Menjelang Desember

Pagi yang kuning memaksa masuk dari celah tirai selimut gari-garis. Mungkin dia kecewa setelah masuk, sebuah kamar berantakan dengan setumpuk pakaian kotor disudut. Akupun tidak suka dengan kamarku, lantai marmer krem kekuningan dengan cat dinding yang juga krem  kekuningan. Semuanya nampak berdebu lengket – sebenarnya memang berdebu lengket. Tapi malam tadi, malam yang lebih tidak aku sukai: seseorang pergi.


“Kopi Win?”

“Ya”

“Apa?”

“Bungkusan saja”

Donat balut gula aren ini terlalu manis, sampai agak linu gigiku. Tapi di kantin lingkungan tambang ini apalagi yang bisa kudapat? Tidak ada, ini sudah cukup bagus sebagai pengganjal perut daripada bala-bala tepung terigu melulu. Seseorang berseragam karyawan didepanku nampak tidak nyaman dengan kopinya, mungkin aku yang duduk didepannya ini membuat kopinya jadi asin. Aku tidak suka seperti ini, kenapa orang-orang terutama karyawan di level paling bawah selalu tidak nyaman dengan adanya aku di kantin. Aku cuma mau minum kopi dan makan donat, seperti mereka. Kopi hitam instant dan donat gula aren, manipulasi hati yang hambar pagi ini.

“Yayi, aku telah memilih untuk menjadi terbatas lalu kau datang” dia diam, aku menunggu jawaban.
Aku tahu ini berlebihan untuk anak kecil yang kehausan, lelah pada dunia yang tidak mengerti kehausan macam apa. Sesuatu yang serupa, rahasia dari tenda Pramuka kecilku tiga belas tahun silam.

“Mas, aku menyerah tentang kamu”.
Lalu dia diam, tidak pernah membahasnya lagi. Kami jarang bicara kemudian hari, yang aku tahu dia dekat dengan seseorang di pulau seberang. Harapannya kusangsikan, sisi idealis naifnya yang hanya bisa digosok oleh waktu. Dia perlu sedikit berkaca, juga aku - karena orang itu lebih tampan. Menyakitkan, sialan.

Diluar jendela seng dan kayu, bukit-bukit batu melulu. Bukit yang setengah terpotong, mungkin perusahaan disana putus asa kehabisan modal. Pemandangan menyedihkan didepan mataku selama empat tahun terakhir. Masa yang hampir berakhir sejalan dengan digit rekeningku yang hampir sampai pada nadir. Apa aku harus berhenti dan meninggalkan potongan yang belum selesai, aku tak tahu. Sama tidak tahunya apakah kopinya yang memang pahit atau donatnya yang terlalu manis

“Jadi kapan kau pulang?” baru hendak naik ke lantai dua Bu Neneng sudah menodongku dengan pertanyaan. Perempuan sunda yang dibawa suaminya ke negeri jauh semacam disini, kutahu dia akan kehilanganku. Kami bersahabat lebih dari teman kantor meski dia anak buahku, suaminya, juga anak-anaknya kukenal baik semua.

“Paling cepat Desember kata bos” jawabku singkat sambil berlalu. Dia diam, dari sudut mataku kutangkap dia masuk ke ruang kantor administrasi. Kurasa, perutku tiba-tiba jadi masam.

“Jadi kau pulang Win?” Sekarang giliran Bu Indo bertanya dengan logat Bugis-Makassar yang khas. Aku tersenyum, wajahnya makin penasaran. Ibu-ibu polos yang kopi dan minuman bikinannya selalu enak, aku juga akan kehilangannya setiap pagi. Setiap kopinya yang tidak bisa kutolak biarpun perut sudah masam kopi di kantin.

“Kenapa memang?” Aku balik bertanya.

“Tidak ji, sepinya itu nanti” dia menunduk melanjutkan membawa nampan kopi ke ruangan manager diseberang pintuku.

