Imayani
IMAYANI
Oleh Meob
"Mamak!
Daeng Sira kena bom!" Ijal berteriak dari pintu depan. Astaga,
cepat-cepat kutinggalkan kupasan kerang hijauku. Dari jauh kulihat orang
kampung sudah ramai berkumpul di Puskesmas pulau. Aku bergegas turun dari rumah
mengikuti Ijal yang berlari ke keramaian.
"Mati?"
Nurni rupanya dibelakangku.
"Tidak
tahu, belum kulihat. Ayo Nur" kugandeng tangan Nurni lebih cepat menyusur paving block ke
Puskesmas yang tinggal beberapa langkah lagi. Siang itu terik dan jalanan semen
ini panas bukan main. Tapi dalam keadaan begini orang-orang pulau tak peduli
bertelanjang kaki. Bukan kejadian sekali dua kali nelayan celaka kena bom ikan,
sudah berpuluh-puluh kali dan kami hanya menunggu kabar mati.
Tersengar
suara teriakan Daeng Sira kesakitan dari dalam ruangan. Aku tidak bisa
membayangkan apa yang sedang terjadi. Entah bagian tubuh yang mana yang pecah,
entah apa sedang dijahit menjadi satu lagi didalam sana atau dilepas satu
persatu sampai bersih. Dari kaca jendela kulihat Jul si perawat keluar masuk
ruangan beberapa kali dengan noda berwarna merah kental di seragam
putih-putihnya.
"Kena
tangan, waktu dilempar meledak" Jamal memberitahuku. Rupanya dia berada
dikerumunan ini pula. “Untung botol minuman dipakai, kalau besar habis itu”
tambahnya lagi.
"Dimana?"
Nurni bertanya penasaran pada Jamal.
"Disana
Karang Luara, sebelah Pulau Karanrang" sahut Jamal sambil mengulurkan
lengan buntungnya ke arah lautan. Nurni menoleh ke arah utara, raut wajahnya mencoba memetakan
lokasi yang Jamal katakan.
"Mana
kau tahu Nur, pergi keluar Pulau Samatelu saja kau tidak pernah" jawabanku
mengangetkan Nurni yang tengah berpetualang dengan peta di awang-awangnya. Jamal terkekeh melihat Nurni,
"Karena
aku tak tahu maka aku bertanya" jawa Nurni membela diri sambil mencubit
lengan Jamal keras-keras. Jamal dan aku tersenyum melihat Nurni.
Aku,
Nurni, dan Jamal menjadi seperti keluarga yang dekat. Meski pulau ini sempit
yang dari ujung ke ujung hanya sepelemparan batu, tapi Nurni dan Jamal hampir
setiap hari berkunjung ke rumah kayu milikku yang kecil ini. Jamal kadang
datang membawakan seikat ikan, cumi-cumi, atau keranjang bambu kecil berisi
udang. Nurni lebih sering datang membantuku mengupas kerang hijau dan bermain
dengan Ijal di teras panggung. Nurni kehilangan bapak dan dua kakak laki-lakinya
tujuh tahun lalu, bom ikan meledak tiba-tiba meledak di lambung kapal saat
dibawa. Kapal kayu itu jebol, lalu tenggelam bersama semua penumpang diatasnya.
Sedangkan si Jamal menjadi duda ditinggal istrinya lari pulang ke daratan karena
tak kuasa menanggung malu bersuami cacat. Bom meledak ditangan Jamal sesaat hendak
dilempar. Kini ia tidak lincah lagi memegang kemudi kapal, tidak bisa menarik
jaring cepat, tidak bisa memancing cumi sendiri. Sehari-hari Jamal membantu
mamak Nurni mengurusi ikan-ikan kering untuk dikirim.
Tidak
hanya kami, masih banyak nelayan sudah menjadi korban. Tapi di pulau ini, seolah
tidak ada yang belajar dari kehilangan kami, Pupuk-pupuk itu masih saja
berdatangan dengan kapal dari daratan.
"Mamak!"
Ijal tiba-tiba sudah disampingku, sepertinya ia tadi berusaha melihat kedalam
dari jendela sisi barat bangunan Puskesmas.
"Apa
nak?" kuusap rambutnya yang kemerahan terpapar matahari, lalu kugendong
pulang. Dagunya yang kecil bergerak-gerak di pundak kiriku,
"Apa
nak? Bilang apa maumu?" ku tepuk-tepuk punggung Ijal.
"Kata
Om Jamal, Bapak juga kena bom?" dia diam sejenak lalu bertanya lagi
"Tapi
kenapa Daeng Sira tidak pergi?"
