Nilai dan Keberadaannya

Nilai dan Keberadaannya

Tidak mudah untuk mendifinisikan  tentang nilai, namun paling tidak pada tataran  praxis nilai dapat disebut sebagai sesuatu yang menarik, dicari , menyenangkan, diinginkan dan disukai dalam pengertian
yang baik atau berkonotasi positif.[1]
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sebuah ide atau konsep tentang sesuatu yang penting dalam kehidupan seseorang dan menjadi perhatiannya. Sebagai standar perilaku, tentunya nilai menuntut seseorang untuk melakukannya. Konsekuensi dari pemahaman akan nilai seperti diutarakan di atas, menjadikan nilai itu secara praktis sebagai standar perilaku  yang menjadikan orang berusaha untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang telah diyakininya, sedemikian rupa menjadikan pula  semua orang memiliki dan
menginginkan nilai-nilai, sekalipun pada sebagian orang ditemukan kurang dalam pengertian tidak selamanya menyadari nilai yang dimilikinya, sehingga menjadikannya terperosok pada perilaku yang berseberangan dengan prescreptive  nilai. 
Kecuali itu pula, nilai pada hakikatnya juga tidak timbul dengan sendirinya, tetapi ada faktor-faktor yang menjadi prasyarat, misalnya karena manusia saling hubungan seperti yang tampak dalam pergaulannya dalam masyarakat atau  nilai juga tidak dapat dipisahkan dari realitas dan pengetahuan yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang. Atau boleh jadi juga suatu nilai muncul dari keinginan, dorongan, perasaan dan  kebiasaan manusia yang kemudian menjadi wataknya setelah adanya penyatuan antara faktor-faktor individual, sosial yang terwujud ke dalam suatu kepribadian.[2]
Sehubungan dengan pemaknaan akan nilai seperti disebutkan diatas, pada gilirannya nilai-nilai ini menjadi bagian integral dalam suatu kebudayaan sebagai bagian pengalaman yang senantiasa menjadi rujukan terhadap suatu perilaku bagi setiap individu dan  masyarakat untuk menentukan suatu perilaku moral. Pendeknya, nilai akan selalu menunjukkan perkembangan dan perubahan seiring dengan kecenderungan dan sikap mental individu-individu dalam suatu masyarakat dan akan selalu dirujuk untuk menetapkan suatu perilaku bermoral atau tidak. Sebagai standar perilaku, nilai-nilai moral membantu kita menentukan, dalam pengertian sederhana, terhadap sesuatu atau perilaku. Dalam pengertian yang lebih kompleks nilai akan membantu kita pula untuk  menentukan apakah sesuatu itu perlu,  baik atau buruk serta mengajak kita pula menganalisa  moral reasoning dari suatu perilaku moral tertentu.
Dari uraian di atas, dapat pula  dipahami bahwa suatu nilai moral mencakup paling tidak tiga unsur yang tidak dapat terlepas dari nilai, yakni;
1)    Nilai berhubungan dengan subjek,  artinya  keberadaan suatu nilai lahir dari penilaian subjek, namun ini tidak berarti menjadikan keputusan nilai bersifat subjektif dan meniadakan hal-hal lain di luar dirinya. Keputusan nilai sebagai nilai moral yang diambil oleh seseorang tidak bisa dilepaskan dari persoalan kemanusiaan dalam pengertian yang lebih luas dan keyakinan agama yang dimilikinya, nilai moral sebagai sesuatu pilihan yang terbaik dari yang baik, yang  paling berharga dari yang berharga tentunya tidak akan dapat dicapai manakala keputusan nilai yang diambil oleh seseorang menafikan hal-hal lain yang sangat terkait dengan nilai moral tersebut Jadi nilai kendatipun pada awalnya bersifat subjektif, namun keputusan nilai yang dihasilkan oleh seseorang akan bersifat objektif dan universal.
2)    Nilai tampil dalam konteks praktis, artinya  nilai moral sangat berkaitan dengan aktivitas seseorang. Ini bukan berarti bahwa nilai berbeda dengan tindakan. Pada prinsipnya nilai moral itu merupakan tindakan moral itu sendiri begitu pula sebaliknya. Tegasnya nilai moral dan tindakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, bahkan nama dari pe rilaku yang tampil itu sendiri adalah nilai moral itu sendiri, misalnya berperilaku sopan, jujur, adil dan sebagainya. Dalam kehidupa n sehari-hari dapat dirasakan umpamanya jujur tidak hanya dipahami sebagai nilai saja, tetapi juga nama dari suatu perbuatan. Jadi nilai jujur dan perbuatan jujur merupakan satu yang tidak dapat dipisah-pisahkan.[3]
