KECEMASAN KATANYA

KECEMASAN KATANYA
Meob
Dokter jiwa cantik punya diagnosa, sebuah penyakit yang disebutnya kecemasan. Dia bertanya, mengapa didepanku kau tampak tak cemas? Saya jawab, mana saya tahu dok. Dia bertanya lagi, saya jawab lagi. Begitu saja beberapa menit. Dia kemudian bingung, saya ikut bingung. Dia baca-baca berlembar tabel di tangannya beberapa menit, saya tidak ngerti.
Setelah punggung saya hampir pegal karena tegak tak bersandar, baru dia dia bertanya: apa kamu suka ngemil? Saya jawab, ya. Dia tanya, apa? Keripik bakso pedas goreng, kata saya. Dia kernyitkan dahi terus matanya lihat pada saya, kripik bakso? Ya, kata saya. Bakso diiris tipis-tipis digoreng seperti keripik terus dikasih cabai bubuk. Dia angkat alisnya, lihat tabelnya lalu bertanya lagi: rata-rata kamu tidur berapa jam? Saya gelengkan kepala, saya tidak tahu menghitung tidur. Dia menarik napas, saya juga. Dia bertanya lagi, jam berapa biasanya tidur malam? Saya jawab jam empat. Dia lalu mencoret-coret sesuatu pada lembar ditangannya, saya coba intip tapi tak terbaca. Dia lihat kepada saya, dia senyum di sudut bibir dan wajahnya tiba-tiba jadi menyebalkan. Dia tanya, kamu penasaran? Saya mau pura-pura jual mahal tapi tak jadi, saya jawab iya. Dia tanya lagi, kenapa kamu penasaran? Terus dia sambung tanya lagi memancing, bukankah nanti juga saya jelaskan pada kamu? Nah, saya kehilangan kata-kata.
Saya kemudian tegaskan padanya, saya tak mau obat tidur. Dia balas saya, siapa yang mau kasih kamu obat tidur. Tapi teman bilang nanti dikasih obat tidur, saya bingung. Dia tertawa terus bertanya, memangnya obat tidur bikin kamu tidur? Saya mengangguk lalu menggeleng, tidak tahu kata saya. Seharusnya bisa, kata saya lagi. Dia senyum lagi terus pancing saya lagi, tadi kamu percaya diri sekali tidak mau obat tidur. Tapi saya tak mau terpancing, saya diam saja.
Lama bicara lagi, saya bosan. Dia tanya soal keluarga yang saya jawab begitu saja. Lalu soal pacar, lalu soal kegiatan sehari-hari, lalu soal saya suka masak apa. Ya ampun, apa urusannya saya tak bisa masak nasi baik dengan soal kecemasan. Saya tak habis pikir.
Kalau kamu saya suntik bagaimana? Pertanyaannya aneh, saya jawab: silahkan. Dia tekan saya, kok pasrah sekali? Saya jawab, kan ibu dokternya. Dia pancing saya, jadi kamu merasa sakit? Saya tak bisa jawab, saya diam saja. Dia tanya, kamu percaya keajaiban? Kepala saya pusing. Di mata saya berputar ilustrasi novel kecil berjudul: Pangeran Kecil. Ada rubah merah yang berlarian dekat rumpun mawar, lalu si pangeran yang rambutnya kuning tengah memandangi tukang menyalamatikan lampu jalan, lalu butiran-butiran planet, lalu pangeran kecil telungkup di atas tembok dan ada ular di bawah tembok, lalu gigitan ular, lalu mati, lalu bintang-bintang, tubuh yang ringan. Tapi saya tak tahu saya percaya atau tidak. Bu Dokter Jiwa menunggu, saya bingung. Saya jawab, saya percaya keberuntungan.
