Soe Hok Gie Dan Tionghoa

Soe Hok Gie dan Tionghoa

Dalam diskusi dari grup mahasiswa Asia Timur dan Pasifik, seorang mahasiswa Tionghoa Amerika berbicara, ia mewakili
ormas mahasiswa keturunan Tionghoa di sana, dan di dadanya terpancang lencana Yellow Peril. Ia menyatakan bahwa mahasiswa-mahasiswa keturunan Tionghoa disana tidak merasa betah di AS dan struktur masyarakat borjuis di sana telah merusakkan dasar-dasar ke-Tionghoa-an. Dan tujuan organisasinya adalah menumbuhkan kembali identitas ke-Tionghoan-an mereka. Waktu ada kesempatan bicara Soe Hok Gie mengatakan bahwa
Ia adalah orang yang mempunyai ide-ide yang berbeda dengan mereka. Bagi generasi muda keturunan Tionghoa di Indonesia, persoalan pokoknya adalah bagaimana mereka dapat mengasimilasikan dirinya ke dalam masyarakat mayoritas. Soe Hok Gie kemudian menjelaskan  pemikiran-pemikiran pembinaan bangsa Indonesia, di mana setiap golongan malah meleburkan dirinya membentuk nasion yang baru, yang tidak berdasarkan keturunan dan kedaerahan. Soe Hok Gie kemudian bertanya tentang tujuannya kedepan: “Masyarakat apa yang kalian cita-citakan lima puluh tahun yang akan datang, jika keturunan Eropa memelihara keeropaannya, keturunan afrika memelihara identintas kehitamannya, dan kalian kalian mempertahankan identitas ke-Tionghoa-an?” Tetapi ia tidak mau menjawab pertanyaan ini. Setelah selesai acara resmi, Soe Hok Gie menemui tokoh Yellow Peril ini, dan Soe Hok Gie  menganjurkan agar ia pulang ke Hongkong atau Taiwan, bahkan kalau berani ke RRC, jika ia ingin mempertahankan indetitasnya. “Kalau tidak kau akan terus frustasi sebagai warga negara AS” katanya.
Diskusi itu kemudian berlanjut dengan mahasiswa militan Negro yang tergabung dalam Black Union Student. Tema pembicaraan ini adalah penghasutan rasial terhadap ras putih. Dia menceritakan kejahatan-kejahatan orang kulit putih terhadap orang kulit berwarna. Dan akhirnya menyatakan bahwa kelompoknya akan berjuang, agar ada pemisahan antara orang-orang hitam dan putih di AS. Ia berusaha mendapatkan empati mahasiswa-mahasiswa Asia agar mereka juga membenci ras putih. Pada mahasiswa ini Soe Hok Gie mengatakan bahwa tidaklah baik meninjau kesalahan-kesalahan manusia dari warna kulitnya. Sikap seperti ini tidak ada bedanya dengan sikap rasialis kulit putih dalam menilai orang-orang berwarna. Dalam diskusi yang sesungguhnya membahasa soal perang Vietnam, pandangan yang bernada rasialis ini menjadi nampak sebagai sudut pandang yang sempit karena pada akhirnya jatuh hanya pada kebencian-kebencian ras dan tidak mencoba melihat masalah secara lebih dalam. Dalam soal identitas rasial ini, ide tentang black is beautiful menarik perhatian Soe Hok Gie. Tujuan dari Black Union Student adalah mengembalikan identitas hitam bahwa hitam sama sekali tidak jelek.[1] Dahulu orang-orang negro menginginkan integrasi dengan masyarakat putih Amerika, tetapi sekarang mereka menolaknya karena melihat bahwa integrasi pada akhirnya akan melenyapkan identitas hitam mereka.[2] Kelompok ini begitu membenci ras putih dan kepercayaan mereka akan kebudayaan hitam amat kuat.[3] Selama beratus-ratus tahun orang negro diperlakukan amat buruk, sampai tahun 1863 perbudakan masih dianggap sah dan orang-orang negro diperjual belikan sebagai ternak di pasar-pasar. Setelah perbudakan dilarang, bahkan di tahun 1954 dinyatakan bahwa diskriminasi di sekolah-sekolah bertentangan dengan konstitusi, perlakukan rasialis masih dilakukan bahkan sampai dunia pendidikan. Orang-orang kulit hitam adalah kelompok yang menjadi korban perlakukan yang tidak adil – diskriminasi rasial.
