Analisis Wacana

Oleh
I Nyoman Artana,S.Pd

I.PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia sepanjang hidupnya hamper tidak pernah terlepas dari peristiwa komunikasi. Di dalam berkomunikasi, manusia memerlukan sarana untuk mengungkapkan ide, gagasan, isi pikiran, maksud, realitas, dan sebagainya. Sarana yang

paling utama dan vital untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah bahasa. Dengan demikian, fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai sarana komunikasi.
Setiap anggota masyarakat selalu terlibat dalam komunikasi bahasa, baik bertindak sebagai komunikator (pembicara/penulis) dan komunikan (pendengar atau pembaca).
Secara garis bedar sarana komunikasi verbal dibedakan menjadi dua macam, yaitu sarana komunikasi yang berupa bahasa lisan dan sarana komunikasi yang berupa bahasa tulis. Dengan begitu, wacana pun dibagi menjadi dua macam: wacana tulisan dan wacana tulisan. Kedua macam bentuk wacana itu masing-masing memerlukan metode atau teknik kajian yang berbeda. Begitu juga dengan pengertian wacana dan analisis wacana. Pangertian itu ada yang sejalan dan ada pula yang berbeda. Adanya pengertian wacana dan pengertian analisis wacana yang beragam disebabkan oleh pandangan, pendekatan, atau paradigma yang digunakan para ahli berbeda-beda. Oleh karena itu, pembahasan tentang hakikat analisis wacana menjadi penting untuk dibahas agar mengetahui intasari tentang analisis wacana dan metode-metode yang digunakan dalam menganalisis wacana.

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana hakikat analisis wacana?
2. Bagaimana definisi analisis wacana dari berbagai pandangan para ahli sesuai dengan pandangan terhadap bahasa?
3. Bagaimana macam-macam metode analisis wacana?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui hakikat wacana dan analisis wacana.
2. Mengetahui definisi analisis wacana dari berbagai pandangan para ahli sesuai dengan pandangan terhadap bahasa.
3. Mengetahui macam-macam metode analisis wacana


II. PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Analisis Wacana

Ada tiga pandangan berbeda mengenai bahasa dalam analisis wacana (Hikam, dalam Eriyanto, 2001:4). Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivisme-empiris. Aliran ini menyatakan bahwa bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa adanya hambatan. Hal ini berlaku selama ia dinyatakan dengan logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman tersebut adalah orang tidak perlu memahami makna subjektif dari sebuah pernyataan, sebab yang paling penting adalah apakah pernyataan itu sudah benar menurut kaidah semantik dan sintaksis. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan bahasa sebagaimana dalam pandangan formal.terhadap bahasa. Analisis wacana di sini dikembangkan berdasarkan pandangan atau pendekatan formal.
Pandangan yang kedua diwakili oleh kaum konstruktivisme. Dalam aliran ini, bahasa tidak dipandang sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan oleh subjek sebagai penyampai pernyataan. Justru, konstruksivisme memandang subjek sebagai sentral utama dalam kegiatan wacana. Dalam hal ini, bahasa dipahami sebagai pernyataan yang dihidupkan dengan tujuan tertentu. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan realitas sosial. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan untuk mengungkapkan makna dan maksud tertentu. Analisis wacana adalah suatu upaya untuk membongkar maksud penulis yang tersembunyi dalam wacana itu. Analisis wacana seperti ini dikembangkang berdasarkan pandangan fungsional atau padangan interpretivisme.
Selanjutnya, pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Aliran ini mengoreksi pandangan konstruksivisme yang kurang sensitif pada produksi dan reproduksi makna yang terjadi, baik secara historis maupun institusional. Menurut aliran ini, paham konstruksivisme belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu. Pemikiran inilah yang akan melahirkan paradigma kritis. Analisis wacana dalam pandangan ini menekankan konstelansi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Pemilihan bahasa dalam paradigma kritis dipahami sebagai representasi yang berperan membentuk subjek dan strategi tertentu. Oleh karena itulah, analisis wacana kritis digunakan untuk membongkar praktik kekuasaan dan ideologi yang tersembunyi dalam wacana. Analisis wacana seperti ini dapat dikatakan menggunakan paradigma dialektika, yaitu mengaitkan unsur formal kebahasaan yaitu diksi, bentuk-bentuk, dan fungsi atau maksud penggunaan bahasa yang direalisasikan dalam bentuk tuturan.
Ancangan atau paradigma kritis menurut J.L. Mey, R.E. Asher (1998) dalam (Jufri, 2006:24) merupakan suatu asumsi yang menguraikan aspek bahasa dan menghubungkannya dengan tujuan tertentu. Sehubungan dengan hal itu, perlu digunakan pilihan bahasa yang tepat untuk menggambarkan tujuan tertentu dalam praktik sosial.
Pada hakikatnya, tindakan digunakan untuk memahami suatu wacana. Berkaitan dengan hal itu, ada beberapa konsekuensi bagaimana bahasa dilihat. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan membujuk, mengganggu, bereaksi, menanggapi, menyarankan, memperjuangkan, memengaruhi, berdebat, dan sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar dan terkontrol, bukan sesuatu yang diekspresikan atau dikendalikan di luar kesadaran. Dengan konsep tersebut, wacana dipahami sebagai suatu bentuk interaksi yang berfungsi untuk menjalin hubungan sosial. Dalam hal ini, penulis menggunakan bahasa untuk berinteraksi dengan pembaca.
Dalam analisis wacana kritis (AWK), perlu dikaji konteks suatu wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana dalam hal ini dimengerti, diproduksi, dan dianalisis dalam konteks tertentu. AWK juga mengkaji konteks dari komunikasi; siapa yang mengonsumsikan, dengan siapa, dan mengapa; dalam jenis khalayak dan dalam situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe perkembangan komunikasi, dan bagaimana perbedaan antara setiap pihak. Bahasa dalam hal ini dipahami dalam konteks secara keseluruhan.
Ada tiga hal sentral dalam pengertian teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, melainkan semua jenis ekspresi komunikasi yang ada di dalamnya. Selanjutnya, pengertian konteks dalam hal ini, yaitu memasukkan semua jenis situasi dan hal yang berada di luar teks dan memengaruhi pemakaian bahasa, situasi di mana teks itu diproduksi, serta fungsi yang dimaksudkan. Sementara itu, wacana dimaknai sebagai konteks dan teks secara bersama. Titik perhatiannya adalah analisis wacana menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam proses komunikasi. Dalam hal ini dibutuhkan proses kognisi dan gambaran spesifik dari budaya yang dibawa dalam wacana tersebut.
Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu. Sebagai contoh, kita melakukan analisis wacana teks selebaran mengenai pertentangan terhadap kasus Century. Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberikan konteks historis, tempat teks itu diciptakan (bagaimana situasi sosial politik dan suasana pada saat itu). Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis, perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.