Sehubungan dengan paparan di atas, tentunya bila  apa yang disebut sebagai nilai moral, juga tidak dapat terlepas dari karakteristik pengertian umum pada nilai seperti disebutkan di atas, umpamanya “kejujuran” kejujuran sebagai nilai manakala ia diikutkan dalam sebuah tindakan atau perilaku yang menghasilkan perilaku moral. Dengan demikian kejujuran sebagai nilai mendahului perilaku moral. Sebaliknya kejujuran kehilangan nilai moralnya manakala tidak diikutkan dalam suatu perilaku. Dalam pengertian seperti ini dapat pula dikatakan bahwa kejujuran se bagai nilai merupakan barometer bagi suatu perilaku nantinya apakah termasuk dalam kategori moral atau tidak bermoral, sedemikian rupa menjadikan pula posisi nilai berada pada pramoral atau mendahului moral kendatipun secara praktis antara nilai dan perilaku moral tidak dapat dipisahkan kehadirannya.
Karakterisrik nilai seperti diutarakan di atas memiliki implikasi di dalam kehidupan manusia sebagai subjek nilai, yakni:
1)    Berkaitan dengan tanggung jawab manusia sebagai makhluk bebas, seperti telah disinggung di atas bahawa nilai moral sangat terkait dengan manusia, tegasnya pribadi manusia yang bertangung jawab, hal ini dikarenakan moral pada prinsipnya merupakan aktualisasi tanggung jawab manusia sebagai makhluk bebas. Hubungan nilai dengan tanggung jawab manusia dimisalkan umpamanya keadilan sebagai nilai moral, akan kehilangan nilai moralnya manakala tidak didasari oleh keputusan bebas manusia yang mesti dipertanggung-jawabkannya.
2)    Berkaitan dengan hati nurani,  pada prinsipnya nilai moral menuntut perealisasian dalam tindakan manusia. Tuntutan seperti ini langsung atau tidak melahirk an desakan dari hati nurani manusia untuk mewujudkannya. Manusia akan merasa bersalah manakala ia melecehkan nilai-nilai yang sudah dimilikinya namun dilanggarnya, sebaliknya manusia merasa puas dan lega manakala nilai-nilai itu dapat diaktu alisasikan dalam tindakan.
3)    Berkaitan dengan kewajiban,  pada prinsipnya nilai moral seperti nomor dua di atas akan melahirkan apa yang disebut dengan kewajiban moral Kewajiban moral sebagai hasil dari tuntutan nilai moral seperti ini pada prinsipnya merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar, manusia akan sealalu memiliki kecenderungan untuk melakukan nilai-nilai moral selain sesuai dengan fitrah yang telah dimilikinya sebagai makhluk bermoral, juga nilai moral tersebut merupakan substansi dari perilaku  moral itu sendiri, misalnya pada perilaku jujur, nilai moral  pada perilaku ini memang ada pada perilaku jujur itu sendiri,  tidak  di luar atau konsekuensi dari perilaku itu sendiri.[4]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa eksistensialitas nilai moral sangat terkait dengan manusia sebagai subjek moral yang bertanggung jawab, memiliki keinginan untuk mewujudkan nilai itu atas dasar desakan kesadaran dan  kemauannya, Dan terakhir adanya tuntutan kewajiban dari subjek moral untuk bersedia menunaikan nilai moral itu dalam kehidupannya sekalipun tuntutan kewajiban itu ada kalanya datang dari luar diri subjek moral.
          Sedemikian rupa dapat pula dikatakan bahwa persoalan nilai moral tidak hanya pada kawasan  ontologi-metaetika, atau epistemology-metodologi, tetapi juga kawasan  prescriptive-implementatif. Tegasnya memahami akan nilai dan mengetahui akan sumber-sumber dan dasar-dasarnya sama pentingnya dengan mengimplementasikan secara sadar akan suatu  nilai  moral dalam perilaku senyatanya.
          Khusus bagi terealisasinya nilai-nilai moral dalam perilaku senyatanya oleh subjek moral dapat dikatakan pula bahwa internalisasi nilai yang pada prinsipnya adalah sangat bersifat individualistis, sehingga menjadikan individu secara psikologis memiliki kesadaran yang tumbuh dari dalam dirinya untuk bersedia secara ikhlas melakukan tuntutan nilai itu sendiri, kendatipun juga tidak dapat dinafikan peranan external pressure sebagai instrumen terwujudnya nilai dalam perilaku yang mana untuk yang terakhir ini hanya menjadikan individu konsumen moral.

