Kita Tidak Pernah
Pagi itu berwarna biru, sedikit gelap karena kantuk yang masih menggantung di mataku. Dingin udara terasa,mungkin kopi Toraja hangat dan donat gula aren bisa menjadi pembuka sempurna pagi ini setelah menunggu semalaman. Kau tak membalas pesanku, tak juga mengangkat panggilan teleponku.
"Kalau ingin pergi kenapa tak mengatakan apa-apa" gumamku dalam hati.
Selaput tipis yang entah apa selalu menahan hingga banyak hal aku gumamkan dalam hati saja, tak mampu untuk keluar. Entah apa itu, apakah itu zona aman ataukah sabuk batas perlindungan suci dari Tuhan. Selaput yang angkuh, keangkuhan yang kubanggakan. Lucu sekali, terlalu tragis untuk ditangisi layak untuk ditertawakan: bahkan aku tak bisa pergi dari sini.
Kurungan tebing-tebing batu yang tak habis-habis menguras keringat penambang mencari makan. Tak lagi selaput, tapi batas yang terlalu keras serupa harga tiket pesawat untuk menemuimu yang membuatku berpikir dua kali.
"Win, laporan produksi triwulan kemarin sudah selesai?"
Tiba-tiba bosku sudah berdiri didepanku, menampar lamunan yang dari tadi hanya membalik-balik kertas. Entah mencari apa, tidak mungkin dia ada di atas mejaku.
"Win?" bosku memanggil lagi,
"Sudah dari kemarin lusa, sudah saya email kan pak ke bapak direktur juga" jawabku dengan nada yang ku santai-santaikan.
"Ok, kamu baik-baik saja win? Ada apa seperti ada sesuatu?"
Bosku ini memang baik, terlalu baik sampai membuat kawan kerja lain cemburu atas perhatiannya padaku. Kebaikan yang menjeratku lebih lagi, kakiku terikat jerat sementara terkurung dalam lengkung tebing batu. Tidak ada kurungan yang lebih sempurna lagi, segalanya menjelma selaput berlapis yang menyesakkan dada.
"Kemarin saya sudah bicara dengan bapak direktur, kamu bisa pulang paling cepat sesudah natal" dia melanjutkan lagi, jawab yang tak kuinginkan.
"Terimakasih pak, saya akan selesaikan semua" jawab basa-basi pada sebuah janji yang tak terbatas waktu.
"Kapan, Januari? Maret? Agustus? Tahun depan?" lagi-lagi aku bergumam.
Bosku memandangku sejenak seolah mendengar isi hatiku lalu pergi.
***
"Sudah ada keputusan"
"Apa?"
"Paling cepat Desember"
"Kamu tidak apa-apa?"
Aku terdiam, aku tersenyum. Inilah hati yang bening cerah membentang putih lembut biru laut pantai Bulukumba. Selangkah kau masuk, atol menanti kedalaman hati yang mengundangmu semakin dalam. Sesuatu yang tak pernah kau tunjukan, namun setia dibuka untukku olehnya.
"Tidak apa-apa, hanya mulai betah"
"Semangat ya sayang, nanti kita jalan-jalan disini"
Perempuan itu tak lelah menunjuk sinar mentari di ujung badai. Tangannya yang kurus kecil tergetar sekuat-kuatnya melayangkan arah, untukku. Lelaki manja yang tak henti membuatnya menangis. Kemarin malam kita bicara dalam pesan, bersitan-bersitan rindu yang mencoba realistis. Seperti burung yang mencoba berjalan diatas tanah, dan kelelahan karena tercipta bukan untuk bumi.
"Hanya terlalu lama jauh"
"Empat tahun, tidak terasa"
"Kamu berubah tidak antusias seperti dulu"
Dia melenguh cemberut, wajah manja yang hanya ingin dirayu. Empat tahun bisa berarti banyak, namun bisa juga tidak berarti apa-apa. Aku malu, pada cintanya yang tak berubah.
"Aku lebih jinak"
"Maksudnya?"
"Kita dulu bertemu saat aku tengah menantang hari, mencoba memutar takdir"
"Hahahaha"
Siang ini udara dingin menggigit, tubuh lelah yang kurang tidur. Terik matahari tak menghangatkan, hanya membuat sakit kepala. Urat yang berdenyut dalam tengkorak, sakit yang berpindah dari hati yang sekarat. Kertas-kertas di meja menjadi puisi yang membosankan.
"Tak pantaskah aku?" sebuah gumam yang biasa. Selaput yang mulai aku tak suka menahanku, tapi mungkin. Entahlah.
Kuperiksa ponselku, kamu belum membalas pesanku. Kemarin dulu katamu sibuk dan banyak prioritas yang lebih penting daripada aku yang tak jelas. Ingin kuhujam-hujam wajahmu dengan tinju, tapi tak mungkin sampai.
x