Analisis wacana kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan. Wacana dalam bentuk teks, percakapan, atau apapun tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan yang dimaksudkan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dan masyarakat. Kekuasaan dalam hubungannya dengan wacana penting untuk melihat apa yang disebut dengan kontrol. Bentuk kontrol tersebut terhadap wacana bisa bermacam-macam. Kontrol terhadap konteks, yang secara mudah dapat dilihat dari siapakah yang boleh dan harus berbicara, dan siapa pula yang hanya mendengar dan mengiakan, atau siapa yang mendominasi dan siapa yang didominasi. Selain konteks, kontrol dapat juga diwujudkan dalam bentuk mengontrol struktur wacana. Hal ini dapat dilihat dari penonjolan atau pemakaian kata-kata tertentu.
Selain itu, ada konsep sentral dalam AWK, yaitu ideologi. Pada hakikatnya, setiap bentuk teks, percakapan, dan sebagainya adalah salah satu praktik ideologi atau pancaran ideologi tertentu. Wacana bagi ideologi adalah medium melalui mana kelompok dominan mempersuasi dan mengomunikasikan kepada khalayak kekuasaan yang mereka miliki, sehingga absah dan benar. Semua karakteristik penting dari analisis wacana kritis, tentunya membutuhkan pola pendekatan analisis. Hal ini diperlukan untuk memberi penjelasan bagaimana wacana dikembangkan dan memengaruhi khalayak.
Pada hakikatnya, ideologi dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan. Tidak bisa dimungkiri bahwa teks disajikan sebagai cerminan dari suatu hegemoni (ideologi dan kekuasaan). Teori klasik mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok dominan yang bertujuan untuk memproduksi dan melegitiminasi dominasi mereka. Hegemoni dalam pandangan Fairclough lebih menekankan pada teori kekuasaan dengan pemahaman bahwa kekuasaan suatu komunitas yang dominan dapat menguasai komunitas yang lain.
Ada banyak ranting aliran (variance) dalam paradigma analis wacana kritis, tetapi semuanya memandang bahwa bahasa bukan merupakan medium yang netral dari ideologi, kepentingan, dan jaring-jaring kekuasaan. Oleh karena itu, analisis wacana kritis perlu dikembangkan dan digunakan sebagai peranti untuk membongkar kepentingan, ideologi, dan praktik kuasa dalam kegiatan berbahasa dan berwacana.
Menurut Rosidi (2007:11), dua di antara sejumlah ranting aliran analisis wacana kritis yang belakangan sangat dikenal adalah buah karya Norman Fairclough dan Teun A. Van Dijk. Dibanding sejumlah karya lain, buah pikiran van Dijk dinilai lebih jernih dalam merinci struktur, komponen, dan unsur-unsur wacana. Teun A. Van Dijk memperlakukan wacana sebagai entitas berstruktur. Karena itu, pendekatan yang ditawarkan pun bertolak dari pencermatan atas tiga tingkatan struktur wacana, yaitu: struktur supra, struktur mikro, dan struktur makro (superstructure, micro structure, and macrostructure) (Rosidi, 2007:10). Struktur supra menunjuk pada kerangka suatu wacana atau skematika, seperti kelaziman percakapan atau tulisan yang dimulai dari pendahuluan, dilanjutkan dengan isi pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan diakhiri dengan penutup. Bagian mana yang didahulukan, serta bagian mana yang dikemudiankan, akan diatur demi kepentingan pembuat wacana. Sementara itu, struktur mikro menunjuk pada makna setempat (local meaning) suatu wacana. Ini dapat digali dari aspek semantik, sintaksis, stilistika, dan retorika. Struktur makro menunjuk pada makna keseluruhan (global meaning) yang dapat dicermati dari tema atau topik yang diangkat oleh pemakaian bahasa dalam suatu wacana.
Dengan menganalisis keseluruhan komponen struktural wacana, dapat diungkap kognisi sosial pembuat wacana. Secara teoretik, pernyataan ini didasarkan pada penalaran bahwa cara memandang terhadap suatu kenyataan akan menentukan corak dan struktur wacana yang dihasilkan. Bila dikehendaki sampai pada ihwal bagaimana wacana tertentu bertali-temali dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat, maka analisis wacana kritis ini harus dilanjutkan dengan analisis sosial.
Melalui analisis wacana kritis, bahasa telah digunakan sebagai peranti kepentingan. Wacana publik, terutama pada kasus yang melibatkan kepentingan yang saling berbenturan, terbukti telah dijadikan sebagai senjata, baik bagi yang kuat maupun bagi yang lemah. Satu pihak menggunakan wacana sebagai sarana untuk mengendalikan dan merekayasa batin yang lain. Sebaliknya, pihak lain, dengan peranti wacana pula melakukan perlawanan, atau sekurang-kurangnya melakukan pembangkangan.
Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan atau teori kritis, wacana terdiri atas struktur supra, mikro, dan makro. Hal itu menunjukkan wacana tidak bisa terlepas dari tindakan, teks, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi yang melingkunginya. Dengan menganalisis keseluruhan komponen struktural wacana, dapat diungkap kognisi (pengetahuan, ideologi, kepentingan, dan sebagainya) sosial pembuat wacana. Oleh karena itu, teori kritis sangat relevan digunakan dalam menganalisis wacana.