Moral dan Etika: Sebuah Penegasan dan Pendasaran  Konseptual      Dalam kehidupan sehari-hari penyepadanan istilah moral atau sopan santun, norma-norma  serta etiket dengan etika secara umum sering ditemukan[5] pada hal bila dicermati cakupan  makna yang terdapat pada moral, atau sopan santun dan lain-lainnya itu, memiliki perbedaan arti yang sangat mendasar dengan cakupan makna yang  terdapat pada etika.
          K. Bertens,[6] umpamanya mengungkapkan bahwa moral itu adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam  mengatur tingkah lakunya. Dengan demikian paling tidak memuat dua hal yang amat pokok yakni, 1)sebagai cara seseorang atau kelompok bertingkah laku dengan orang atau kelompok lain, 2) adanya norma-norma atau nilai-nilai yang menjadi dasar bagi cara  bertingkah laku tersebut.
          Adanya norma-norma atau nilai-nilai di dalam makna moral seperti diungkap di atas merupakan sesuatu yang mutlak. Hal ini dikarenakan norma-norma atau nilai-nilai ini di dalam moral selain sebagai standar ukur normatif bagi perilaku, sekaligus sebagai perintah bagi seseorang atau kelompok untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma atau nilai-nilai tersebut.[7]
          Bila makna moral seperti diungkap di atas diteropongkan pada istilah, seperti sopan santun atau etiket, maka akan terlihat bahwa makna pada dua istilah terakhir ini dapat dikelompokkan ke dalam makna moral seperti yang  telah disinggung di atas. Hal ini dapat dilihat, setidaknya dari pemakaian dua kata ini yang berkaitan dengan tata aturan perilaku seseorang atau kelompok ketika berhubungan dengan orang/kelompok lain.[8]
          Berbeda dengan muatan makna yang terdapat pada moral dan teman-temannya, maka muatan pada makna etika memiliki cakupan yang jauh lebih luas dan dalam bila dibandingkan dengan muatan  makna yang ditemukan pada moral seperti telah diungkap di atas. Franz Magnis-Suseno umpamanya,[9] mengungkapkan bahwa etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis  dan mendasar tentang ajaran-ajaran, norma-norma, nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan  dan pandangan moral.
          Pemaknaan etika seperti diungkap di atas, semakin jelas lagi bila mencermati pendapat-pendapat para ahli yang mengungkapkan secara eksplisit  bahwa etika sebagai nama lain dari filsafat moral ketika etika itu dijadikan studi filosofis terhadap moral.[10]
          Pemaknaan etika dengan filsafat moral seperti ini, sekaligus menunjukkan bahwa kajian dalam etika bukan dalam bentuk studi deskriptif sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli ilmu-ilmu sosial seperti, sosiolog, psikolog, antropolog dan sejarahwan, akan tetapi dalam bentuk kajian kritis  yang mencakup dua segi, yakni  normatif dan analitik (metaetik).[11]
          Dari uraian di atas terlihat jelas perbedaan makna antara moral dan lain-lainnya dengan etika. Bila pada moral dan lain-lainnya itu memiliki makna tentang bagaimana berperilaku sesuai dengan tuntutan norma-norma atau nilai-nilai yang telah diakui oleh individu atau kelompok ketika bergaul dengan individu atau kelompok lainnya, maka  pada etika atau filsafat moral selain seseorang dituntut dapat berperilaku sesuai dengan norma-norma atau nilai-nilai tertentu, juga dituntut  mampu mengetahui dan memahami sistem, alasan-alasan dan dasar-dasar moral serta konsep-konsepnya secara  rasional guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Dengan kata lain  dalam etika atau filsafat moral berperilaku moral sama pentingnya dengan mengetahui dan memahami alasan-alasan dan dasar-dasar  norma-norma moral. Jadi filsafat moral atau etika yang dimaksud adalah cakupan makna pada etika sebagai bentuk kajian  kritis dan filosofis dan  mendasar tentang ajaran-ajaran moral. Khusus dengan ciri filosofis ini, memagari pula, bahwa etika yang dimaksud di sini adalah bukan kajian etika dalam bentuk deskriptif, tetapi kajian etika dalam bentuk pendekatan normatif dan analitik (metaetik) sebagaimana yang telah disebutkan di muka. Kajian etika atau filsafat moral dalam bentuk pendekatan normatif ini biasanya mencermati bentuk-bentuk sistem yang konsisten dari norma-norma yang  ditunjukkan validitasnya bagi semua manusia secara rasional  oleh seorang filsuf moral, sedangkan pendekatan analitik  (metaetik) meliputi dua aspek; penelaahan tentang konsep-konsep yang dipakai dan penelaahan mengenai logika dari alasan-alasan moral. Kedua bentuk pendekatan kajian etika seperti ini menurut para ahli tidak dapat dipisahkan.[12]
          Dari uraian di atas dapat dikatakan pula bahwa moral dan teman-temannya serta  etika sangat  membutuhkan akan nilai, bahkan  secara tegas dapat dikatakan bahwa nilai atau norma sebagai dasar bagi perilaku moral dan etika, sedemikian rupa dapat pula dikatakan nilai dan norma merupakan pra bagi moral dan etika, baik  moral dan teman-temannya maupun etika akan merujuk kepada nilai dan norma sebagai dasar pembentuk perilaku moral dan etika, sekalipun kedua kelompok ini memiliki kinerja metodologis yang sangat berbeda.





