Gerakan Moral
Gerakan Moral
Definisi
gerakan mahasiswa itu sendiri belum jelas betul karena bermacam bentuknya.
Artinya, gerakan mahasiswa tidak hanya dipahami sebagai adanya sekelompok massa
(mahasiswa) yang berkumpul dan melakukan unjuk rasa, dan di mana umumnya
dilakukan
di jalan-jalan atau tempat tertentu.
di jalan-jalan atau tempat tertentu.
Jika ditinjau dari fenomena gerakan mahasiswa
Indonesia, gerakan mahasiswa dapat dilihat sebagai sebuah perilaku kolektif
yang dilakukan oleh mahasiswa sebagaimana di atas. Maka perlaku demikian dapat dilihat sebagai perilaku yang (1)
dilakukan oleh sejumlah orang (2) tidak bersifat rutin dan (3) merupakan
tanggapan terhadap rangsangan tertentu[1].
Di mana secara umum kondisi pemberontakan oleh mahasiswa ini
terangsang akibat atau terkait erat dengan ketidakbecusan pemangku kekuasaan
publik dalam memberikan pengayoman yang adil terhadap masyarakat.[2] Sebagai bentuk reaksi, gerakan mahasiswa tidak dapat
pula dilepaskan dari kepekaan dari pelakunya yaitu mahasiswa atas rangsangan yang ada di sekitarnya.
pula dilepaskan dari kepekaan dari pelakunya yaitu mahasiswa atas rangsangan yang ada di sekitarnya.
Miriam
Budiarjo menyebutkan bahwa Suatu gerakan (movement) merupakan sekelompok atau
golongan yang ingin mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga politik
atau kadang-kadang malahan ingin menciptakan suatu tata masyarakat yang baru
sama sekali dengan memakai cara-cara politik.
Ia melihat dibanding dengan partai politik, gerakan mempunyai tujuan
yang lebih terbatas dan fundamental sifatnya, dan kadang-kadang malahan
bersifat ideologi. Orientasi ini merupakan ikatan yang kuat di antara anggota-anggotanya
dan dapat menumbuhkan suatu idetitas kelompok (group identity) yang kuat.[3]
Gerakan
mahasiswa dapat dilihat pula sebagai gerakan sosial seperti yang dilihat
Darmawan, yaitu merupakan sebentuk aksi kolektif dengan orientasi konfliktual
yang jelas terhadap lawan sosial dan politik tertentu, dilakukan dalam konteks
jejaring lintas kelembagaan yang erat oleh aktor aktor yang diikat rasa
solidaritas dan identitias kolektif yang kuat melebihi bentuk bentuk ikatan
dalam koalisi dan kampanye bersama.[4]
Dapat
disimpulkan bahwa gerakan mahasiswa merupakan bentuk gerakan dari masyarakat
yang secara khusus dilakukan mahasiswa dalam mendukung atau menentang perubahan
sosial yang memiliki ikatan solidaritas yang kuat dengan melakukan cara-cara
politik yang didasarkan atas kepekaan mereka menanggapi rangsangan yang ada
disituasinya. Hal ini nampak dari pola-pola kekeluargaan “angkatan” 1908,
1928, 1966, 1974, 1990, dan 1998. Karena menjadi sebuah keluarga, tentu saja
angkatan-angkatan tersebut tidak berdiri sendiri. Sebagai contoh, membaca hasil
yang diperoleh angkatan 1998 yang berhasil menumbangkan rezim Orde Baru tidak
lepas dari serangkaian proses politik angkatan sebelumnya.