Ruangan ini selalu sama, disempurnakan tumpukan kerta laporan yang menanti di atas meja. Puisi-puisi kosong membosankan yang menceritakan angka dari hari ke hari untuk kubacakan ulang pada tiap rapat. Kulempar tasku kebelakang meja, lalu bersandar di kursi – kamu segera menguasai kesadaranku. Kapan aku bisa membisikkan puisi-pusiku sendiri ke telingamu yayi, lalu mencium telingamu jatuh ke lehermu. Jantungku berdegup selintas imaji, naik tinggi sampai dikepala. Aku perlu bersandar, sungguh aku perlu bersandar. Aku tahu kau takkan membalas pesan di ponsel, demikian aku takut segalanya berhujaman ke dasar jurang. Bibirmu terlalu manis, namun hatiku terlalu pahit.


Aku akan pulang yayi, tidak lama lagi
Kau tak perlu tau kapan, agar kau tak lari
Apa aku akan mengenalimu?
Kita tak pernah bertemu


Segalanya mulai menjadi abu-abu, ruangan sudut ini membulat merupa liang di bukit batu. Dingin, gelap, dan aroma lembab yang menusuk. Kurasa aku mulai tertidur, bising mesin pabrik menjadi sayup. Seperti masa lalu, bayang-bayang itu datang berdiri didepanku lalu mengelus rambutku. Tangannya hangat itu bukan hantu, kupandangan samar wajahnya.

“Oh, kamu” sambutku.

Tangannya dirambutku membuatku mengantuk, seperti ibu saat meninabobok kami berdua. Dia tersenyum, lalu masuk perlahan seperti asap dalam kepalaku.

