Kepodang Jantan di Tepian
Lalu Kepodang jantan itu kembali ke tepian air, mematuk lubang-lubang cacing sendirian. Melompat kesana-kemari, meninggalkan jejaknya sendiri diatas lumpur. Dahan pepohonan di barat air sunyi, hanya ilalang-ilalang tua bersebar tak keruan. Kepala kepodang jantan bergerak-gerak memandangi, ia tak mengerti. Karena naluri yang membawanya kemari, bukan kenangan.
Kamu tersenyum mengangguk-angguk pula lalu menghisap rokokmu dalam-dalam. Aku ingin kamu bicara, menanggapi apa yang kukatakan. Ya, ini caramu membuatku mencintaimu sekaligus membencimu. Setiap saat kamu merokok, aku menunggu asap itu keparu-paru pelan meracunimu sampai mati. Tapi bila kamu mati, dengan siapa aku bicara. Kamu sudah mengambil semuanya dan memberi semuanya, yang tersisa hanya kita.
Buatkan aku asap-asap bulat dari mulut mu, buatlah aku senang sesekali saja. Aku ingin kamu menanggapi sama seperti aku ingin melihat asap-asap bulat. Kutanya padamu, apa kamu masih mencintaiku? Kamu memegang tanganku, ragu-ragu dan makin lama makin erat.Inikah jawabanmu? Tanganmu dingin, makin kurus. Apa yang kamu makan sehari-hari dalam pelarian ini? Apa kamu mau aku mengantar makanan setiap hari? Aku siap. Tapi kamu cuma tersenyum dan menaruh telunjuk di bibirku. Ceritakan lagi katamu, oh jadi kamu ingin mendengarkanku saja? kamu mengangguk.
Tapi, apa yang ingin kamu dengar kemudian: kisah tragis peluru menembus dada kuningnya? Pepohonan tepian air habis terbakar? Atau tentang kepodang betina terpisah jauh di sangkar? Kukatakan kepadamu: Kita ingin bermain-main dengan diri kita sendiri. Kamu tahu itu kan, bermain-main begitu seperti kanak-kanak berlari dan tertawa-tawa.
Terakhir kita bertemu katamu ini semua soal kepenuhan diri, menjadi manusia sepenuhnya dengan merasakan kesedihan. Tapi kupikir kita hanya ingin bermain-main saja, sebuah sensasi. Kamu masih ingat betapa menyenangkannya mencuri rambutan dan tertawa-tawa saat di acung-acung parang empunya kebun jika ketahuan. Rambutan itu jauh lebih nikmat daripada jika diberi begitu saja. Kali ini kamu sulit membantahku, coba jelaskan rokok ditanganmu itu. Apa itu penderitaan? kesedihan? Ah, kamu tak mau menanggapinya kan? Baik, mari kita lanjutkan, jadi dengarkan aku.
Kepodang jantan itu terbang ke dahan-dahan tinggi. Paruhnya mencubit-cubit setandan jamblang, penutup mulut yang sempurna. Butir jamblang tua berjatuhan, kepodang jantan tak peduli. Mencubit, menelan seperti mengecap-ngecap. Bergerak-gerak mata kepalanya awas, lalu terus mencubit. Lalu ia terbang lagi meninggalkan jamblang-jamblang tua di atas tanah.
Katamu kemudian aku sedang ingin menyederhanakan segala sesuatu, menyerah dan pasrah pada garis khayal takdir. Kutatap wajahmu, kamu tersenyum lagi. Kutanya lantas apa pertemuan kita ini? sekali lagi kamu tersenyum. Kutanya lagi, Lantas apa senyummu itu? kali ini kamu malah tertawa tergelak.
Aku ingin kamu menyerah bersamaku. Semua ini sederhana dan hanya perlu bermain-main saja. Tidakkah kau juga suka drama-drama gelap yang selalu kau paksa aku turut membacanya dan membuatku mual-mual kemudian. Kenapa, kenapa kamu nampak tidak setuju? Kamu dengar tidak? lihat aku.
Kau mengangkat tanganmu memanggil pelayan, menambah segelas kopi lagi tanpa bertanya apa aku juga mau. Kau menunduk tak ingin melanjutkan, tapi tanganmu mash menggenggam tangangku.
Di pucuk Pohon Asem ia hinggap, melompat ke kanan ke kiri. Bulu-bulu dadanya berkembang, ia mulai bernyanyi. Sebentar, lalu sepi hanya suara angin. Kepodang jantan melompat ke dahan lain, bernyanyi lagi. Sebentar, lalu sepi dan lagi-lagi hanya suara angin. Ia menunggu jawaban, mungkin betinya atau mungkin hanya sekedar tanda ia ada. Kepodang itu terbang ke pohon lain, sejenak berhenti bernyanyi lalu terbang lagi.