Dengan
demikian dapat dilihat bahwa mahasiswa bukan lagi centre dari gerakan sosial di Indonesia, lagipula mantan-mantan
aktivis sejak 1966-1998 telah memasuki ranah masyarakat Indonesia diluar gedung
kampusnya masing-masing semenjak mereka lulus sehingga dapat dikatakan kelompok
mahasiswa bukan lagi satu-satunya yang berlabel “intelektual” dewasa ini. Hal
ini dapat dilihat dari dukungan yang diterima Gerakan mahasiswa 1998 yang
berasal dari berbagai lapisan masyarakat dan kalangan profesi maupun
tokoh-tokoh politik di Indonesia. Perjalanan gerakan mahasiswa Indonesia telah
merujuk arah yang lain selain dari gegap gempita jalanan, sebagaimana juga yang
dilihat Kuntowijoyo bahwa sesungguhnya mahasiswa dewasa ini jauh lebih
fundamental dalam ekspresi politiknya dengan langsung menukik ke permasalah
ditingkat lokal contohnya dalam berbagai LSM/LPSM.[5]
Dari
dinamika gerakan mahasiswa dalam sejarah Indonesia, dapat juga dilihat bahwa
dalam bentuk aksi maupun isu yang diusungnya, mereka terus bergerak sebagai
gerakan penekan pada kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah. Maka dengan
demikian gerakan mahasiswa tidak dapat lepas dari dinamika politik dan
kekuasaan yang merupakan aspek mendasar dari kehidupan bermasyarakat.
Pandangan
bahwa politik itu kotor dan berlumuran lumpur sebenarnya tidak tepat namun
dapat dipahami jika melihat sepak terjang sebagian politikus yang tidak
memberikan citra positif dan juga pada cara-cara yang seringkali harus
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Meskipun demikian, harus
disadari bahwa politik amat mempengaruhi kehidupan pribadi dan masyarakat.
Seperti yang dilihat E.Gerrit Singgih bahwa ungkapan “alergi terhadap politik”
merupakan sesuatu yang rancu. Ia melihat sebenarnya tidak ada orang yang alergi
terhadap politik. Sebab sadar atau tidak sadar, keputusan-keputusan pribadinya,
yang paling religius sekalipun, dipengaruhi oleh situasi dan konstelasi politik
di sekitarnya.[6]
Dalam
bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik, Miriam Budiarjo melihat pada umumnya dapat
dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu
sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari
sistim itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.[7] Dimana kegiatan-kegiatan itu menyangkut, Pengambilan keputusan (decision making)
yang menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala
prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.[8]
Untuk
melaksanakan tujuan-tujuan yang telah dipilih itu itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (public
policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian
(distribution) atau alokasi (allocation)
dari sumber-sumber (resources) yang ada.[9] Maka kemudian agar kebijakan-kebijakan itu terlaksana
perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan dipakai
baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin
timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi (meyakinkan) dan jika perlu
bersifat paksaan (coercion). Tanpa
unsur paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.[10]
Dari uraian-uraian Miriam ini
teranglah bahwa konsep-konsep pokok politik yang dilihatnya sebagai proses itu
itu adalah:
1. Negara
(state)
2. Kekuasaan
(power)
3. Pengambilan
keputusan (decision making)
4. Kebijaksanaan
(policy)
5. Pembagian
(distribution) atau alokasi (allocation)[11]
Miriam
kemudian menambahkan bahwa Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh
masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals).
Lagipula politik menyangkut kegiatan berbagai-bagai kelompok partai politik dan
kegiatan seseorang (individu).[12]
Maka jelaslah bahwa sebuah sikap menjauh dari politik adalah sia-sia belaka,
karena hidup seseorang sama sekali tidak dapat lepas dan amat ditentukan
oleh kebijakan-kebijakan yang diambil
dalam proses politik. Dengan demikian dapat dilihat bahwa gerakan-gerakan
mahasiswa mengusung suatu kesadaran politik yang amat dibutuhkan dalam proses
demokratisasi di Indonesia.