Sudah-sudah, sudah runtuh
Tunggu saja, tunggu saja waktu
Bagaimana kalau dia tidak pernah kembali?
Biarkan saja mati, bukankah itu maunya
Tapi sudah pernah aku mengemis, untuk berhenti, begini saja, menunggu waktu
Dia pergi kan? Tak ada jawabnya?
Ya, tapi entahlah
Bodoh, kenapa mengemis?
Kamu tahu kan, aku kamu rumit. Kadang kita sependapat, bertolak belakang, tak bicara, dan rumit.
Tapi kenapa mengemis? Kamu terhanyut dalam permainan bodoh!
Anak kecil, kasihan. Dia cuma haus, yang tidak dia mengerti apa untuk melegakannya
Itu kan katamu saja
Aku mau dia berhenti, lingkaran itu merupa labirin tak berujung.
Ya akupun mau itu, tapi kamu terlalu jauh
Munafik, kamu tahu sendiri apakah kita bernafas waktu itu. Saat ia selalu bicara tentang orang lain, ini, itu, bagaimana ia membuang waktu dan berakhir seperti itu.
Itu seperti drama, tapi ia seolah berkata hanya pada kita.
Aku percaya
Aku tidak
Bodoh, lalu apa itu kepalan tanganmu waktu itu? Tembok yang kamu pukul malam itu, membuatku repot pagi harinya.
Aku cuma
Sesak?
Ya
Nah, lalu kamu mulai menyalahkanku
Dia layak mendapat yang lebih baik dari kita!
Dan mulai menyuruh-nyuruh dan menawarkan orang-orang lain lagi? Jahatnya kamu menjerumuskan dia makin jauh ke labirin itu.
Aku tak bisa bernafas, aku tidak sanggup tapi harus
Sama, aku takut mengorbankan dia untuk kita
Sebenarnya, apa bisa kita lari dari keterbatasan ini?
Tidak, sumpah mati sudah terucap
Lantas, hanya jika dia bisa menerima?
Ya, tapi itu jahat
Bodoh!
Kenapa?
Berputar-putar saja, melelahkan
Begini saja, kamu menginginkannya?
Kamu sendiri?
Ini rumit
Buat saja jadi mudah
Kenapa tidak kamu saja duluan menjawab
Ya dan tidak
Bertele-tele,ya atau tidak, kenapa harus pakai “dan”
Aku yakin jawabanmupun sama soal “ya”, sudah lama kan kamu memperhatikannya setiap saat sebisamu bertemu? Kamu tahu sejak awal bagaimana, bagaimana waktu sudah terlalu terlambat buat kita.
......
Bukankah kita dulu sudah sampai ke kota itu, tapi mengurungkan niat karena ragu. Tapi bagaimanapun juga kita tahu kita mengingkannya, jauh hari sebelum dia bicara.
Tapi
Makanya itu, aku jawab iya dan tidak!
Kasih harusnya lebih rela
Berkorban lebih banyak
Asketis
Harus berkata tidak
Betapa jahatnya kita tak mampu menanggung itu
Jadi, jawaban kita sama?
Sepertinya
Apa yang kamu sesali?
Memancingnya bicara di tepi pantai waktu itu. Menjerumuskannya dalam labirin itu, yang entah apakah dia berusaha keluar atau makin dalam sekarang.
Bisakah kita menebusnya? Halah pertanyaan bodoh, pastinya tidak.
Ya tidak, itu dosa kita. Dosamu, nafsu itu ada padamu!
Pengecut, kamu kan yang melemparkannya padaku.
Kamu mau
Kamu juga
..............
Cantik memang
Hahaha, ya aku setuju
Bodohnya orang yang menolak keindahan seperti itu
Tapi kan kita tidak tahu alasannya apa, tapi kamu masih marah?
Apa ada gunanya sekarang?
Dia bilang semua omong kosong
...............
Aku pernah bilang, rasanya cemburu
Dia tanggapi apa?
Tidak tahulah
...............
Sisi lain ya
Apa maksudmu?
Di mata dia, kita bukan apa-apa katanya
Begitu?
Kamu tersinggung?
Tidak, cuma makin sesak
Dia yang pertama
Ya, dia yang pertama
Tapi kita bukan yang pertama
Sudah-sudah, sudah runtuh
Memang sudah, bodohnya kamu
Kita seharusnya menerima saja kenyataan ini, mungkin dia benar semua ini omong-kosong, mungkin benar tak perlu berpikir apapun.
Meski kamu ingin?
Aku berharap, iya aku mengakui. Ya dan Tidak mu tadi, rasanya satu kan?
................
Satu, dan itu sungguh-sungguh. Kamu tidak bisa membohongi aku soal ini, karena kamu adalah aku.
Kamu mulai melemparkannya lagi padaku ya?