Mengapa dulu kamu pergi begitu jauh? dia tanya saya begitu. Almanzo Wilder, jawab saya. Mukanya lihat ke saya, dia meminta saya bercerita. Saya kasih petunjuk siapa tahu dia ingat atau pernah nonton di tivi: Almanzo Wilder suami Laura Ingals di seri Little House On The Prairie. Dia minta saya lanjutkan, maka saya lanjutkan: Saya suka kebun jagung, kebun apel, peternakan banyak kuda sapi dan ayam-ayam. Rumah kayu sepertinya hangat, dan ada loteng penyimpanan bawang, juga gudang bawah tanah tempat simpan keju dan gula. Saya bermimpi punya seekor kuda nanti seperti Almanzo punya seekor kuda dengan corak berwarna putih di dahi. Almanzo kasih nama kudanya dengan nama Si Bintang. Bu dokter lalu bertanya, kamu mau jadi petani? Saya tertawa kecil, tidak juga kata saya. Saya pemalas.
Dia katakan, saya harus berani keluar dari zona nyaman. Dia bilang dia tidak mengerti apa yang saya cemaskan karena saya tak bilang dan mungkin sedang tak bisa definisikan. Jadi dia katakan tentang jadwal pertemuan ulang, saya iyakan saja. Dia dekatkan wajahnya ke saya dengan ekspresi ramah, katanya: jangan pikirkan atau tebak-tebak apa yang akan kita lakukan besok. Santai saja dan biarkan mengalir katanya. Saya bilang itu klise tapi ada benarnya. Dia tersenyum lalu tanya, kamu kristen? Ya kata saya. Tentu pernah dengar kalau kekhawatiran tidak akan menambahkan apapun di depan malah bisa membuat segala lebih buruk, dia katakan begitu. Saya mengangguk. Dia bilang, serahkan semuanya pula pada tuhan. Ah, saya mendengus dengar itu. Dia tersenyum, kamu tak percaya tuhan? Saya diam sejenak, saya jawab saya tak tahu. Karena itu kamu khawatir dengan dirimu sendiri? Dia tanya lagi dan minta saya pastikan lagi: begitukah? Saya tak tahu jadi saya diam saja.
Kami bersalaman, lalu saya tinggalkan ruangan di lantai empat itu. Saat menuruni tangga keramik saya merasa udara begitu dingin, hampir-hampir saya menggigil. Saya jadi rindu kamar saya dan ritual tidur tiap dinihari: matikan lampu, nyalakan kipas listrik, lalu menutupi seluruh tubuh sampai kepala dengan selimut tebal. Saya takut hantu: hantu dibawah ranjang (karena itu saya tidak suka ranjang tinggi), hantu di luar jendela (korden selalu saya pastikan tertutup rapat dan jendela terkunci), hantu di belakang punggung (saya tidur dengan punggung di tembok), hantu di balik langitlangit (saya tidak tidur terlentang). Doa sebelum tidur saya semenjak kanakkanak tak pernah berubah, saya tak temukan rumusan lain yang lebih nyaman: Tuhan, saya mau tidur. Jauhkanlah dari segala roh jahat agar saya bisa tidur dan bangun dengan tubuh dan jiwa yang segar, amin.
Rupanya Jogja sudah sore, terik matahari panas menyambar muka saat keluar dari gedung rumah sakit. Saya ambil motor, jarum bahan bakar menujuk pada huruf E artinya "Entek". Tentu mestinya "Empty" tapi saya merasa tak cukup gagah,intelek, dan kaya untuk bicara bahasa asing begitu. Saya pasang headset lalu pakai helem, saya tekan tombol main acak di pemutar musik. Sebuah lagu berjudul Nemo oleh band Nightwish melantun disana.
"This is me for forever, one of the lost one. This is me for forever, one without a names"
Saya gas motor saya pulang, dan akan kembali lagi bertemu bu dokter jiwa yang cantik beberapa hari kedepan. Rasanya itu masih lama sekali, sepanjang jalan saya berpikir apa yang harus saya lakukan untuk habiskan waktu. Saya takut menjadi bosan.

Postingan populer dari blog ini

A Servant's Letter

Ibadah Sepanjang Usia (Dorothea Rosa Herliany)