Pada awal rezim orde baru berdiri
sebagaimana yang digumuli Soe Hok Gie dalam tubuh KAMI, pandangan aktivis
mahasiswa terbelah dalam dua pandangan, dimana pandangan ini dijabarkan oleh
Sunyoto Usman[13]
sebagai berikut,
Pandangan pertama lebih bernuansa
moral, dalam arti energi politik mahasiswa seharusnya diletakkan sebagai
kekuatan penggerak perubahan ketika institusi birokrasi dan institusi politik
tidak mampu melakukan peran sesuai dengan tuntutan sektor publik.[14]
Dengan kata lain energi itu digerakkan untuk meluruskan kembali fungsi-fungsi
mereka, karena apabila kondisi carut-marut politik tidak dihentikan, rakyat
terus tertindas dan menderita. Dengan
demikian dalam pandangan ini posisi mahasiswa berada di luar institusi
birokrasi dan di luar institusi politik. Sunyoto melihat, peran politik semacam
itu seharusnya bukan karena pilihannya, tetapi karena tugas utama mahasiswa
adalah kuliah, menimba ilmu, dan menjadi sarjana yang paripurna. Status dan
peran mahasiswa sangat berbeda dengan politisi professional, karena kelompok
yang disebutkan terakhir ini memang mengabdikan hidupnya untuk kepentingan politik.[15] Dalam pandangan ini, jika ada mahasiswa yang ingin
menjadi politisi professional maka mahasiswa tersebut harus meletakkan atribut
kemahasiswaannya, kemudian mengembangkan perilaku politik dan etika politik
sebagaimana biasa dilakukan oleh politisi professional.
Pandangan
kedua lebih bernuansa politik. Sunyoto melihat bahwa pandangan kedua ini
berbeda dengan pandangan pertama yang meletakkan energi mahasiswa hanya sebagai
kekuatan pendobrak ketika institusi birokrasi dan institusi politik tidak bisa memainkan
peran sesuai dengan tuntutan sektor publik, pada pandangan kedua ini energi
mahasiswa harus ditempatkan sebagai kekuatan riil dalam percaturan politik.[16] Karena itu ketika pada awal rezim Soeharto berkuasa ada
tawaran untuk mahasiswa agar duduk di lembaga eksekutif dan lembaga legislatif,
maka menjadi sangat wajar apabila tawaran itu diterima. Kesediaan tawaran
seperti itu, akan membuat mahasiswa lebih bisa meneruskan perjuangan menegakkan
kebenaran dan mencegah penindasan rakyat, khususnya dengan cara mempengaruhi
keputusan-keputusan politik yang diambil oleh lembaga eksekutif maupun lembaga
legislatif.[17] Dalam konteks ini, posisi dan peran yang diambil
mahasiswa adalah tidak jauh berbeda dengan posisi dan peran politisi
professional. Posisi dan peran semacam inilah yang sebenarnya diragukan oleh
banyak orang karena dikhawatirkan mereka terjebak oleh vested interested rezim yang berkuasa.
Masing-masing
pilihan memiliki konsekuensi yang berbeda yang harus diambil, dimana
konsekuensi-konsekuensi yang diungkapkan Sunyoto itu penulis susun dalam
pokok-pokok berikut:
A. Gerakan
Moral
a. Lebih
menekankan pada kegiatan-kegiatan yang bersifat membela rakyat agar tidak
dieksploitasi, atau lepas dari segala bentuk penindasan. Gerakan semacam itu
seharusnya dengan jernih mampu merentang hak-hak rakyat yang dirampas, kemudian
membangun kesadaran mereka bahwa apabila hak-hak tersebut tidak diambil maka
akan menciptakan krisis ekonomi dan krisis politik yang berkepanjangan.
b. Lebih
menekankan pada membangun atensi dan oleh karena itu persoalan klaim kerapkali
sangat ditonjolkan.
c. Forum
utama untuk kegiatan semacam itu adalah media massa dan mahasiswa dituntut
menjadi komunikator yang mampu menjadi broker dari aspirasi dan kemauan rakyat
dengan kebijaksanaan pemerintah.
d. Untuk
memainkan peran semacam itu mahasiswa harus memiliki linkage pada isu-isu yang sedang populer dan kasus-kasus aktual
yang terjadi di masyarakat. Linkage pada
isu-isu populer dan kasus-kasus aktual sangat penting bagi gerakan moral agar
pelbagai tindakan yang dilakukan memiliki kadar visibilitas yang tinggi.