2.2 Pendekatan Wacana dan Analisis Wacana
Ada banyak pengertian wacana dan pengertian analisis wacana. Pangertian itu ada yang sejalan dan ada pula yang berbeda. Adanya pengertian wacana dan pengertian analisis wacana yang beragam disebabkan oleh pandangan, pendekatan, atau paradigma yang digunakan para ahli berbeda-beda. Pandangan, paradigma, atau pendekatan yang dimaksud pada prinsipnya dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu pandangan, paradigma, atau pendekatan formal, fungsional, dan dialektika. Pendekatan dialektika merupakan gabungan antara pendekatan formal dan fungsional.

2.2.1 Pendekatan Wacana dan Analisis Wacana Formal
Pendekatan wacana dan analisis wacana yang pertama adalah pendekatan formal yang memandang bahasa sebagai sistem tanda yang terpisah dari faktor-faktor eksternal bahasa. Bahasa bersifat sistemis dan sistematis. Artinya, bahasa terdiri dari beberapa subsistem, yaitu subsistem fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik yang dikombinasikan oleh kaidah-kaidah yang dapat diramalkan (Ibrahim, 1999). Berdasarkan asumsi tersebut, deskripsi bahasa yang dihasilkan berupa ciri-ciri formal bahasa, yakni unsur-unsur bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis) dan kaidah-kaidah bahasa atau struktur bahasa. Pendekatan formal dikenal secara luas sebagai pendekatan struktural. Hal ini terungkap pada pendapat yang menyatakan prinsip yang dianut pandangan struktural adalah bahasa terbentuk oleh seperangkat kaidah (Schiffrin, 2007). Pandangan kaum strukturalis ini yang menjadi pandangan dasar, pendekatan, atau paradigma yang melahirkan pengertian wacana dan analisis wacana secara formal.
2.2.2 Pendekatan Wacana dan Analisis Wacana Fungsional
Pendekatan wacana dan analisis wacana yang kedua adalah pendekatan fungsional. Pendekatan fungsional memandang bahasa sebagai sistem terbuka. Bahasa tidak bisa lepas dari keberadaan faktor eksternal bahasa, yaitu ciri sosial, ciri biologis, ciri demografi, dan sebagainya. Penggunaan bahasa dalam konteks sosial merupakan sentral dalam analisisnya berdasarkan pandangan bahwa dalam fungsinya sebagai alat berkomunikasi, bahasa juga menunjukkan identitas sosial, bahkan budaya pemakainya (Ibrahim, 1999). Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa pendekatan fungsional pada prinsipnya mendasarkan pemeriannya pada pemakaian bahasa yang sebenarnya dalam masyarakat, meliputi kerangka dan latar (situasi, tempat, waktu), interaksi berbeda, serta norma sosial budaya masyarakat. Hasilnya memperlihatkan adanya berbagai variasi dan fungsi bahasa sesuai dengan latar interaksi dan norma sosial, dan budaya masyarakat. Pandangan atau pendekata tersebut melahirkan pengertian wacana sebagai bahasa dalam penggunaan. Wacana dipahami sebagai suatu peristiwa komunikasi, yakni perwujudan dari individu yang sedang berkomunikasi (Schiffrin, 2007). Berdasarkan pendekatan tersebut, analisis wacana lebih ditekankan pada uapa memahami maksud dan fungsi-fungsi penggunaan bahasa pada suatu wacana. Pandangan kaum fungsionalis ini yang menjadi pandangan dasar, pendekatan, atau paradigma yang melahirkan pengertian wacana dan analisis wacana secara fungsional.

2.2.3 Pendekatan Wacana dan Analisis Wacana Dialektika (Formal-Fungsional)
Pendekatan wacana dan analisis wacana yang ketiga adalah paradigma dialektika. Paradigma dialektika merupakan penggabungan pendekatan formal dan pendekatan fungsional. Paradigma ini memandang wacana sebagai ujaran, yakni wacana dipahami sebagai kumpulan unit struktur bahasa yang tidak lepas dari konteks. Pandangan ini didasarkan pada pentingnya membahas teks dan konteks. Hubungan teks dan konteks tidak terlepas dari hubungan-hubungan lain yang sering dianggap berada antara bahasa dan konteks. Pemunculan paradigma katiga dapat dikatan untuk meningkatkan cakupan analisis wacana. Pandangan ini yang menjadi pandangan dasar, pendekatan, atau paradigma yang melahirkan pengertian wacana dan analisis wacana secara dialektika atau gabungan formal-fungsional.
Pemahaman mengenai paradigma adalah hal yang sangat fundamental dalam melakukan analisis wacana. Paradigma yang digunakan akan memberikan arahan bagi seseorang dalam melakukan analisis wacana. Dengan berangkat dari paradigma yang pasti dan jelas, hasil analisis wacana yang diperoleh pun menjadi jelas. Selain itu, paradigma juga memegang peranan penting bagaimana nantinya seseorang melakukan analisis wacana, bagaimana ia memandang suatu fenomena, kepekaannya dan daya analisisnya.