Tak
terasa mendung di mataku lekas berubah menjadi gerimis. Ku usap rambut ijal
turun ke punggungnya pelan-pelan. Ijal menegakkan punggungnya dalam
gendonganku, jarinya memainkan cincin emas yang menjadi mata kalung didadaku.
Sulit
menjaga Ijal untuk tidak mendengar cerita kematian bapaknya di pulau ini, meski
berkali kuceritakan tentang bapaknya yang pergi berlayar ke lautan teduh di
timur jauh saat ia bertanya tentang bapaknya. Nalar kecilnya berusaha memahami
dengan mengkait-kaitkan apa yang dia dengar dari orang dan dari aku ibunya.
Logika tersambung, baginya jika orang kena bom ikan maka orang itu akan pergi
ke lautan teduh dimana bapaknya juga pergi.
"Kau
rindu Bapakmu kah Jal?"
"Tidak
tahu" jawabnya.
"Kenapa?"
kutanya lagi Ijal
"Tidak
pernah lihat Mak" jawab Ijal menusuk jantungku. Ia bersandar memeluk leherku,
kupeluk ia lebih erat. Nafasnya mulai terautur, rupanya Ijal mengantuk.
“Dimana
lautan teduh mak?” ia masih penasaran rupanya walau sudah lemah.
“Disana,
ke arah bintang yang bersinar paling terang sebelum pagi” kubisikan dongeng itu
di telinganya yang mungil. Kucium pipinya, ia sudah lemas tertidur. Segera kubaringkan
anak lelakiku di atas tikar sesampaiku rumah kayu. Sesaat aku limbung setelah
menaruh Ijal, kugapai tiang atap mencari pegangan.
Lima
tahun sudah berlalu dan aku sanggup, aku masih sanggup, aku masih sanggup. Kala
begini aku kerap berbicara sendiri meyakinkan diriku, kecelakaan Daeng Sira
mengembalikan gambaran tentang bapak si Ijal. Tapi ingatan itu tak mungkin
hilang. Nurdin suamiku pergi dan tak pernah kembali lagi saat usia delapan
bulan aku mengandung Ijal.
Aku masih
ingat sore itu. Haji Yusuf pemilik kapal dimana suamiku ikut, datang ke
rumahku. Wajahnya pucat, ia duduk menunduk lama di teras rumah tak berani
menatapku. Mamak Nurni kemudian menyusul naik ke terasku, saat itu aku tahu
berita macam apa yang ia bawa,
“Bagaimana
kejadiannya?” tanyaku dengan suara bergetar.
“Nurdin
turun seperti biasa, bawa satu botol” Haji Yusuf mulai sebentar lalu berhenti,
ia menutup matanya mengambil nafas dalam. “Baru turun belum satu menit, belum.
Baru saja turun, masih dilihat sebentar masuk ke air..meledak...maafkaan saya,
Ima. Maafkan saya” tangannya bersembah padaku. Kulihat air mata turun di mata
Haji Yusuf, ia juga tak kuasa menahan air mata.
Aku tahu
ini bukan salahnya, Nurdin sejak remaja sudah ikut kapal Haji Yusuf. Ia pula
yang meminjamkan uang tambahan pada suamiku dulu untuk naik meminangku. Akupun
tahu mengapa Nurdin yang turun, sikapnya yang pemberani dan suka menantang
bahaya pula yang membuatku jatuh cinta.
Nurdin
Alam nama lengkapnya, pemuda berkulit hitam yang bahkan tak punya kapal
sendiri. Aku suka caranya mendekatiku, membawakan ikan-ikan Kerapu merah
kesukaan Mamakku sambil mencuri-curi pandang. Ia akan tersenyumnya malu-malu
bila kulempar pandang yang ia cari dari atas teras panggung. Di atas teras
panggung pula aku mendengar kepergiannya.
“Hanya
ini yang didapat Ima” Haji Yusuf menaruh sebuah kotak kayu tembakau didepanku.
“Kuat
kamu membuka?” Mamak Nurni yang sedari tadi memelukku menanyai kekuatanku.
Kutatap wajahnya yang juga penuh air mata,
“Aku
harus, Nurdin suamiku”. Ia mengangguk, lalu membantuku mengambil kotak itu.
Perlahan
kubuka tutup kayunya, ada sebuah kain putih pembungkus didalamnya. Aku tahu apa
ini, didalamnya kulihat jari kelingking dan jari manis yang begitu kuhapal.