B. Gerakan
Politik
a. Terarah
pada upaya menciptakan aksi atas dasar kepentingan politik tertentu,
memobilisasi dukungan rakyat untuk tujuan politik tertentu, serta
mempertahankan kekuasaan dan kekuatan politik yang telah diraih dan dimiliki.
b. Forum
utama gerakan politik adalah mimbar politik yang terkait dengan institusi
politik. Posisi mahasiswa pada gerakan semacam itu bukan lagi sebagai
komunikator atau broker sebagaimana
yang terlihat dalam gerakan moral, tetapi lebih sebagai aktor politik yang
memiliki kemampuan menerapkan kebijaksanaan politik tertentu.
c. Agar
bisa memainkan peran demikian dibutuhkan networking
yang baik, keahlian meyakinkan rakyat agar mau memberi dukungan, serta
kemauan membuka diri menerima perlbagai masukan. Hal-hal semacam itu sangat
dibutuhkan supaya aktivis gerakan politik tidak terjebak dengan kooptasi, atau
tergiur menanggapi isu-isu yang sebenarnya sudah usang.
d. Satu
hal yang harus dipelihara oleh aktivis gerakan politik adalah komitmen bahwa
mereka adalah bagian dari rakyat yang sedang mereka perjuangkan sendiri.
Secara pragmatis, pilihan itu
tergantung situasi politik yang berkembang dan pilihan yang diambil mahasiswa
itu sendiri dalam partisipasinya, meski amat jelas bahwa gerakan moral adalah
juga gerakan politik. Namun dapat dilihat bahwa motivasi atau
kepentingan-kepentingan dibalik partisipasi pada gerakan mahasiswa inilah yang
sesungguhnya menjadi dilema, meskipun amat jelas bahwa ideologi dari gerakan
mahasiswa Indonesia adalah politik yang bermoral yang berakar pada kebutuhan
dari masyarakat. Penguraian Sunyoto diatas setidaknya menggambarkan pemahaman
yang berkembang di kalangan gerakan mahasiswa Indonesia, yang pada umumnya
mereka mengambil sikap yang pertama.
[1] Max Webber, Sosiologi, terj. Noorkholish, cet.
II, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 220-222.
[2] Zubir Zaiyardam, Radikalisme Kaum Pinggiran: Studi tentang
Ideologi, Isu Strategi dan Dampak Gerakan, (Yogyakarta : Insist Press, 2002), hlm. 25
[3] Miriam Budiarjo, Dasar-dasar
Ilmu Politik, (Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm.162
[4] Darmawan Triwibowo, Gerakan Sosial; Wahana Civil Society bagi
Demokratisasi, (Jakarta : Penerbit Pustaka
LP3ES, 2006), hlm 5
[5] Dr. Kuntowijoyo,
dalam Pengantar buku Soe Hok Gie, Zaman
Peralihan, (Jakarta : Gagas
Media, 2005), hlm. xxiv
[6]
Emanuel Gerrit Singgih. Dasar Teologis
Kegiatan Politis Orang Kristen di Indonesia Mengikuti Pemilu 2004, dalam Mengantisipasi Masa Depan, Berteologi dalam
Konteks di Awal Millenium III. (Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia.
Cetakan ke-2, 2005), hlm. 161
[13] Sunyoto Usman , Arah Gerakan Mahasiswa: Gerakan Politik
Ataukah Gerakan Moral?, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Fisipol
UGM Yogyakarta, Vol 3, No 2, November
1999. Hlm 146-163.