2.3 Metode Analisis Wacana
2.3.1 Analisis Kritis
Istilah wacana yang digunakan dalam CDA (Critical Discourse Analysis) yang dikembangkan para pakar linguistik terutama Norman Fairclough dan Ruth Wodak dimaknai sebagai pernyataan-pernyataan yang tidak hanya mencerminkan atau mempresentasikan juga mengkonstruksi dan membentuk entitas dan relasi sosial. Pemahaman wacana dalam CDA merupakan suatu analisis yang melihat atau mencermati hal-hal yang meretas batas yang tidak dikaji dalam analisis wacana biasa. Pemahaman dasar CDA adalah wacana tidak dipahami semata-mata sebagai obyek studi bahasa. Bahasa tentu digunakan untuk menganalisis teks. Bahasa tidak dipandang dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa dalam analisis wacana kritis selain pada teks juga pada konteks bahasa sebagai alat yang dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu termasuk praktik ideologi.
Analisis Wacana Kritis (AWK atau CDA) melihat pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai praktik sosial. Praktik sosial dalam CDA dipandang menyebabkan hubungan dialektis antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, istitusi, dan struktur sosial. Konsep ini dipertegas oleh Fairclough (dalam Badara, 2012:26) yang mengemukakan bahwa wacana merupakan sebuah praktik social. Selanjutnya, Jorgensen (dalam Badara, 2012:26) menjelaskan konsep Fairclough yang membagi analisis wacana ke dalam tiga dimensi yaitu text, discourse practice, dan social practice. Text berhubungan dengan linguistic, juga koherensi, dan kohesivitas, serta bagaimana antarsatuan tersebut membentuk suatu pengertian. Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks; misalnya, pola kerja, bagan kerja, dan rutinitas saat menghasilkan berita. Social practice, dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks; misalnya konteks situasi atau konteks dari media dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya politik tertentu.
Menurut Fairclough dan Wodak (dalam Badara, 2012:28), analisis wacana kritis melihat wacana sebagai bentuk dan praktik social. Wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa wacana tertentu dan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana bias jadi menampilkan ideology: ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak berimbang antara kelas sosial, laki-laki dan perempuan, kelompok mayoritas dan minoritas. Melalui perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan. Melalui wacana, sebagai contoh, dalam sebuah wacana keadaan yang rasis, seksis, atau ketimpangan kehidupan sosial dipandang sebagai suatu common sense, suatu kewajaran/alamiah, dan memang seperti kenyataannya.
Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat. Analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana penggunaan bahasa kelompok sosial yang ada saling bertaring dan mengajukan versinya masing-masing. Berikut ini disajikan karakteristik penting dari analisis wacana kritis yang disarikan oleh Eriyanti dari tilisan Van Dijk, Fairclough, dan Wodak. Karakteristik penting dari analisis kritis menurut mereka: 1). Tindakan. Wacana dapat dipahami sebagai tindakan (actions) yaitu mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Sesorang berbicara, menulis, menggunakan bahasa untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Wacana dalam prinsip ini, dipandang sebagai sesuatu yang betujuan apakah untuk mendebat, mempengaruhi, membujuk, menyangga, bereaksi dan sebagainya. Selain itu wacana dipahami sebagai sesuatu yang di ekspresikan secara sadar, terkontrol bukan sesuatu di luar kendali atau diekspresikan secara sadar. 2). Konteks. Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Titik perhatianya adalah analisis wacana menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam proses komunikasi. 3). Historis, menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks. 4). Kekuasaan. Analisis wacana kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan. Wacana dalam bentuk teks, percakapan atau apa pun tidak di pandang sebagai sesuatu yang alamiah wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan yang dimaksudkan adalah salah satu kunci hubungan anatara wacana dan masyarakat.
Dari paparan Fairclough dan Wodak di atas dapat dikatakan bahwa prinsip dasar dan karakteristik CDA adalah (1) memberi perhatian pada masalah-masalah soaial, (2) percaya bahwa relasi kekuasaan bersifat diskursif atau mengada dalam wacana, (3) percaya bahwa wacana berperan dalam pembentukan masyarakat dan kultur, (4) percaya bahwa wacana berperan dalam membangun ideologi, (5) percaya bahwa wacana bersifat historis, (6) wacana berperan sebagai mediasi antara teks dan masyarakat sosial, (7) wacana bersifat interpretatif dan eksplanatif, serta (8) percaya bahwa wacana merupakan suatu bentuk aksi/praktik sosial, (9) penggunaan bahasa secara bersamaan tersusun atas identitas sosial, relasi sosial, dan sistem pengetahuan dan keyakinan.
Dengan demikian, CDA bersifat inter/multidisipliner yang merupakan persentuhan linguistik dan susastra dengan ilmu-ilmu sosial, politik dan budaya. Semua karakteristik penting dari analsis wacana kritis tentunya membutuhkan pola pendekatan analisis. Hal ini diperlukan untuk memberi penjelasan bagaimana wacana di kembangkan maupun mempengaruhi khalayak.

