Kubantu Merobeknya

Kerongkongan itu luka, katamu kau robek sendiri. Aku ragu, kau cukup berani, tapi kemarin dulu pisaumu salah. Alih-alih mati, jahitan yang kau terima malah makin menyakitkanmu. Ingatkan?
Dulu aku cuma tertawa, tapi kini aku mau membantumu. Kau mau?, Oh tentu, aku tahu kamu bersedia kubantu. Duduklah, biar kubimbing pelan-pelan.
Robekannya harus sempurna benar. Jangan pisau tajam, gunting kuku saja. Lukai kecil-kecil, senti demi senti haris dinikmati. Potong saja, tidak harus rata, ke kanan ke kiri pun boleh. Sakit?, tidak kan?.
Lihat, hasilnya bagus. Darahnya sedikit tapi mengalir. Jangan potong lagi nadi yang itu, begini saja cukup. Biar mengalir sedikit demi sedikit mengisi paru-parumu. Dengar, itu suara udaramu terkocok dengan darah di paru-parumu. Suaranya seperti orang mengorok, lucu ya?.
Sesak?, masih bisa bernafas?. Apa?, aku tidak bisa mendengarmu, kau pening?, kau mengantuk?. Apa?, katakan dengan jelas. Kau mau menutupnya lagi?. Ini, pakai staples ini. Pegang lembar dagingmu satu, dekatkan dengan sayunya. Nah, sekarang jepret. Santai saja, jangan bergetar tangamu begitu bisa meleset. Satu-satu saja perlahan, dari bawah ke atas. Jepret! Jepret! Jepret!. Perih ya?, tidakkan?.
Hey, hey bangun. Kamu mati?, jangan dulu. Ini belum selesai, kulitnya belum kau rajut.





Postingan populer dari blog ini

A Servant's Letter

Ibadah Sepanjang Usia (Dorothea Rosa Herliany)