Jari yang dulu kuat menggenggam tangaku kala kami bermain di pantai, jari yang kini berwarna pucat kebiruan. Cincin
emas masih melingkar disana, cincin yang Nurdin beli dari hasil menjual kerang
hijau seratus basket. Entah bagaimana
Nurdin dulu bisa mendapat sebanyak itu, tapi katanya cinta bisa membeli kapal
kalau kita mau. Kusentuh jari-jari dingin itu, apa cinta juga bisa membawamu
kembali pulang.
“Nurdin”
terbata kupanggil nama suamiku.
“Ima,
Ima!” Aku mendengar sura mamak Nurni sesaat memanggil-manggil. Semuanya
mendadak ringan, lalu sunyi dan gelap.
Kuingat
esok paginya aku terbangun di Puskesmas, perutku sakit sekali. Pada malam
ke-tiga sejak suamiku meninggal, Ijal lahir dalam usia kandungan belum genap
sembilan bulan.
“Ima,
Ima!” Jamal memanggilku di luar, aku tersentak dari lamunanku. Cepat-cepat kuhapus
air mataku lalu berjalan ke teras panggung.
“Kau tak
apa-apa?” Tanya Jamal dari halaman bawah,
“Tak
apa-apa Jal, naik sini” kujawab Jamal dan kuajak naik ke rumahku, biasanya dia
meminta kopi. Ia paham kalau aku pasti terbawa pikiran jika ada kejadian
kecelakaan bom ikan di pulau.
“Tidak
usah Ima, saya mau pergi ke rumah Haji Yusuf” sahunya lekas.
“Apa mau
kau bikin Jal?” aku mulai khawatir Jamal mau turun lagi bom ikan. Ia tak
menjawab, hanya tersenyum melambaikan tangan buntungnya lalu pergi ke belakang
rumah kayuku. Kemudian dari sudut tepian pantai kulihat Nurni datang, ia
berjalan menunduk cemberut.
“Kenapa
kau Nurni?” kutanya padanya saat ia hendak berbelok ke tangga rumahku. Ia berhenti
lalu menengok ke atas, sepertinya tak sadar aku memperhatikannya dari atas
teras panggung.
“Bantu
dulu Kak Ima” nada bicara Nurni seperti kesal.
“Apakah?”
“Banyaknya
kerangku” jawab Nurni sambil menambah kerut cemberut di wajahnya yang bulat.
Kedua tanggannya membentang terbuka seolah-olah membentuk keranjang yang besar
sekali.
“Sebentar
kuambil dulu sisa kerangku, biar kuselesaikan lanjut di rumahmu. Tunggu di situ
nah”. Aku ke belakang mengambil sisa kerang dengan keranjangnya. Kulihat Ijal
masih tertidur, jadi aku perlahan-lahan berjalan keluar agar ia tidak
terbangun.
Rumah
Nurni termasuk besar diantara rumah-rumah di pulau ini, walau masih kalah besar
dari rumah Haji Yusuf. Semasa hidup, Haji Nawir bapak Nurni memiliki kapal
angkut besar dan beberapa kapal jaring sedang. Keluarga Nurni termasuk golongan
berada, banyak orang yakin usaha penangkapan Haji Nawir akan lebih sukses dari
Haji Yusuf seandainya ia masih hidup. Kulihat Hajah Ayu berdiri menata jemuran
ikan keringnya dihalaman. Ia perempuan Jawa yang dipinang bapak Nurni di Surabaya
lalu diboyong ke pulau Samatelu ini. Aku biasa memanggilnya mamak Nurni. Ia
menengok dan tersenyum, rupanya ia melihatku datang,
“Masuk
mbak Ima, Nurni dibelakang. Maaf lho mbak bikin repot, itu Nurni ikut-ikut kamu
katanya biar mandiri seperti Mbak Ima” logat-logat Jawa masih terasa dari
kata-kata Mamak Nurni biar bertahun tinggal di lautan Sulawesi ini.
“Sehat Mamak
Nurni? Lancar kulihat kapalnya Mak” kucoba memberi perhatian sedikit pada
perempuan yang rambutnya mulai putih semua ini.
“Halah Mbak
Ima, yang penting jalan. Pusing saya solar naik-naik terus, ikan makin sedikit
sama makin kecil-kecil.” Ia menjawab dengan berita buruk tapi raut mukanya
seperti biasa saja. Mamak Nurni lekas menyambung kata-kata “Yang penting tidak
celakai orang” sambil tersenyum dan melayangkan pandang menyindir ke arah rumah
Haji Yusuf. Aku tertawa saja, pembicaraan seperti ini kutahu ia hanya butuh
didengarkan.
“Mari
mak” aku berpamit hendak ke belakang, ia mengangguk membalas lalu melanjutkan
menata jemurannya diatas bambu-bambu melintang panjang.