2.3.2 Analisis Wacana Isi
Metode Analisis Isi (Content Analysis Method) merupakan metode analisis suatu teks. Pendekatan metode ini bersifat kualitaif dan teks ditafsirkan dalam unit analisis yang bisa dihitung. Secara sederhana, metode ini diartikan sebagai metode untuk mengumpulkan dan menganalisis muatan sebuah teks. Dalam hal ini, teks dapat berupa kata-kata, makna gambar, simbol, gagasan, tema dan bermacam bentuk pesan yang dapat dikomunikasikan. Ini berarti metode analisis isi bukan sekadar mengkaji persoalan isi teks yang komunikatif melainkan juga mengungkap bentuk linguistiknya. Maka oleh Titscher, dkk.(2009: 94) dinyatakan bahwa metode analisis isi lebih mengenai sebuah strategi penelitian daripada sekadar sebuah metode analisis teks tunggal.
Pelopor analisis isi adalah Harold D. Lasswell, yang memelopori teknik symbol coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi interpretasi (Titscher, dkk., 2009 : 96). Metode analisis isi berusaha melihat konsistensi makna dalam sebuah teks. Konsistensi ini dapat dijabarkan dalam pola-pola terstruktur yang dapat membawa peneliti kepada pemahaman tentang sistem nilai di balik teks itu. Metode analisis isi menuntut pola kerja yang objektif, sistematis, dan dapat digeneralisasikan (Ekomadyo, 2006 : 52).
Sejalan dengan kemajuan teknologi, selain secara manual kini telah tersedia komputer untuk mempermudah proses penelitian analisis isi, yang dapat terdiri atas dua macam, yaitu perhitungan kata-kata, dan “kamus” yang dapat ditandai yang sering disebut General Inquirer Program. Analisis isi tidak dapat diberlakukan pada semua penelitian sosial. Analisis isi dapat dipergunakan jika memiliki syarat berikut: (1) data yang tersedia sebagian besar terdiri dari bahan-bahan yang terdokumentasi (buku, surat kabar, pita rekaman, naskah/manuscript), (2) ada keterangan pelengkap atau kerangka teori tertentu yang menerangkan tentang dan sebagai metode pendekatan terhadap data tersebut (3) peneliti memiliki kemampuan teknis untuk mengolah bahan-bahan/data-data yang dikumpulkannya karena sebagian dokumentasi tersebut bersifat sangat khas/ spesifik.
Asumsi dasar metode analisis isi adalah bahwa isi atau muatan suatu teks dipandang sebagai hasil proses komunikasi yang distrukturkan seperti siapa berkata tentang apa, pada saluran mana, kepada siapa, dan pada efek yang bagaimana (Lasswell, 1946, dalam Titscher, dkk., 2009 : 96). Asumsi ini oleh Merten (1983 : 56) dikatakan bahwa isi suatu teks ditransportasikan oleh komunikator melalui media tertentu ke komunikan atau penerima isi teks (dalam Titscher, dkk., 2009 : 96).
Tujuan metode analisis isi ini adalah untuk menguraikan dalam rangka menyimpulkan isi proses komunikasi dengan cara mengidentifikasi karakteristik tertentu pada pesan-pesan yang jelas secara objektif, sistematis, dan kuantitaif.
Kerangka kerja metode analisis isi dapat disampaikan di sini berdasarkan pandangan beberapa pakar. Pandangan pakar yang diuraikan berikut ini sesungguhnya secara prinsip tidak jauh berbeda. Menurut Neuman (2000 : 296-298, dalam Ekomadyo, 2006: 52) langkah-langkah kerja metode analisis isi adalah (1) menentukan unit analisis (misal menentukan jumlah teks yang dijadikan sebuah kode); (2) menentukan sampling, (3) menentukan variabel, (4) menyusun kategori pengkodean, dan (5) menarik simpulan. Oleh Titscher, dkk. (2009: 98-102) merumuskan kerangka kerja atau prosedur kerja metode analisis isi adalah (1) menentukan sample, (2) menentukan unit analisis, (3) menentukan kategori dan koding, (4) menenttukan reliabilitas, (5) menentukan atau melakukan analisis dan evaluasi. Berbeda dengan kedua pakar di atas, Mayring (1988: 42), dalam Titscher, dkk., 2009: 108) menentukan prosedur kerja metode analisis isi adalah (1) penentuan materi, (2) analisis situasi sumber teks, (3) pengarakteran materi secara formal, (4) penentuan arah analisis, (5) menentukan diferensiasi pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab sesuai dengan teori yang ada, (6) penyeleksian teknik-teknik analisis, (7) pendefinisian unit-unit analisis, (8) analisis materi, dan (9) interpretasi.