[1] Henry Hazlitt,  The Foundations of  Morality, (Princeton: D. Van Nostrand Company, Inc., 1964), hlm. 160.  
[2] Henry Hazlitt,  The Foundations of  Morality, (Princeton: D. Van Nostrand Company, Inc., 1964), hlm. 162.
[3] K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pus taka Utama, 1994), hlm. 141
[4] Ibid, hlm. 143-146
[5] Lihat lebih lanjut  Ibid, hlm 3-8.
[6] Ibid., hlm. 9-11
[7] Paul W. Taylor, “Introduction: What is Morality” dalam Paul W. Taylor (ed),  Problems of  Moral Philosophy an Introduction to Ethics, (California: Dickenson Publishing Company Inc. 1967),  hlm.3
[8] Untuk makna etiket, lihat lebih lanjut K. Bertens,  Etika, hlm. 9-11. Sedangkan makna sopan santun lihat Franz Magnis-Suseno,  Etika Dasar Masalah-Masalah Dasar Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, 1993 ,  hlm. 14 dan 18
[9] Franz  Magnis-Suseno, Ibid.,  hlm. 19
[10] Paul W. Taylor, “Introduction: What is Morality” dalam Paul W. Taylor (ed),  Problems of  Moral Philosophy …, hlm. 7.
[11] Ibid
[12] I b i d,.  Implikasi dari kajian filosofis seperti ini lebih lanjut lihat Amril M, Etika Islam,  Telaah Pemikiran Raghib al-Isfahani Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 23-24. 

Postingan populer dari blog ini

A Servant's Letter

Ibadah Sepanjang Usia (Dorothea Rosa Herliany)