Apa kamu bisa tidur? Apa kamu bisa melepas matamu itu mencari-cari kabarnya? Apa itu tiga gelas kopi setiap malam? Sekali-kali jangan berdusta dan berpura kuat.
Kita tidak bisa apa-apa
Memangnya putusanmu pulang itu soal apa?
Kita tidak bisa apa-apa! bodoh!
.................
Dengar, sejauh-jauhnya upayamu ingat tadi sisi lain, hargai dia! katamu ya dan tidak, inilah tidak! Bertahun kita membangun jalan lurus ini, biarpun runtuh setidaknya ini untuk kita sendiri! Sumpah mati sudah terucap! Apa layak pendusta seperti kita untuk dia?
Dia cuma datang terlambat, itu saja
Tapi hidupnya berharga bodoh! Lagipula apakah kelak tidak juga kita mengorbankan hati orang-orang yang lebih dulu kita temui? Pikirkan itu!
Tapi rasa sayang itu ada, itu nyata!
Pertemuan ini semu! maya! niscaya benar semua ini tak ada ujungnya, omong kosong semata!
...............
Paham?
Yang kupahami sekarang kamu sesak nafas begitu, kamu terlalu berlebihan, drama murahan!
Kaki kita masih berpijak diatas tanah, jangan lupa itu
Kamu takut kecewa? Takut bahwa kamu nyata tak berharga?
Maksudmu apa?
Kalaupun benar sejenak waktu kita disana, apa benar kamu akan menemuinya? Diijinkan atau tidak kau akan tetap menemui dia?
Kita pernah berkaca, dan kita tidak menarik..
Kan, apa kubilang? Kita selalu mengumbar janji dan takut untuk memenuhinya walau hanya selangkah lagi.
Berarti aku benar kan?
Tidakmu tadi itupun sama, hari ini kau berkeras tapi lihat hari lain tak ubahnya anak kecil.
Kita perlu berpegangan pada sesuatu, sesuatu yang lugas yang tak perlu dikupas-kupas lagi.
Ya, angin keras. Hanya angin keras yang mematahkan dahan.
Tapi apa yang sudah dia katakan, aku rasa itu saja yang kita pegang.
Ini semua omong kosong?
Ya, itu
Dia muak pada kita
Ya, anggap saja begitu
Tapi tidakkah lebih memuakkan dia yang kesana kemari mengikuti dahaganya itu dan tidak sedikitpun melihat kita?
Kenapa kamu mulai lagi?
Hei, ini kenyataan yang kamupun bisa melihatnya. Keluar masuk kelompok seolah tak menghargai apapun selain dirinya sendiri? Ya, kamu melihatnya! Ingat betapa kecewanya kamu mengharapkan bantuan darinya tapi dia hanya memikirkan dirinya sendiri?
Sudah, sudah jangan berputar-putar.
Aku tidak berputar-putar.
Kamu mencoba mengubah hatimu pada dendam, pengecut!
.................
Mencari-cari alasan saja untuk menjauh, tidak kita tidak begitu. Dimanapun kapanpun siapapun dengan mudahnya bisa menggores kesalahan-kesalahan orang lain dan mengubahnya menjadi alasan untuk membenci.
Aku hanya ingin dia lega, berhenti dari itu semua.
Kenapa pula tadi kau bicara seperti itu, berputar terus tidak jelas
Hanya tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti
Kita begini, seperti sedang mengemis saja
Benar
Bagaiamana kalau kita berdua membuat kesepakatan? Kesepakatan yang kita yakini sebagai kebenaran?
Kebenaran,  kebenaran yang menjadi miliknya saja, begitu?
Ya, angin keras tadi. Peganglah itu saja, bagaiamana?
....................
Kamu masih ragu? Masih berharap? Masih akan berkata ya dan tidak? Tidakkah kamu sadari semua pembicaraan ini menuju pada simpulan lebih baik tidak pernah mengenal, tidak pernah ada?
Tidak, aku tidak setuju
Lantas?
.................
Apa?
Dengar suara hatimu, itu kebenaran kita.
.................
Sudah? Bisa mendengar? Apa kata hatimu?
Tunggu saja, tunggu saja waktu
Bagaimana kalau dia tidak pernah kembali?
Biarkan saja mati, bukankah itu maunya
Kita harus tetap menemuinya!
Ya, tapi hanya jika ingin ditemui
Bagaimana kalau tidak?
Kita berdua akan berbincang lagi
Sudah-sudah, sudah runtuh
Tak apa, kita akan membangunnya lagi
Pergilah sekarang
Baik, kau kan kembali lagi
Kamu yang datang, bukan aku
Hahaha, terserah