2.3.3 Analisis Semiotik (Semiotic Analysis)
Metode semiotik ini pertama kali dicetuskan oleh Greimas. Asumsi dasar teorinya berpangkal pemahaman semiotik terhadap komunikasi. Komunikasi terdiri atas proses-proses semiotik, yaitu hubungan antara tanda (sign) dan petanda (signfield) melalui makna. Menurut Peice, hubungan antara tanda dan petanda bersifat konvensional, komponen makna menjadi perantara antara penanda dan petanda.
Pengertian semiotika secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Menurut Eco (dalam Teun, 1993), semiotik sebagai “ilmu tanda” (sign) dan segala yang berhubungan dengannya cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Menurut Eco (dalam Teun, 1993), ada sembilan belas bidang yang bisa dipertimbangkan sebagai bahan kajian untuk semiotik, yaitu semiotik binatang, semiotik tanda-tanda bauan, komunikasi rabaan, kode-kode cecapan, paralinguistik, semiotik medis, kinesik dan proksemik, kode-kode musik, bahasa yang diformalkan, bahasa tertulis, alfabet tak dikenal, kode rahasia, bahasa alam, komunikasi visual, sistem objek, dan sebagainya Semiotika di bidang komunikasi pun juga tidak terbatas, misalnya saja bisa mengambil objek penelitian, seperti pemberitaan di media massa, komunikasi periklanan, tanda-tanda nonverbal, film, komik kartun, dan sastra sampai kepada musik.
Berdasarkan metode ini, teks yang dianalisis dipandang sebagai sitem tanda yang selalu terdiri atas (1) struktur lahir/luar (surface structure) pada tataran kata dan sintaksis dan (2) struktur batin/dalam (deep structure) yang memiliki makna mendasar (underlying meaning). Struktur lahir merupakan bentuk teks yang segera bisa dikenali dan siap diakses. Sedangkan, struktur batin merupakan sistem dasar nilai mendasar yang disematkan dalam sebuah teks dan sitem ini terdiri atas norma, nilai, dan sikap yang bersifat universal.
Tujuan metode semiotik naratif mencoba mengidentifikasi struktur naratif sebuah teks yang menjembatani struktur batin dengan struktur lahir. Karena itulah, Fiol (1990) menegaskan bahwa melalui pemahaman terhadap struktur naratif selaku perantara itulah yang memungkinkan timbulnya pemahaman terhadap struktur batin (dalam Titscher, dkk. 2009 : 211).
Menurut Greimas (1983, 1987) garis besar metode semiotik naratif suatu teks dikarakterisasi oleh enam peran yang disebut dengan aktan atau aktor yang berfungsi mengarahkan jalannya cerita. Keenam peran yang dimaksud adalah sebagai berikut.
(1) Destinator (penentu arah), yang mengacu pada kekuatan khusus yang memberlakukan aturan dan nilai dan mempresentasikan ideologi teks.
(2) Receiver (penerima), yang membawa nilai.
(3) Subjek, yang menduduki peran utama dalam narasi.
(4) Objek, merupakan objek narasi yang dikemukakan oleh subjek.
(5) Adjuvant (daya dukung), yang membantu subjek dalam usahanya mencapai objek.
(6) Traitor (daya penghambat), yang mempresentasikan segala hal yang mencoba menghambat subjek agar tidak bisa mencapai tujuannya.
Selain enam peran aktan tersebut, ada juga dua pengaruh lain yang dapat menentukan alur cerita yaitu ruang dan waktu. Oleh Greimas, kedua pengaruh tersebut sebagai isotop. Isotop ruang mengkategorisasikan lingkungan tempat terjadinya cerita. Isotop waktu mengkategorisasikan pada psoses waktu masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Tugas analisis semiotik naratif adalah menguraikan keenam aktan dan isotop tadi selama berlangsungnya narasi.