Disamping masalah diskriminasi rasial, di mata Soe Hok Gie krisis terbesar dari orang-orang hitam Amerika adalah bahwa mereka direnggutkan harga dirinya sebagai kelompok. Mereka telah kehilangan identitasnya karena mereka bukan lagi orang-orang Afrika, tapi tidak diberikan tempat dalam masyarakat kulit putih.[4] Krisis identitas inilah yang kemudian melahirkan gerakan militant dari orang kulit hitam, mereka menyadari bahwa mereka kehilangan sesuatu – salah satu dari tokoh mahasiswa yang ditemui Soe Hok Gie bernama Malcom dan ia menambahkan X dibelakang namanya untuk menandakan sesuatu yang telah hilang dan tidak diketahui. Secara intensif mereka mencoba memberikan identitas kehitamannya dengan militan. Bahwa black is beautiful dan lebih baik dari kulit putih. Sebagian dari sarjana-sarjana Amerika disana menyatakan bahwa integari Amerika baru bisa berhasil kalau orang-orang kulit hitam meleburkan diri sebagai kelompok yang punya identitas dan harga diri, dan penekanan identitas secara berlebihan dapat dipandang sebagai ciri pertama dari kelahiran nasionalisme. Namun Soe Hok Gie masih ragu dalam soal kebangkitan nasionalisme hitam di Amerika ini, ataukah ini bentuk kompensasi dari rendah diri yang amat dalam?[5]
Adanya pengalaman dengan kelompok radikal hitam yang demikian menggelitik Soe Hok Gie dalam soal-soal ke-tionghoa-annya sendiri di Indonesia. Soe Hok Gie menjadi begitu “sakit” mendapati ribuan orang Tionghoa yang harus membayar atas kematian 2 orang KKO Indonesia di Singapura tahun 1968. Betapa orang-orang tionghoa di Indonesia ketakutan dan frustasi melihat masa depannya dari kehancuran ekonomi yang ditimbulkan oleh tindakan-tindakan rasial. Meski ia yakin ada motif-motif politik yang dalam dari semua ini, namun betapa tragedi rasial ini begitu memilukan:
“Bangsa Indonesia bangkit karena 2 orang KKO digantung, dan hanya sedikit sekali yang bangkit dan menyatakan TIDAK ketika ratusan ribu orang disembelih. Atas nama Tuhan? Pancasila? Semuanya memperlihatkan kelemahan manusia dan kebesaran dari cita-cita keadilan.”[6]
Soal ras dan identitas ini adalah masalah yang sangat manusiawi namun menjadi persoalan yang mewujud begitu tidak manusiawi, dan kenyataan-kenyataan pahit ketidakadilan ini di mata Soe Hok Gie merupakan masalah manusia yang tidak lagi percaya akan kemampuannya sebagai Individu. Mereka bereaksi sebagai kelompok-memuaskan naluri primitifnya dengan menyamaratakan semuanya. Dan sejarah dunia menunjukan betapa mahalnya harga penyaluran naluri-naluri primitifnya ini. Kita yang harus membayarnya, dan kita yang tidak berutang harus menerimanya.[7]
Mengenai sikap identitas ras di tengah identitas nasional, sebenarnya agak di luar dugaan bahwa sebelumnya Soe Hok Gie memasuki organisasi seperti LPKB[8] yang berusaha untuk menanggalkan ke-tionghoa-annya sedang ia sendiri sampai akhir hayatnya tidak mengganti namanya. hampir-hampir bisa diduga bahwa dia "seharusnya" berada di kubu Baperki bersama Yap Thiam Hien dalam soal pluralisme kultural karena inilah salah satu segi dari demokrasi yang ingin dipertahankannya. Tetapi sangat boleh jadi sikap antikomunis-nya yang menyebabkan keputusannya untuk memasuki organisasi tersebut karena Baperki cenderung dekat dengan PKI. Namun ia sendiri cenderung tidak menyukasi sikap-sikap golongan keturunan, dengan kata-katanya sendiri dikatakan: "Aku setuju dengan ide-ide mereka soal asimilasi. Pokoknya ada peranan kebencian pada masyarakat peranakan pada diriku, karena sikap hidup mereka yang begitu middle class dalam pengertian money complex atau tepatnya maniak"[9]
