Soe Hok Goe Tentang Pembunuhan Besar-Besaran di Bali
Di Sekitar Peristiwa
Pembunuhan Besar-Besaran di Bali
(Membaca Tulisan Soe Hok Gie)
Soe Hok Gie mengawali tulisannya ini dengan sangat
berhati-hati, karena pada saat itu
setiap orang dapat saja dituduh dan kemudian diciduk karena disebut
“Gestapu” atau “PKI”.
“Dengan
mengemukakan hal berikut ini,penulis sama sekali bukan berarti membela
daripada Gestapu/PKI atau pun dapat membenarkan cara-cara mereka dalam menghabisi lawan-lawannya. Dari sudut moral pelakuan mereka yang demikian kejam dan biadab terhadap lawan-lawannya haruslah kita lawan dan kita kutuk, tetapi tidak sekaku dan sebiadab mereka pula.”[1]
daripada Gestapu/PKI atau pun dapat membenarkan cara-cara mereka dalam menghabisi lawan-lawannya. Dari sudut moral pelakuan mereka yang demikian kejam dan biadab terhadap lawan-lawannya haruslah kita lawan dan kita kutuk, tetapi tidak sekaku dan sebiadab mereka pula.”[1]
Ada
sebuah situasi yang sebenarnya aneh jika gerakan pengganyangan PKI adalah
bentuk pergerakan politik semata. Sebab Pulau Bali dari sudut strategis
kepentingan politik, militer, dan ekonomi bukanlah merupakan kekuatan yang
menentukan kalah menangnya perebutan kekuasaan di Indonesia. Akan tetapi di
akhir tahun 1965
dan disekitar permulaan tahun 1966, di pulau yang indah ini telah terjadi suatu malapetaka mengerikan. Penyembelihan besar-besaran yang mungkin tiada taranya dalam zaman modern ini, baik dari waktu yang begitu singkat, maupun dari jumlah mereka yang disembelih.[2]
dan disekitar permulaan tahun 1966, di pulau yang indah ini telah terjadi suatu malapetaka mengerikan. Penyembelihan besar-besaran yang mungkin tiada taranya dalam zaman modern ini, baik dari waktu yang begitu singkat, maupun dari jumlah mereka yang disembelih.[2]
Peperangan?
Sama sekali tidak ada tanda-tanda yang demikian. Di Bali sama sekali tidak ada
perlawanan yang berarti. Mereka yang merasa dirinya PKI atau yang oleh
lingkungannya dituduh demikian, dengan sukarela menyerahkan dirinya. Dan ketika
pembunuhan-pembunuhan itu dilangsungkan, tidak jarang dan malah banyak sekali
dari mereka yang menjadi tawanan minta untuk dibunuh. Mereka yang ingin dibunuh
berbuat demikian karena takut menghadapi siksaan atau cara-cara pembunuhan yang
tidak masuk akal di kalangan manusia waras atau manusia yang menyebut dirinya
ber-Tuhan.[3]
Soe
Hok Gie menekankan pada pemimpin-pemimpin yang dahulu paling Nasakom, kemudian
berubah menjadi pembenci-pembenci PKI paling gigih dan paling demonstratif.
Pasukan-pasukan partikelir mulai berkeliaran yang terkenal dengan seragam
hitamnya, dengan persenjataan-persenjataan. Pembakaran-pembakaran rumah mereka
yang dituduh PKI dianjurkan sebagai Warming
Up untuk tujuan-tujuan berikutnya yang lebih bengis. Dan akhirnya
pembunuhan itu sendiri berlangsung dimana-mana.[4]
Akibat-akibat
pembunuhan yang demikian tentulah luar biasa dan tidak akan dirasakan oleh
generasi sekarang saja. Tetapi yang paling menarik perhatian ialah, berhasilkan
PKI di Bali dilikuidasi dengan cara yang demikian? Efektifkah tindakan-tindakan
itu? Rasa-rasanya tidak dan pasti tidak, melihat siapa-siapa mereka yang lolos
dari kapak berantai itu. Kompyang, Sutedja serta yang menjadi anggota dewan
revolusi Bali masih berkeliaran dengan bebasnya.[5]
Pembunuhan
sama sekali tidak “kena” karena korbannya kebanyakan rakyat yang tertipu oleh
janji-janji PKI atau hukumannya tidak setimpal dengan apa yang pernah mereka
lakukan. Motif iri hati dan balas dendam menonjol sangat kuat. Anak Agung,
misalnya. Kepala Jawatan Penerangan Bali ini diculik dan dihabisi padahal biang
keladinya ialah wakilnya yang ingin menduduki tempatnya.[6]
Lie Lie Tjien seorang pengusaha kaya raya di Bali Utara yang terang-terangan
menjadi kasir PKI di Bali justru selamat. Dia dapat merangkul Widjana yang
menjadi tokoh di daerah. Sedangkan saingan-saingan Lie Lie Tjien di dalam dunia
usaha, misalnya Tjan Wie menjadi korban. Kopi milik Tjan Wie yang jumlahnya
ratusan ton berserakan memenuhi jalanan Singaraja.[7]
Pembunuhan yang terjadi di Bali bukanlah
sportarifett tetapi peristiwa yang
dibiarkan berlarut-larut. [8]Andaikan
pemerintah atau pejabat pada waktu itu dengan jiwa yang murni dan dengan kesungguhan
hati menyetopnya, hal yang demikian tidak akan terjadi. Pejabat-pejabat sama
sekali tidak berbuat apa-apa dan pada beberapa tempat malah menganjurkan
pembunuhan-pembunuhan ini.