Lepaskan Taji Kita!
Bergidik tengkuk Aswatama mendengar semua berita ini, giginya gemeletuk geram. Lekas ia berdiri diantara kaum kuru,
"Jika kita tahu segala cilaka ini tiadalah suci dan mulia, mengapa pula masih kita pertahankan taji di mata kaki?!"
Kecewa berkilat di matanya, ia letih mendengar cacian pengecut dilesatkan dari berbagai arah. Hanya karena ia menolak memalingkan wajah pada perang, seolah ia tidak lagi pejantan. Matanya masih berkilat seperti kilap keris setengah dicabut, siap kapanpun dimulai. Teriakan parau ia kumandangkan keseluruh aula,
"Lantas bagaimana sekarang, bagaimana rasanya jadi Ayam Aduan? Kau, ya kau, dan kau yang mengaku putra Kuru sang mahaguru tapi kebingungan memahami semua siasat? Betapa memalukannya! Bahkan kalian bersepakat menjual gunung merbabu demi belati terikat di kaki?!"
Teriakannya lantang bersambung tawanya bergelagak memecah kebuntuan sunyi disana. Sesaat kemudian ia diam, melayangkan pandangan tajam ke wajah-wajah kebingungan disekelilingnya. Nafasnya memburu, ia menepuk-nepuk dada,
"Aku Aswatama, akupun putra kuru malu kaum keluargaku direndahkan seperti ini! Tapi kukatakan kepada kalian semua. Meski aku disebut-sebut lahir dari seekor kuda, aku tak mau membinatang!"
(YHK/140116/19.35WITA, dalam dukacita yang mendalam untuk korban. Sejenak mari melepaskan taji)