 Namun di balik nama yang kelihatannya tidak mengandung perbedaan ini terdapat dua kelompok pesaing besar yang ingin menghabiskan satu sama yang lain. Agaknya Soe Hok Gie sendiri tidak mampu mengatasi dilema besar memilih antara keduanya. Penulis kira dilema semacam inilah dia berangkat menuju puncak pertarungan batinnya dan kini benar-benar terjelma di dalam pertarungan fisik ketika dia katakan bahwa pada tanggal 8 Maret 1966 dia "diadili" oleh LPKB. Dan pada hari itu juga dia dipecat dengan alasan "diberhentikan dengan permintaan sendiri dengan ucapan terima kasih atas segala jasa-jasanya". Dilema besar dalam menghadapi sikap orang-orang tionghoa sendiri tentang "ke-tionghoa-annya" tidak dapat dipecahkannya. Dia dipecat LKPB, dia tidak mungkin menjadi anggota Baperki, ini menjadi frustasi tersendiri bagi Soe Hok Gie tentang sikap golongannya. Dalam suasana itul pulalah dia harus pula menghadapi suatu "kepastian" sikap pribumi terhadap masalah tionghoa yang tidak peduli dan tak mau pusing mempersoalkan apakah itu artinya asimilasi atau integrasi, dan menganggap keduanya sama saja.
Dilema ini menghantui Soe Hok Gie dalam banyak kesempatan. Dia mencatat misalnya 12 April 1962 ketika dia berdebat tentang masalah ini. Perdebatan yang katanya sendiri menjurus kepada debat kusir. Misalnya ada tuduhan bahwa "orang Tionghoa itu semua materialis, pengkhianat dan sebagainya." Dia berusaha untuk membelanya dengan mengatakan:
"Aku mengetahui tadi. Tapi aku juga menunjukkan bahwa tidak semua begitu dan itu dapat berubah. Kepribadian bangsa bagiku adalah suatu proses yang lama dalam situasi tertentu, tapi dalam situasi lain itu dapat berubah” Semuanya menunjukkan betapa sakitnya Soe Hok Gie berjuang untuk membongkar garis batas kelompok solidaritas tionghoa untuk dihubungkan dengan kelompok solidaritas lain yang juga masih begitu rasialis. Tetapi di pihak lain ini juga menunjukkan adanya dilema tajam dirinya sejauh menyangkut asimilasi dan integrasi. Sebagaimana ia sendiri ungkapkan diatas bahwa yang dituju dari semuanya seharusnya adalah bentuk suatu nasion yang baru. Ia sendiri menolak upaya mempertahankan ke-tionghoa-an sebagai segalanya demi tujuan itu. Dalam arti ia sendiri telah memandang dirinya tidak dalam identitas tionghoa, melainkan identitas Indonesia. Sekiranya demikian maka ia juga sependapat dengan Soekarno yang berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara asimilasi dan integrasi. Solidaritas nasional dan kesatuan nasional hanya dapat diperjuangkan melalui hak yang sama di antara berbagai suku dan kelompok peranakan.[10] Inilah juga yang mendorongnya betapa gigihnya dia membela Yap Thiam Hien, seorang tokoh Baperki dari sayap lain, ketika Yap ditangkap dalam aksi penggayangan PKI.  Sebagaimana ia ungkapkan: kebesaran dari cita-cita keadilan.[11] Tema ini juga yang nampak mendorongnya untuk tidak berdiam diri terhadap kebijakan pemerintah soal tahanan politik dan stigmasi terhadap keluarga mereka, karena berdiam diri adalah juga kejahatan.





[1] Zaman Peralihan , hlmn 269
[2] Zaman Peralihan , hlmn 270
[3] Zaman Peralihan , hlmn 270
[4] Zaman Peralihan 272.
[5] Zaman Peralihan 273.
[6] 23 Oktober 1968, hlm 186.
[7] 23 Oktober 1968, hlm 185-186.
[8] Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa
[9] Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, 12 Agustus 1966
[10] Pidato Soekarno
[11] 23 Oktober 1968, hlm 186.

Postingan populer dari blog ini

A Servant's Letter

Ibadah Sepanjang Usia (Dorothea Rosa Herliany)