Tidak Benar-benar Punya Pilihan Selain Bahagia
Tadi pagi baca pesan gambar yang dalam bahasa bunyinya seperti ini:
"Saya menyadari kenapa saya tersesat: Bukan karena saya tidak memiliki peta tapi karena saya tidak memiliki tujuan"
Kemudian sesuatu yang sudah seringkali muncul soal tujuan dalam pikiran muncul lagi begitu saja,
"Apa yang saya inginkan?,"
Sebenarnya lebih tepat,
"Apa yang "saya" inginkan?,"
Seolah-olah kita benar-benar punya pilihan. Namun kita juga mengenal apa yang disebut dengan pertimbangan, seketika itu juga kita tahu bahwa kita tidak benar-benar punya pilihan. Kita semua sebenarnya tersesat, hanya sadar atau tidak.
Kita bisa berpanjang-panjang soal itu, tapi tidak dapat dilupakan bahwa dalam titik awal kehidupan pun manusia tidak punya pilihan: apa ia dapat memilih untuk dapat dilahir kan atau tidak?.
Ini semua berwarna kelabu, seperti hari-hari di musim penghujan. Tapi, ada banyak kembang-kembang tumbuh dalam perjalanan ini. Segala yang disebut: Indah, Berharga, Gairah, Cinta, dan lain sebagainya. Seperti petualang yang terkagum pada sebatang kembang tadi, kita menemukan pilihan-pilihan kecil kita sendiri.
Ketersesatan bersama ini pun membawa kita pada tempat-tempat tidak terduga, pertemuan-pertemuan, dan segala yang lain dalam kotak-kotak kado menanti dibuka. Kita tidak benar-benar punya pilihan selain membukanya. Seperti dialog dalam film yang amat sering muncul:
X: "Apa aku harus membukanya?"
Y: "Bukalah, kamu tidak punya pilihan lain"
Oke, lantas terus apa?.
Kesadaran, kesadaran bahwa kita tersesat. Tanpa kesadaran kita adalah mesin yang tidak pernah tahu: kita punya peta kemampuan untuk menanggung derita dan kita juga tidak benar-benar punya pilihan selain berbahagia.
_______________
Bertumbuh dewasa itu menyakitkan ya men, layaklah kelak dihari tua kita akan menangisi masa muda.
Tulisan ringan untuk Pdt. Barmen Brevis L.