Sampai di
kolong belakang rumah kulihat Nurni sudah duduk dengan belasan keranjang kerang
hijau mengelilinginya. Aku kaget, ternyata benar banyak sekali.
“Buat apa
ini semua Nurni, sisa-sisa ini kalau mau kau jual. Orang lelong Maros itu cuma sanggup ambil tiga keranjang.” Aku paham
betul daya beli pengepul kerang hijau dari lelang ikan Maros. Karena sejak
kematian Nurdin aku bertahan hidup dengan menjual kerang hijau kupas, mencari
selisih harga dari kerang hijau yang belum dikupas. Tidak banyak kudapat,
karena memang tidak banyak yang sanggup dibeli orang. Kerang hijau lebih mahal
dari kerang darah, katanya cuma restoran dan warung makan jalan lintas yang mau
ambil. Bila dihitung aku menjual satu keranjang dalam satu hari, karena Dawud
si pengepul mengambil tiga keranjang setiap rabu dan sabtu. Maka itu aku kaget
melihat keranjang-keranjang penuh kerang di depanku, apa yang direncanakan
Nurni.
“Pesanan
kak, katanya calon bupati yang menang kemarin pilkada yang ambil” terang Nurni
sambil terus membuka kulit-kulit kerang.
“Mau
bikin pesta kah?” tanyaku menyelidik. Kerang hijau sebegini banyak jika dimasak
tentu lebih dari lima panci coto,
hanya orang yang punya hajar besar yang memasak kerang hijau sebanyak ini.
“Entahlah
kak Ima, ayo bagaimana ini kak biar cepat” Nurni rupanya sudah tidak sabar.
Kulihat diujung ada beberapa keranjang yang warna kerangnya lebih pucat,
“Itu Nur,
yang sana itu dulu cepat-cepat dikupas. Terlalu lama nanti busuk, ayo angkat”
kuajak Nurni memindahkan keranjang-keranjang tadi. Mungkin kerang-kerang ini
diangkat sejak kemarin, banyak yang cangkangnya sudah terbuka seperti orang
kelaparan. Jika dibiarkan terlalu lama, dagingnya akan memucat dan berbau
busuk.
Lewat
satu jam lebih baru lima keranjang selesai, ini cepat karena mudah mengambil
daging kerang yang sudah lemas. Kulihat Nurni masih semangat, meski ia suka
mengeluh tapi sebenarnya tangannya tekun bekerja. Kadang-kadang kusebut dia
seperti Yanmar karena bulat seperti
mesin diesel kapal, dan kuat bekerja biarpun tidak kebut. Nurni kemudian
membalasku dengan menyebutku Dongfeng
mesin diesel buatan cina, untuk sekedar membalas ejekanku. Perlu kuakui, aku
mulai mudah letih. Mengupas satu keranjang kerang saja kadang-kadang aku perlu
berhenti sejenak meluruskan punggung.
Kudengar
ramai suara orang diluar. Nurni melihat padaku, rupanya ia juga mendengar. Kami
beranjak cepat ke depan meninggalkan kupasan kerang ini. Kudengar nama Ijal
disebut-sebut diluar, ada apa ini.
“Mamak”
kudengar suara kecil Ijal berteriak memanggilku.
“Iye, apa
nak?” kujawab panggilan Ijal sembari berjalan di samping rumah.
“Mamak,
lihat ini! Saya mau ke tempat Bapak!” teriak Ijal dihalaman menunjukan sebuah
botol hijau ditangannya. Samar kulihat seutas tali keluar menjulur dari bibir
botol itu. Jantungku berhenti berdetak,
“Ijal!!”
Sekuat tenaga aku berlari menuju Ijal, tiba-tiba seseorang menubrukku. Tubuh
kami berdua jatuh ke atas pasir.
“Ima,
jangan kesana!” parau suara Mamak Nurni disampingku, tanggannya erat meremat
rok panjangku. Kemudian kulihat Jamal berlari dari arah belakang punggung Ijal.
Ia menjulurkan tangannya merebut botol ditangan Ijal. Tangan yang salah,
botolnya terlempar ke atas menuju tempatku dan Mamak Nurni jatuh.
“Jamal!
Ijal!” aku berteriak sekuat-kuatnya. Tubuhku berontak berdiri, rokku sobek. Aku
segera lari pada botol yang mulai menukik. Kulihat Jamal mengangkat Ijal
menjauh, rupanya ia mengerti.
“Ima!”
Mamak Nurni berteriak memanggilku. Aku sudah tak peduli, asal jangan Ijal.
Kujulurkan tanganku menangkap, dapat!
Lekas
kupeluk botol itu dan kujatuhkan perutku ke atas pasir.