Garis-garis kayu di meja memanjang membentang diantara aku dan kamu. Satu, dua, tiga, empat, lima ada lima garis diantara kita. Banyak sekali, kuharap hanya satu dan itu pilihanmu tapi ternyata tidak. Kita larut dalam permainan, dan kata-kata berserakan. Siapakah aku, siapakah kamu, siapa sang Kepodang jantan, kemana dia terbang. Apa kita benar-benar tahu? Kamu menggeleng.
Aku terlalu mengenalmu, seperti saat ini aku hanya menunggu jawaban yang sudah kuduga. Kamu akan berkata bahwa aku berpikir bahwa aku jamblang tua yang tidak ingin jatuh sendirian. Takut membusuk sendirian, takut menyadari aku benih yang tak subur dan tak akan menjadi tunas baru. Kamu mengatakannya pelan dan aku hanya memandangi gerak bibirmu bukan kata-katamu yang aku tahu - bibirmu lebih menagih. Kali ini aku tak menanggapimu, tidakkah kau lihat mendung dimataku. Tidakkah kau ingin ke kamar mandi dan aku menyusulmu untuk sebuah ciuman. Aku senang hanya dengan melihatmu, dan selalu kuharap ini abadi.
Senyap, pelayan menaruh kopi di depanmu lalu pergi kembali ke dapurnya. Sebuah garis kau tandaskan dengan sorot mata melahap lima garis melintang diantara kita, bagimu aku belum menyerah karena itu kaupun tak akan mengalah.
Sayap-sayap kuning bergaris hitam itu meluncur kembali ke tepian air. Di bagian berbatu-batu ia mendarat, melompat-lompat kecil kesana kemari. Kepodang jantan itu mencelupkan kepalanya ke air, mengangkatnya cepat dan air mengalir keseluruh bulu-bulunya. Seperti sebuah ritual, ia membuka celah bulu-bulunya basah lalu begoyang dari ujung paruh hingga ke ekor, butiran-butiran air melingkar menebar. Ia melompat, mencelup-celupkan badannya ke air lalu melompat ke batu lagi. Di bawah terik mentari dia membuka bulu-bulunya seperti kipas para penari, berputar, mengerjap mata. Kepodang jantan kembali suci, kuning cerlang cemerlang.
Kupancarkan warna sebisaku padamu. Kamu lelah, aku tahu. Tapi kamu-pun tak ingin menyerah. Kopimu yang baru masih penuh, minumlah pelan-pelan. Apa kamu mau menambah lagi, biar aku yang memesan. Aku ingin menahanmu berlama-lama disini, biarpun semula kau menolak karena kopinya yang mahal. Sebulan, dua bulan, setahun, dua tahun, meski yang kutahu kita harus selamanya begini tidak mungkin memiliki. Tapi kamu berkata ingin menyudahi hari ini.
Kamu tahu aku selalu tidak ingin ini terjadi, tak sekalipun aku berharap mendengarnya. Kau bangkit dari kursimu lalu memakai jaket dan topi tanpa memandangku. Dalam hatiku kurasakan awan mendung-pun menghampiri kelopak matamu. Aku tahu tiga orang diseberang meja sana membuatmu tak nyaman. Aku tahu lebih baik kamu waspada, tapi aku ingin disini lama lagi.
Kamu mengusap kepalaku lalu berjalan ke arah pintu. Aku lekas berjalan ke meja kasir membayar pembicaraan ini. Kulangkahkan kakiku cepat-cepat menyusulmu, sesaat aku takut kamu hilang tapi ternyata kau menunggu di luar pintu.
Aku tak ingin pergi dan kau tak ingin lari. Tapi inilah permainan kita, aku harus terus mengejarmu dan kau harus terus menerus lari didepanku. Perpisahan ini akan seperti biasanya, aku masuk ke mobil patroliku begitu saja berpura tidak melihatmu, lalu kau akan pergi ke arah sebaliknya - seakan kita tak pernah bertemu. Kadang kupikir lebih baik engkau dikandang agar aku bisa menjengukmu setiap pagi. Tapi kau berkata, aku cukup mencarimu ditepian air.
Burung kuning bergaris hitam itu terbang meluncur di sela-sela pohon. Ritual sudah selesai, dan ia menjadi terlalu cerah diantara dahan. Ia hanya mengikuti nalurinya untuk terbang singgah bernyanyi sebentar, tapi tepian air adalah juga kenangan.Garis-garis hitam diatas warna itu tak akan hilang, tidakah ia hanyalah seekor Kepodang jantan.
Terdengar suara letusan, dari kaca spion kulihat tubuhmu ambruk diatas trotoar. Aku memang belum menyerah, aku hanya ingin memenangkan permainan ini. Kamu berjanji, Kepodang jantan akan menari untukku saat aku datang nanti. Tapi kali ini aku tak mau menunggu, aku ingin ia bernyanyi setiap pagi.