung hutan ini.
Namanya Baudrillard.
Ia bukan peri. Bukan monster. Bukan penyihir.
Ia cuma anak yang tumbuh dewasa
dan kecewa karena dunia terlalu indah untuk benar.
Ia menulis,
tentang simulasi yang berpura-pura jadi kenyataan,
tentang cinta yang dipentaskan untuk kamera,
tentang berita yang lebih penting dari peristiwa,
tentang pernikahan yang lebih indah dalam album
daripada dalam kehidupan.
Anak-anak kini bermain di antara pepohonan palsu
mereka tidak lagi bertanya,
“Apakah ini nyata?”
Tapi,
“Apakah ini bisa diunggah?”
Di akhir hari,
ketika langit berubah jadi layar login,
seorang anak duduk di pangkuan algoritma
dan berbisik:
Apakah aku benar-benar ada, atau cuma hasil editan?
Pohon menunduk.
Tak tahu lagi
cara menjawab.
Di hutan Baudrillard, yang tersisa hanyalah
gema dari suara-suara yang tidak pernah berkata apa-apa.Tapi, oh, betapa indah mereka diputar ulang.