2.3.4 Analisis Framing
Analisis Framing adalah bagian dari analisis isi yang melakukan penilaian tentang wacana persaingan antarkelompok yang muncul atau tampak di media. Dikenal konsep bingkai, yaitu gagasan sentral yang terorganisasi, dan dapat dianalisis melalui dua turunannya, yaitu simbol berupa framing device dan reasoning device. Framing device menunjuk pada penyebutan istilah tertentu yang menunjukkan “julukan” pada satu wacana, sedangkan reasoning device menunjuk pada analisis sebab-akibat. Di dalamnya terdapat beberapa ‘turunan’, yaitu metafora, perumpamaan atau pengandaian. Catchphrases merupakan slogan-slogan yang harus dikerjakan. Exemplar mengaitkan bingkai dengan contoh, teori atau pengalaman masa silam. Depiction adalah “musuh yang harus dilawan bersama”, dan visual image adalah gambar-gambar yang mendukung bingkai secara keseluruhan. Pada instrumen penalaran, Roots (dalam Holsty, 2003) memperlihatkan analisis sebab-akibat, Appeals to principles merupakan premis atau klaim moral, dan Consequences merupakan kesimpulan logika penalaran.


III. PENUTUP

3.1 Simpulan
Ada banyak pengertian wacana dan pengertian analisis wacana. Pangertian itu ada yang sejalan dan ada pula yang berbeda. Adanya pengerian wacana dan pengertian analisis wacana yang beragam disebabkan oleh pandangan, pendekatan, atau paradigma yang digunakan para ahli berbeda-beda. Pandangan, paradigma, atau pendekatan yang dimaksud pada prinsipnya dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu pandangan, paradigma, atau pendekatan formal, fungsional, dan dialektika, yaitu gabungan paradigma formal dan fungsional.
Berdasarkan pendekatan formal, wacana adalah satuan bahasa di atas kalimat yang terlengkap dan terluas dengan kohesi dan koherensi yang tinggi, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, serta dapat disampaikan secara lisan atau tertulis. Berdasarkan pendekatan fungsional, wacana adalah rekaman peristiwa komunikasi dengan menggunakan bahasa, baik secara lisan maupun tertulis dalam konteks interaksi yang mempunyai makna, maksud, atau tujuan tertentu. Sementara itu, berdasarkan pendekatan formal dan fungsional secara dialektis, wacana berupa rangkaian tuturan lisan atau tulisan yang teratur yang mengungkapkan suatu hal (subjek). Dalam pandangan ini, wacana dapat dikatakan sebagai pemakaian bahasa, baik tuturan maupun tulisan yang merupakan bentuk dari praktik sosial. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi atau pandangan penulis dalam konteks sosial.
Selanjutnya di dalam menganalis wacana terdapat beberapa metode. Metode-metode tersebut yaitu (1) analisis wacana kritis, (2) analisis wacana isi, (3) analisis semiotic, (4) analis framing.








DAFTAR PUSTAKA

Arifin. ___. Buku Ajar Analisis Wacana. Singaraja: Undiksha
Badara, Aris. 2012. Analisis Wacana (Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media). Jakarta: Kencana.
Sumarlam, dkk. 2003. Analisis Wacana (Teori dan Praktik). Solo: Pustaka Cakra.

Postingan populer dari blog ini

A Servant's Letter

Ibadah Sepanjang Usia (Dorothea Rosa Herliany)