Sayup kudengar langkah kaki, suara sepatu karet melangkah diatas lantai marmer yang kukenal. Ah, entah berapa jam aku tertidur. Kuperbaiki posisi dudukku, pintu diketuk dua kali lalu terbuka.

“Frater, sudah malam. Frater tidak makan? Atau mau saya bawakan makanan?”

“Tidak usah Pak, biar saya cari makan sendiri” sahutku cepat.

“Frater sehat?” Pak Dono bertanya dengan mimik serius.

“Kurang tidur sepertinya Pak, jalan-jalan sedikit cari angin sepertinya penak” Jawabku, kutepuk pundak Pak Dono.

Dia memang selalu perhatian dan lembut, orang tua kasihan, menumpang tinggal dan bekerja di paroki ini sejak seluruh keluarganya meninggal dalam gempa bumi sepuluh tahun silam. Segalanya runtuh, jiwanya juga : didepan matanya tubuh-tubuh hancur itu dikumpulkan menjadi satu. Aku tak bisa membayangkan bila itu terjadi padaku, empati atau simpatipun sejatinya sulit dibedakan. Aku hanya ingin Pak Dono berdiri lagi dari segala yang tersisa, meski apa yang hilang tak mungkin kembali. Kepergian yang tiba-tiba tanpa pesan selalu begini, meremukkan sampai ke urat nadi.

Cahaya lampu kolom menyinari lantai ubin sepanjang timur kapel, mencipta bayangan-bayangan panjang langkah kakiku menyusurinya. Menakutkan bagi yang pertama kali lewat, tapi aku sudah terbiasa. Sebiasa bayang-bayang dalam mimpi tadi, seorang pria muda seumuranku tertidur diatas meja kerja. Terlalu sering kami bertemu, saat misa malam, diatas bis kota, dan di waktu-waktu lain secara tiba-tiba. Bayang-bayang memanjang menyusup masuk dalam kepalaku, berbincang seperti sahabat lama.

Siluet menara lonceng membayang di lantai, tinggi menjulang menghalang pancaran cahaya kota dibelakangnya. Gedung-gedung tua beratap tinggi terangkai mengeliling, memagari aku dan dunia diluar sana. Aku tertawa geli, menyadari gedung-gedung suci megah ini tak berdaya menghadang selembar surat putih menembus masuk seperti penyusup minggu lalu. Berjingkat-jingkat di atas lantai menebar aksara, meremuk pilar-pilarnya dalam senyap.

Mas, baik-baik disana?
Kapan kita bisa bertemu
Turunlah sejenak dari surga, ataukah rinduku terlalu hina?

Angkringan didepan paroki sepi, hanya ada dua orang sibuk makan. Sepertinya mahasiswa, baju kaos, tas punggung, dan sepatu kets. Kuambil tempat diujung bangku, dekat perapian tiga ceret supaya hangat sedikit.

“Kopi Mas”

“Kopi ireng?”

Enggeh, ojo legi-legi mas

Tidak biasanya jalanan ini sepi, hanya mobil dan beberapa motor sekali dua kali lewat.

Sampun dahar frater?” Mas Pras penjaga angkringan menanyaiku sambil mengelap gelas.

Ngopi mawon mas

Lak dhereng adven to frater, mboten enten puosone to?” dia lekas menyahut.

Biarpun dia muslim, karena sudah berdangan bertahun di depan paroki sedikit banyak dia tahu gerak ritual di paroki. Aku cuma tersenyum menggeleng, dia beralih menata gelas dilaci atas gerobak. Angkringan ini jadi makin sepi, tidak ada  gelak canda muda-mudi biasanya dan gosip-gosip cinta yang membuatku tersenyum terhibur saat mendengarkan. Sebenarnya usiaku tidak jauh berpaut dari mereka, belum juga kepala tiga. Itu yang membuatku kadang merasa perih cemburu, hidup mereka nampak seperti yang mereka inginkan. Ya, aku tahu pasti mereka memilih kesepian dan penderitaannya sendiri-sendiri.

Niku sinthen nggeh?” pertanyaan tiba-tiba membuyar lamunanku, tatap mata Mas Pras lurus ke seberang jalan dibelakang.

Aku memutar dudukanku, seorang gadis duduk di trotoar seperti menunggu. Membayang dari kejauhan selembar amplop putih di tangannya - sejenak jantungku berhenti berdetak. Dia menoleh ke arahku lalu menatap tepat di mataku. Bibirnya bergerak agak ragu,

“Mas?”





Postingan populer dari blog ini

A Servant's Letter

Ibadah Sepanjang Usia (Dorothea Rosa Herliany)